UNTUK MENGINGATKAN, sepanjang tahun 2017 lalu, bencana hidrometeorologi di Indonesia terjadi 2.314 kali. Sebanyak 377 orang dilaporkan meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka, serta sekitar 3,5 juta orang mengungsi dan menderita. Kerugian materiil akibat bencana pada tahun 2017 ditaksir mencapai Rp 30 triliun.

“Dari sisi jumlah, bencana tersebut cukup besar, yakni 92 persen dari bencana lain yang terjadi di Indonesia,” ujar pakar dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Armi Susandi, dalam seminar “Waspada Bencana Hidrometeorologi: Kita Bisa Siaga!” di Gedung II BPPT Jakarta, 25 April 2018 silam.

Dijelaskan Armi, bencana hidrometeorologi berdampak yang besar terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Itu sebabnya, masyarakat dan pemerintah perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi, baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.

“Perlu dilakukan pengembangan teknologi monitoring dan prediksi kebencanaan hidrometeorologi, penyusunan tata ruang yang sesuai tingkat kerentanan bencana, dan kampanye untuk peningkatan pemahaman dampak dan pengurangan risiko bencana,” kata Armi.

Data dan proyeksi peningkatan temperatur dunia hingga 2100, lanjutnya, dapat menjadi gambaran bahwa frekuensi bencana hidrometeorologi akan terus meningkat di masa mendatang. Jadi, perlu segera diantisipasi melalui dukungan teknologi prediksi potensi kebencanaan yang presisi dan akurat.

Diungkapkan Armi, sekarang ini dibutuhkan inovasi teknologi di bidang prediksi kebencanaan seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk dan dampak perubahan iklim. Pemerintah dan masyarakat harus terus mengembangkan teknologi-teknologi tepat guna yang dapat memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi.

“Kita perlu memanfaatkan peluang-peluang yang semakin terbuka, seperti perkembangan prasarana teknologi komputasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta dukungan data yang semakin lengkap dan presisi,” kata Armi lagi.

Ia sendiri telah mengembangkan teknologi prediksi potensi kebencanaan ke dalam sistem informasi. Sistem ini dapat diakses semua kalangan melalui sebuah aplikasi, yang dilengkapi dengan aksi dan adaptasi dini yang tepat.

Armi antara lain telah menghasilkan sistem MHEWS, FEWEAS Bengawan Solo dan Citarum, hingga SICA. Sistem tersebut pun telah diuji di lapangan.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama mengungkapkan, pihaknya sebagai instansi pemerintah terus memberikan layanan informasi mengenai cuaca, iklim, dan kegempaan. Ini dilakukan untuk membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana terkait meteorologi klimatologi dan geofisika (MKG) dan secara khusus bencana hidrometeorologis.

Ia juga menyatakan, pihaknya terus memberikan edukasi kepada masyarakat, terutama kepada para penggiat dan relawan bencana, petani, serta nelayan. Edukasi itu dilakukan melalui berbagai program kolaborasi dan kerja sama dengan pemerintah.

“Di satu sisi, masyarakat harus memiliki kesadaran dan dipersiapkan agar mampu menghadapi bencana. Di sisi lain, para ahli dan petugas dengan kualifikasi yang baik dan jumlah yang cukup perlu disebar secara proporsional di daerah rawan bencana,” tutur Nelly. [PUR]