Seorang tentara Suriah menggendong perempuan terluka di Alleppo Timur, 12 Desember 2016. Foto: SANA/ AP

Koran Sulindo – Aleppo dalam dua pekan terakhir ini menjadi perhatian dunia, terutama setelah kota terbesar di Suriah itu dikuasai sepenuhnya oleh tentara pemerintah. Tak bisa dinafikan, media massa, terutama media Barat, menjadi pendorong utama dari upaya menjadikan Aleppo sebagai salah satu pusat perhatian publik.

Media Barat menjadikan berita Aleppo begitu sensasional. Media  itu membuat “drama” tentang pembantaian warga sipil di sana.

Ada yang mencium aroma propaganda yang menyengat dari pemberitaan media-media tersebut, yang membawa kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya. Terbaca kesan, negara Uwak Sam dan konco-konconya ingin terlibat lebih jauh di Suriah setelah kekalahan memalukan di Aleppo. Mereka merancang pemberitaan tendensius yang menyudutkan pemerintah Suriah, terutama soal kekejaman-kekejaman tentaranya.

Wajar jika pandangan miring itu muncul. Karena, hal-hal nista seperti itu juga pernah dilakukan media-media Barat sebelumnya. Kita bisa mengambil contoh apa yang dilakukan William Randolph Hearst, konglomerat media Amerika Serikat, pada tahunh 1935.

Hearst membantu Nazi ketika sedang perang urat saraf melawan Uni Soviet di bawah kepemimpinan Joseph Stalin. Ia merupakan anak dari George Hearst, miliuner yang memiliki bisnis pertambangan. Juga menjadi senator dan pemilik San Francisco Daily Examiner.

William Randolph Hearst dikenal sebagai Bapak Koran Kuning—istilah yang merujuk ke koran atau media massa yang mengabarkan berita sensasional. Setelah ayahnya meninggal, ia menjual perusahaan-perusahaan pertambangan yang diwarisi ayahnya dan mulai  mengembangkan kerajaan medianya.

Koran pertama yang ia beli adalah New York Morning Journal, koran tua yang diubah menjadi koran sensasional. Kebohongan dan kekejaman diberitakan sebagai kebenaran.

Selain meraup banyak uang, Hearst juga menjadi tokoh penting akibat kerap memproduksi berita bohong. Ia bahkan menjadi salah satu orang terkaya di dunia, dengan kekayaan US$ 200 juta pada tahun 1935. Selanjutnya, Hearst membeli puluhan koran harian dan mingguan di Amerika Serikat.

Tahun 1940, ia memiliki 25 koran harian, 24 koran mingguan, 12 radio, dan beberapa media lain. Berdasarkan fakta itu, Hearst mampu memengaruhi politik Amerika Serikat dan dunia.

Tahun 1934, ia melakukan perjalanan ke Jerman. Hearst diterima dengan baik oleh Hitler sebagai teman. Kedua orang ini sama-sama konservatif dan ultra-nasionalis.

Setelah pertemuan tersebut, media massa milik Hearst semakin reaksioner dan kerap menjadi penentang sosialisme yang dibangun Stalin di Soviet. Medianya bahkan menjadi alat propaganda Nazi, secara rutin menerbitkan artikel yang ditulis Hermann Wilhelm Goring, tangan kanan Hitler.

Seperti di Aleppo hari ini, Hearst melalui medianya memberitakan kebohongan-kebohongan yang terjadi di Soviet. Diberitakan telah terjadi pembunuhan, genosida, perbudakan, kelaparan, dan sebagainya. Itu nyaris diberitakan setiap hari dan dibaca sekitar 40 juta orang Amerika Serikat dan jutaan orang di seluruh dunia.

Media itu menyebutkan sekitar 25 ribu orang terjebak di Aleppo setelah pasukan pro-Presiden Bashar al-Assad merebut dari tangan pemberontak. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan ikut-ikutan memproduksi berita yang diragukan validitasnya, dengan menyatakan: 82 warga sipil dibantai oleh pasukan pro-pemerintah.

Laporan almasdarnews.com pada akhir Desember 2016 menyebutkan, sebagian besar media Barat memproduksi berita yang memojokkan tentara pemerintah Suriah dengan meng-copy-paste cuitan akun Twitter sumber-sumber yang tidak jelas. Bahkan, sering dalam berita itu tidak disebutkan nama narasumbernya. Dan informasi itu kemudian menyebar ke berbagai media arus utama milik Barat. Padahal, berita tersebut sangat jauh berbeda dengan laporan wartawan yang benar-benar berada di Aleppo.