Upaya evakuasi korban tsunami Selat Sunda, 23 Desember 2018. Foto: Basarnas

Koran Sulindo – Tak ada gempa bumi terjadi sebelumnya, namun tsunami pada Sabtu malam, 22 Desember 2018, datang menerjang wilayah pesisir barat Banten dan selatan Lampung. Sampai Ahad malam, 23 Desember 2018, dicatat 222 orang meninggal dunia, 28 masih dinyatakan hilang, dan yang mengalami luka-luka sebanyak 843 orang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, tsunami di Selat Sunda tersebut merupakan kejadian alam yang sangat langka. Diperkirakan, ketika Gunung Anak Krakatau erupsi, magma panas mendorong dan menggugurkan tanah atau batuan dingin, sehingga menyebabkan longsor, yang mendorong air laut dan menciptakan gelombang tinggi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla pun telah menegaskan soal ini. “Saya sudah berbicara dengan Kepala BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika] dan Geologi. Ini suatu kasus yang tidak biasa bahwa tsunami tanpa gempa. Jadi, gejalanya ada kemungkinan dari perubahan atau letusan Gunung Anak Krakatau,” kata Jusuf Kalla setelah memimpin “Rapat Penanggulangan Bencana Tsunami Selat Sunda” di Pangkalau Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Ahad siang.

Kita sebagai sesama anak bangsa ikut berduka. Tampaknya budaya sadar bencana bangsa ini harus benar-benar ditingkatkan, agar dampak dan korban bencana bisa diminimalkan. Karena, Indonesia bukan saja tanah surga, tempat “kayu dan batu bisa tumbuh menjadi tanaman”, seperti lirik lagu Koes Plus itu, tapi juga negeri rawan bencana, termasuk bencana gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi.

Ihwal ini pada awal Oktober 2018 lalu juga telah diingatkan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho. Ia mengatakan, budaya sadar bencana dan mitigasi yang dimiliki masyarakat Indonesia masih lemah. Pengetahuan masyarakat tentang mitigasi bencana belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Ini menyangkut masalah budaya sadar bencana. Pengetahuan bencana meningkat sejak tsunami Aceh, tapi belum menjadi sikap perilaku dan mitigasi kita masih cukup lemah,” tutur Sutopo saat acara “Forum Merdeka Barat” di Kementerian Komunikasi dan Informasai, Jakarta Pusat, 2 Oktober 2018.

Bencana juga masih terus menghantui Indonesia, terutama pada musim hujan tahun 2018 sampai tahun 2019 nanti. Malah, dalam keteranganh tertulis pada 25 Oktober 2018, Sutopo mengungkapkan, jumlah korban meninggal dunia dan hilang akibat bencana pada 2018 terbesar sejak 2007. Jumlah kejadian bencana diperkirakan hampir sama dengan jumlah bencana tahun 2016 dan 2017, yaitu 2.306 dan 2.391 kejadian.

“Dampak yang ditimbulkan akibat bencana pada 2018 sangat besar,” tutur Sutopo.

Umumnya, bencananya adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, badai, dan tanah longsor.  BNPB mencatat, sejak 1 Januari 2018 hingga 13 Desember 2018, longsor terjadi cukup merata di beberapa wilayah di Indonesia, sebanyak 430 kejadian. Dampak yang ditimbulkan 129 orang meninggal dan hilang, 115 orang luka-luka, 37.933 orang mengungsi dan terdampak, dan 1.948 rumah rusak.

Pada 14 Desember 2018, misalnya, bencana longsor terjadi di Dusun Jetis, Desa Pacarmulyo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pada Desember 2018 ini, bencana longsor antara lain juga terjadi di Toba Samosir, Sumatera Utara; Bukittinggi, Sumatera Barat, dan; Pacitan, Jawa Timur.

Diperkirakan BNPB, bencana longsor akan terus meningkat seiring meningkatnya curah hujan, yang akan mencapai puncaknya di sebagian besar wilayah Indonesia pada Januari-Februari 2019. Begitu juga dengan banjir dan badai, terjadi di banyak daerah di Indonesia pada beberapa pekan terakhir ini.

“Mitigasi bencana longsor, baik struktural maupun nonstruktural masih perlu ditingkatkan. Sistem peringatan dini longsor masih sangat terbatas jumlahnya. Hanya 300-400 unit yang ada di daerah rawan longsor, sementara kebutuhannya lebih dari ratusan ribu unit,” kata Sutopo Purwo Nugroho.