Ilustrasi/taxlinked.net

Koran Sulindo – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan mempercepat penyelesaian Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. RUU ini dikebut karena pemerintah ingin memperbaiki rasio pajak yang selama disebut masih rendah dibanding negara-negara tetangga.

Lewat pengampunan pajak, selain untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia yang baru 11% dari produk domestik bruto, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan dari pajak hingga Rp 200 triliun pada tahun ini. Dibandingkan dengan rasio pajak negara tetangga yang mencapai 14% hingga 16%, rasio pajak Indonesia termasuk kecil.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan lewat pengampunan pajak, maka uang yang mengalir ke dalam negeri bisa meningkat. Dengan begitu, penerimaan pajak pada tahun depan akan meningkat.

Catatan Kementerian Keuangan realisasi penerimaan pajak hingga 31 Mei 2016 baru Rp 364,1 triliun atau 26,8% dari target yang ditetapkan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2016 yaitu Rp 1.369,2 triliun. Rendahnya penerimaan pajak ini disebut karena penerimaan Pajak Penghasilan [PPh] dari sektor minyak dan gas bumi mengecil, terutama karena harga minyak dunia saat ini anjlok.

Namun, sebagian kalangan melihat RUU Pengampunan Pajak ini seperti memberi “karpet merah” kepada para pengemplang pajak. Peneliti senior Perkumpulan Prakarsa Setyo Budianto, misalnya, mengatakan, untuk mengembalikan dana endapan yang diperkirakan mencapai Rp 11.450 triliun tidak seharusnya menggunakan pengampunan pajak.

Menurut Budi, dengan menggunakan pengampunan pajak, justru penerimaan pajak akan tidak maksimal. Jika tarif tebusan untuk mengembalikan dana endapan tersebut berkisar 1% hingga 6% hasilnya justru jauh dari yang diharapkan. Terakhir pemerintah berharap dari negara akan menerima sekitar Rp 100 triliun dari dana endapan. Angka yang terus berubah.

Budi menyarankan agar pemerintah menggunakan skema Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan [OECD] melalui skema common reporting standard [CRS] dan pertukaran informasi otomatis. Skema ini didukung penuh anggota negara G-20. CRS adalah cara untuk mencegah pengemplangan pajak yang bersifat global.

Melalui mekanisme CRS potensi penerimaan negara disebut jauh lebih besar. Semisal, memberlakukan pajak penghasilan 30% tanpa denda dari Rp 11.450 triliun, maka hasilnya mencapai Rp 3.435 triliun. Itu berarti penerimaannya puluhan kali lipat dibandingkan dengan menerapkan pengampunan pajak. Bahkan jika tingkat keberhasilan skema ini hanya 20%, potensi pendapatan negara mencapai Rp 687 triliun. Sisanya negara tetap bisa mengejarnya karena itu tidak diputihkan.

Karena itu, Budi mencurigai, RUU Pengampunan Pajak ini merupakan skema pemberian “karpet merah” kepada preman berdasi. Preman berdasi ini antara lain bisa saja pejabat, pengusaha dan politisi.

Saat ini ada 3 hal yang menjadi isu dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak di DPR. Pertama, fraksi-fraksi masih belum sepakat soal agenda reformasi perpajakan yang mesti dilakukan bersamaan dengan pengampunan pajak. Berkaca dari negara lain, tanpa itu kemungkinan pengampunan pajak akan gagal.

Kedua, fraksi-fraksi di DPR masih belum sepakat soal tarif tebusan yang disebut masih terlalu rendah. Dalam draf RUU Pengampunan Pajak termuat besaran tarif tebusan berkisar 2%, 4%, atau 6% untuk non-repatriasi dan 1%, 2%, atau 3% untuk repatriasi.

Ketiga, soal data dan informasi harta peserta pengampunan pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Fraksi-fraksi di DPR masih berdebat soal itu karena sebagian menginginkan agar data dan informasi harta peserta dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pidana. [Kristian Ginting]