Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM untuk jenis RON 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500 – 13.000 per liter pada 1 April 2022 yang lalu. Kenaikan ini diklaim untuk menyesuaikan harga minyak mentah dunia. Kendati demikian Pertamina mengungkapkan jika kenaikan tersebut masih lebih rendah sekitar Rp 3.500 dari harga keekonomian Pertamax.
Pengumuman kenaikan harga tersebut lahir tidak terlalu jauh dengan kebijakan pencabutan batas Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sebesar Rp 14.000 perliter. Kendati harga Rp 14.000 per liter tetap diberlakukan untuk minyak goreng curah setelah mendapat subsidi dari pemerintah. Namun harga minyak goreng kemasan melonjak naik hingga di atas Rp 20.000 per liter.
Disparitas harga yang sangat tinggi antara produk subsidi dan non subsidi akan berpotensi menimbulkan gejolak pasar yang berpengaruh pada kondisi ekonomi. Kondisi ini akan merugikan kelas menengah ke bawah yang memang rentan secara ekonomi.
Misalnya, kelangkaan minyak goreng terus terjadi setelah pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan. Minyak goreng bersubsidi sering menghilang dari pasar dan membuat rakyat terpaksa membeli minyak dengan harga yang lebih mahal.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian menetapkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp 100.000 per bulan, selama tiga bulan yang diberikan sekaligus pada bulan Mei 2022 untuk masyarakat peserta program PKH.
Kebijakan tersebut diharapkan mampu menekan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Apalagi saat ini memasuki bulan Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri. Dimana permintaan atas kebutuhan bahan pokok termasuk minyak goreng akan melonjak tinggi.
Masalah kelangkaan, tidak hanya terjadi pada minyak goreng bersubsidi, tetapi merambah juga pada bahan bakar jenis solar dan bensin. Antrean akibat kelangkaan solar bersubsidi dan Pertalite mulai terjadi di sejumlah wilayah.
Kelangkaan solar bersubsidi di Balikpapan membuat pembeli harus antri berjam-jam. Kelangkaan solar juga terjadi di Aceh, Riau, Jambi dan Bengkulu. Apalagi disparitas harga solar subsidi dan non subsidi cukup jauh, dimana solar subsidi dijual pada harga Rp 5.150 per liter sementara non subsidi seperti Dexlite dijual dengan harga Rp 12.950 per liter. Ada selisih harga sebesar Rp 7.800 setiap liter antara solar subsidi dan non subsidi.
Sementara kelangkaan Pertalite dilaporkan mulai terjadi di beberapa wilayah seperti di Jambi. Meskipun demikian pasokan Pertalite menurut Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution justru dipasok 15% di atas konsumsi rata-rata Pertalite.
Kelangkaan atau antrean kepada Pertalite sebenarnya wajar. Hal ini bisa jadi akibat kenaikan Pertamax yang cukup tinggi sehingga membuat banyak konsumen kemudian beralih ke yang lebih terjangkau seperti Pertalite.
Berebut subsidi
Akan tetapi di lapangan, sering kali isu-isu subsidi berkembang pada siapa berhak mendapat akses dan siapa yang tidak. Meskipun aturannya jelas siapa yang berhak mendapatkan barang bersubsidi dan siapa yang tidak. Lalu apa sebenarnya penyebab yang mungkin saja problem barang bersubsidi kemudian selalu habis atau mengalami kelangkaan.
Ada beberapa faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dengan kebijakan kenaikan harga belakangan ini. Pertama adalah pandemi COVID 19. Meskipun sudah relatif tertangani, akan tetapi pemulihan ekonomi terutama sektor kecil berjalan lebih lambat. PHK dan tumbangnya berbagai usaha rakyat belum sepenuhnya pulih dengan ketersediaan pekerjaan dan pasar yang masih membutuhkan waktu untuk kembali pulih sepenuhnya.
Kemudian yang kedua adalah datangnya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Bulan suci ini umumnya ditandai dengan naiknya konsumsi masyarakat apalagi menjelang hari raya Idul Fitri. Tanpa kenaikan harga saja, sering terjadi kelangkaan dan inflasi. Apalagi dengan adanya kenaikan harga-harga ini, potensi untuk inflasi dan kelangkaan yang lebih buruk bisa saja terjadi. Hal tersebut tentu saja bisa berimbas pada program pemulihan ekonomi akibat pandemi yang lebih berat.
Ketiga adalah masalah ketidakpastian ekonomi. Pandemi dan ketidakstabilan ekonomi akibat berbagai hal termasuk masalah geopolitik dunia bisa mendorong kewaspadaan masyarakat untuk membeli barang-barang yang lebih terjangkau untuk mengamankan simpanan mereka.
Berbagai kebijakan memang kemudian ditetapkan oleh pemerintah untuk mengurangi carut marut akibat kenaikan dan kelangkaan bahan bakar dan minyak goreng di pasaran. Jaminan ketersediaan diberikan untuk suplai Pertalite, begitu juga dengan solar dengan upaya pelarangan industri besar menggunakan solar bersubsidi. Sementara untuk minyak goreng, program BLT minyak goreng diharapkan mampu mengurangi kelangkaan minyak di pasaran.
Penikmat subsidi
Meskipun demikian, masalah di lapangan seringnya subsidi justru menguntungkan bagi pengusaha besar ataupun perusahaan besar. Alih-alih meringankan daya beli rakyat, subsidi justru seperti uang titipan yang diberikan lewat kantong rakyat untuk pengusaha besar minyak maupun energi.
BLT minyak goreng misalnya. Program untuk memerangi kelangkaan minyak ini berpotensi untuk menjadi alat pembelian minyak non subsidi akibat keterbatasan minyak goreng subsidi. Jika demikian yang untung besar dari proyek subsidi dan BLT minyak goreng ini sekali lagi adalah para taipan minyak goreng.
Memang model kebijakan subsidi terkesan memberikan keringanan pada rakyat kecil. Meski demikian banyak kritik pada kebijakan subsidi harga dan BLT yang sering dianggap bentuk kegagalan pemerintah dalam menghadapi kekuatan pasar dan monopoli atas energi.
Kritik itu cukup berasalan karena Indonesia adalah negeri penghasil CPO terbesar di dunia yang seharusnya mampu mengendalikan harga minyak goreng. Apalagi Menteri Perdagangan M. Lutfi pernah mengungkapkan menyangkut minyak goreng alasannya sederhana yaitu kesulitan atas suplai minyak akibat mafia.
Kebijakan pengendalian harga memang paling memungkinkan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Terutama jika melihat bagaimana kemampuan daya beli masyarakat, fundamental ekonomi dan kestabilan pasar di dalam negeri. [WID]