Benarkah Kecanduan Rokok adalah Gangguan Kejiwaan?

Ilustrasi/flickr

Koran Sulindo – Direktur Eksekutif Indonesia Neuroscience Institute, dr Adhi Nurhidayat SpKJ, mengatakan kecanduan rokok, sebagaimana bentuk kecanduan lain, adalah salah satu gangguan kejiwaan.

“Nikotin yang dikandung rokok itu sama persis dengan narkoba lainnya. Tingkat kecanduannya nomor 3 setelah heroin dan kokain,” kata Adhi, dalam Diskusi Publik “Rokok dan Puasa, Murahnya Harga Rokok” yang diadakan Komite Nasional Pengendalian Tembakau, di Jakarta, Senin (28/5/2018) kemarin.

Narkotika dan bahan adiktif terdiri atas dua jenis, yaitu yang legal dan ilegal. Meskipun legal, tetap saja disebut narkoba, termasuk rokok. Menurut Adhi, tingkat kecanduan nikotin lebih tinggi daripada shabu-shabu dan ganja.

“Masalahnya banyak masyarakat yang tidak tahu kalau rokok termasuk narkoba sehingga perilaku merokok dianggap normal,” kata Adhi.

Studi

Sebuah penelitian yang dilakukan King College London, 2 tahun lalu, menemukan adanya hubungan perokok dengan risiko gangguan jiwa berat atau skizofrenia pada usia muda.

Penelitian yang diterbitkan di Lancet Psychiatry itu menganalisi 61 studi terpisah, dan menyimpulkan nikotin dalam asap rokok dapat kadar dopamin mengubah otak.

“Sulit untuk mengetahui sebab-akibat tembakau bisa menjadi penyebab masalah kejiwaan. Namun kami berharap, penelitian dan uji klinis lain dapat dilakukan untuk membantu memberikan bukti yang lebih kuat,” kata Dr James MacCabe, dari Institute of Psychiatry, Psychology and Neuroscience at King, Senin (13/7/2015), seperti dikutip bbc.com.

Penelitian yang melibatkan 14.555 dan 273.162 non-perokok ini menunjukkan, ada 57 persen orang di antaranya yang mengalami kondisi gangguan kejiwaan.

Sebelumnya, merokok memang telah lama dikaitkan dengan psikosis. Namun penelitian ini menguatkan perokok harian memiliki risiko skizofrenia 2 kali lebih besar dari yang tidak merokok.

“Faktanya sangat sulit untuk membuktikan tanpa uji coba secara acak, tetapi ada banyak alasan yang menunjukkan merokok mengakibatkan sakit jiwa,” kata MacCabe.

Tingkat psikosis yang dimaksud adalah kondisi di mana pasien mengalami delusi, paranoia, dan mendengar suara-suara di kepala mereka.

Menurutnya, bagaimananapun tembakau hanya salah satu dari banyak faktor, selain genetik, diet, gaya hidup, dan pengaruh lainnya yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena skizofrenia.

Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan parah yang memengaruhi sekitar satu dari seratus orang. Biasanya dimulai pada awal masa dewasa. Gejala yang paling umum adalah gangguan dalam berpikir dan persepsi, serta adanya pengalaman psikotik.

Hubungan antara merokok dan skizofrenia telah dilaporkan dalam penelitian sebelumnya. Namun, sampai sekarang, banyak dokter memiliki hipotesis pengobatan sendiri. Menurut mereka, pasien merokok untuk melawan gejala stres skizofrenia atau melawan efek samping obat antipsikotik.

Robin Murray, profesor penelitian psikiatri di Universitas King, yang terlibat dalam penelitian, mengatakan, aktivitas dalam sistem dopamin otak menjelaskan adanya kemungkinan hubungan sebab akibat antara merokok dan psikosis.

“Kelebihan dopamin adalah penjelasan biologis terbaik yang kami miliki untuk penyakit psikotik. Ada kemungkinan paparan nikotin, dengan meningkatkan pelepasan dopamin, menyebabkan psikosis berkembang.”

Mutasi

Sebelumnya, dalam penelitian pada 2015, Prof Boris Quednow dari University of Zurich dan Prof Georg Winterers dari University of Cologne, berdasarkan pemeriksaan electroencephalography (EEG), para para peneliti menemukan adanya perbedaan aktivitas otak dalam merespons strimulasi akustik. Perbedaan ini terkait dengan mutasi atau perubahan pada gen tertentu yang disebut Transcription Factor 4 (TCF-4).

Partisipan yang dilibatkan terdiri dari 1.800 orang dewasa sehat yang tidak sedang memiliki gangguan kejiwaan.

Perbedaan respons otak dan juga mutasi gen TCF-4 ditemukan juga pada penderita gangguan jiwa schizophrenia. Adanya kaitan antara keduanya menunjukkan bahwa sebagian orang terlahir dengan bakat schizophrenia, yang sewaktu-waktu bisa memicu gangguan jiwa.

Ketika dibandingkan dengan kebiasaan merokok, para partisipan yang merokok secara aktif cenderung kurang efektif dalam memberikan respons terhadap stimulasi akustik.

Para peneliti menduga, hal itu dipicu oleh perubahan atau kerusakan gen RCF-4 yang lebih drastis.

“Merokok bisa mengubah dampak dari gen TCF-4 terhadap penyaringan stimulasi akustik,” kata Prof Boris Quednow, Maret 2012, seperti dikutip sciencedaily.com.

Temuan ini diyakini akan sangat berguna dalam menentukan faktor risiko schizophrenia pada beberapa orang yang terlahir dengan gen TCF-4, terutama yang memiliki kebiasaan merokok. Seperti diketahui, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa schizophrenia juga bisa diturunkan. [DAS]