Makam Papan Tinggi Syeikh Mahmud, Barus (Foto Wikipedia)

Di atas bukit pada ketinggian 3.000 meter dari permukaan laut, keindahan alam kota Barus dapat kita lihat sejauh mata memandang. Pepohonan hijau membentang dari kaki bukit hingga mencapai Samudera Hindia yang berwarna biru di barat kota. Di Makam Papan Tinggi, sebuah komplek pemakaman tua di atas bukit Desa Pananggahan, Kecamatan Barus Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatra Utara, terdapat lima makam peninggalan masa lalu.

Di antara lima makam ini, salah satunya adalah makam Syekh Mahmud, seorang saudagar dari Yaman yang datang pada abad ketujuh dan menyebarkan Islam di Nusantara. Tidak hanya berdakwah, ia juga menjadi pedagang dan berbisnis kapur barus, komoditas asli Barus – dahulu kerap digunakan untuk menyebut Sumatera bagian utara secara umum – yang telah terkenal sejak puluhan abad lalu.

Rempah hasil hutan khas Nusantara ini tidak hanya memiliki daya pikat tinggi, ia sangat dicari, bahkan konon harganya di masa lalu tak kalah dengan harga emas.

 

Asal Nama Kapur Barus

Kapur barus adalah produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan dari sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu. Dalam istilah Latin, pohon ini bernama Aguilaria mallaccansis, sedangkan buahnya diberi nama Dryobalanop aromatika. Nah, kapur barus berasal dari cairan yang dikeringkan hasil ekstraksi pohon tersebut.

Menurut catatan sejarah, tanaman ini menghasilkan beragam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kapur barus (kamper), balsam, damar, minyak atsiri, dan kayu. Pada masa lalu, kapur barus telah dikenal luas di kalangan pedagang Arab dan India, bahkan produk ini juga diperdagangkan hingga ke Eropa. Kapur barus merupakan bahan wewangian dan obat-obatan yang dipergunakan di Arab dan India.

Istilah “kapur barus” disebabkan karena pohon tersebut tumbuh di hutan tropis yang hanya berada di sekitar Barus. Artinya, penamaan kapur barus (kamper) merujuk pada salah satu bandar dagang penting di Nusantara masa lalu yang terletak di Pantai Barat Sumatera – kini termasuk di Provinsi Sumatera Utara – yang dahulu disebut Barousai, Barus, atau Fansur.

Sejak awal abad masehi, Barousai atau Barus telah tercatat dalam sebuah peta kuno yang dibuat oleh kartografer Claudius Ptolomeus di abad ke-2. Ia menyebutkan sebuah bandar niaga yang bernama Barousai di sebuah negeri yang berada di Taprobana atau Pulau Emas (Chryse Chora).

Pulau Emas yang dimaksud itu disimpulkan oleh W.J. van der Meulen (1974) dalam Suvarnadvipa and the Chryse Chersonesos sebagai Pulau Sumatra. Sejak dahulu keberadaannya telah sohor dengan nama Suvarnnabhumi (Negeri Emas), atau juga sering disebut dengan nama Suvarnnadwipa (Pulau Emas).

Ini juga disebutkan dalam Kitab Jataka dan Kitab Ramayana. Kitab yang sangat masyhur di dunia dan ditulis pada abad ke-4 dan ke-5 Sebelum Masehi ini, juga telah menyebutkan sebuah negeri yang bernama Suvarnnabhumi, serta menyebutkan adanya negeri-negeri di sebelah timur India: Yawadwipa dan Suvarnnadwipa.

 

Dunia Memburu Letak Barus dan Komoditasnya

Mendengar dan merasakan bahwa kapur barus adalah komoditas yang bernilai tinggi dan mempunyai banyak kegunaan, dunia memburu asal muasal rempah ini dan sejarah mencatatnya.

Dalam Geographike Hyphegesis, Ptolomeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan menuju ke Tiongkok, melalui sebuah bandar niaga bernama Barousai yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Ini selaras dengan catatan tertua lainnya mengenai kapur barus yang berasal dari era dinasti Cina Selatan. Ditulis sekitar abad ke-6 Masehi, catatan ini menyebutkan wewangian yang bernama Po-Lu sebagai salah satu produk yang berasal dari Lang-ya-shiu di wilayah Semenanjung. Para sejarawan mengidentifikasikan istilah Po-lu sebagai terjemahan dari Barus, sebuah toponim terkenal yang lokasinya terletak di pantai barat Sumatra Utara.

Berita Cina dari abad ke-9 juga masih menyebut kapur barus. Dalam kitab Yu-yang-tsa-tsu ditemui istilah Ku-pu-p’o-lu, yang ditafsirkan sebagai kapur barus. Masih dari sumber berita Cina, kitab Chau-ju-kua dari abad ke-13 Masehi mencatat dua tempat sebagai penghasil kapur, yaitu P’o-ni yang diidentifikasikan sebagai Kalimantan, dan Pin-su sebagai Barus atau Sumatra.

Saudagar Cina membagi kualitas produk tersebut berdasarkan derajat kemurniannya. Kapur berkualitas baik dan berbentuk kristal disebut “kapur bunga plum”. Kapur yang kualitasnya rendah disebut dengan “kapur emas bawah”. Kapur remukan disebut “kapur beras”, tetapi bila jenis ini sudah bercampur dengan serpihan disebut “kapur abu-abu”.

Nama Latin untuk kapur barus ialah caphurae. Konon, istilah ini secara etimologis berasal dari nama Arab, kafur. Sangat mungkin kapur barus telah dikenal oleh masyarakat Timur Tengah bahkan jauh sebelum munculnya agama Islam. Menurut Wolters, seorang penyair Arab, Amru al-Qais (wafat 530 Masehi) diketahui sangat memuji keharuman kafur dalam puisi-puisinya.

Getah Kapur Barus (Foto Nationalgeographic)

Bukti lain kapur barus telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Timur Tengah berada dalam Al-Quran, kitab suci umat Muslim. Surat al-Insan Ayat 5 menyebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur.” Dari ayat ini diperkirakan, di masa Nabi Muhammad menyiarkan Islam di Mekah dan Madinah, kapur barus telah dikenal di dunia Arab.

Hal yang menarik adalah dalam ayat tersebut terlihat posisi air kafur sebagai balasan (reward) bagi para ahli kebaikan, tentu ia bukanlah minuman pasaran. Bisa ditebak, dulu air kafur merupakan minuman yang sangat eksklusif di tanah Arab, atau setidaknya bersifat sangat langka dan harganya juga sangat mahal.

Sekalipun posisi kapur barus telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat Timur Tengah, setidaknya sejak abad ke-6 Masehi, nama daerah asal komoditas tersebut ternyata baru mulai tercatat dalam khazanah mereka setelah memasuki abad ke-10. Catatan Arab menyebut pelabuhan besar kuno ini dengan nama Fansur.

Sulaiman al-Mahri, saudagar Arab di masa lalu, memberi catatan tentang lokasi Fansur, yaitu berada di pantai barat Sumatra, di antara pelabuhan Singkel dan Pariaman, di seberang Niha (Nias) dan sedikit ke arah selatan Pulau Banyak.

Ibn al-Faqih yang juga saudagar Arab, menulis dalam catatannya bahwa pada 902, Barus atau Fansur merupakan pelabuhan besar di pantai barat. Selain kapur barus, ternyata Barus juga menghasilkan beberapa komoditas lain seperti cengkeh, kayu cendana, dan pala, catatnya. [Ahmad Gabriel]

Baca juga: