Ilustrasi/Anak-anak Muslim bermain di kamp pengungsi Thetkel Pyin, Myanmar/EPA

Koran Sulindo – Sebanyak 4 kontainer makanan dan pakaian bantuan Indonesia yang dikirim ke negara bagian Rakhine sudah tiba di tujuan. Kontainer itu bagian dari 10 kontainer yang dikirimkan untuk komunitas Muslim dan Budhis di Maungtaw.

Dirjen Departemen Ekonomi dan Organisasi Internasional Kementerian Luar Negeri Myanmar, Kyaw Moe Tun, langsung menerima bantuan itu, seperti dikutip Global New Light of Myanmar, Kamis (5/1) waktu setempat.

Bantuan itu berkat koordinasi 2  negara melalui jalur diplomatik sebulan terakhir.

Kyaw Zeya, sekertaris Kementerian Luar Negeri, mengatakan belum ada tawaran bantuan dari Malaysia.

Konsul Negara Aung San Suu Kyi  mengatakan pada menteri luar negeri negara-negara Asia Tenggara mulai membuka akses bagi bantuan kemanusian ke negaranya.

Ke Indonesia

Pemimpin de facto Myanmar itu juga berharap dapat segera mengunjungi Indonesia untuk menyampaikan terima kasih atas bantuan pemerintah dan rakyatnya. Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, Aung Htoo, mengatakan mengunjungi Indonesia adalah bagian dari tradisi ASEAN.

“Presiden dan konselor kami belum pernah mengunjungi Indonesia. Jadi ini akan menjadi kunjungan pertama, bagian dari tradisi ASEAN, dan pada saat yang sama, kami ingin berterima kasih atas bantuan yang telah diberikan Indonesia,” kata Aung Htoo, Senin, (2/1).

Pemerintah baru Myanmar juga berharap kunjungan Aung San Suu Kyi dapat sekaligus meningkatkan kerja sama kedua negara, khususnya di bidang ekonomi. “Kami ingin mengundang perusahaan Indonesia, khususnya BUMN, untuk bekerja sama dengan perusahaan Myanmar,” ujar Aung Htoo.
Pada 29 Desember 2016, Presiden Joko Widodo melepas 10 kontainer bantuan kemanusiaan dari Indonesia untuk masyarakat Rakhine, Myanmar, yang terdiri atas mi instan, makanan, susu bayi, dan pakaian.

Sebelumnya, Suu Kyi berencana mengunjungi Indonesia pada 2 Desember 2016, tapi karena krisis Rakhine dan situasi di Jakarta kurang kondusif, kedua belah pihak sepakat menunda kunjungan tersebut.

Menurut Dubes Htoo, saat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengunjungi Myanmar pada 6 dan 19 Desember 2016 lalu, kedua belah pihak telah membahas perihal jadwal ulang kunjungan Aung San Suu Kyi ke Indonesia, dan Retno menyarankan kunjungan dilakukan setelah 19 Januari 2017.  Alasannya, pada minggu pertama hingga 19 Januari 2017 terdapat pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Rabat, Maroko.

Diplomasi Tanpa Kegaduhan

Tak mudah menyelesaikan konflik horizontal yang terjadi di Rakhine Myanmar. Ini mengingat pemicu terjadinya konflik tersebut terdapat sentimen isu agama.

Demikian diungkapkan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pidatonyo usai menerima Anugerah Hamengku Buwono IX yang berlangsung di Keraton Yogyakarta Jumat malam (30/12).

“Saya tak segan-segan meminta masukan pada pimpinan organisasi keagamaan dan para tokoh agama di tanah air untuk membantu mengatasi permasalahan masyarakat muslim Rohingya,” katanya.

Retno juga mengungkapkan dirinya telah pula bertemu dengan Aun San Suu Kyi. Dalam pembicaraannya itu terjadi kesepakatan tentang pentingnya pemerintah Mynamar dan ASEAN segera mengatasi situasi di Rakhine. Suu Kyi juga sepakat melakukan pertemuan lanjutan dengan para Menlu di tingkat ASEAN. Di sini, menurut Retno,  pemerintah RI mengusulkan beberapa opsi, salah satunya adalah pemerintah Myanmar perlu membuka  akses untuk aksi kemanusiaan dan membuka akses media agar situasi diketahui oleh dunia luar.

“Kita mengusulkan akses kemanusiaan dan akses pada media secara bertahap dan terbatas. Kita meminta Myanmar menyampaikan update tentang penanganan Rakhine,” ujar Retno.

Usai bertemu dengan Suu Kyi, ujar Retno,ia mengunjungi kamp pengungsi pengungsu muslim di Kutupalong di Cox’s Bazar, Bangladesh. Ia pun juga bertemu dengan Perdana Menteri Bangladesh serta Menlu Negara tersebut. Kunjungan dengan pimpinan Negara Bangladesh tersebut menurut Retno karena Negara itu memiliki daeerah perbatasan dengan Myanmar yang selama ini terus bergejolak. “Kedua negara kita dorong memiliki hubungan yang baik dalam megelola perbatasan. Jika hubungan mereka memburuk, bukan tidak mungkin jumlah pengungsi akan melimpah dan berdampak sampai ke Asia Tenggara,” kata Retno.

Menurut Retno, baik Myanmar maupun Bangladesh sepakat saling mengirim utusan khusus untuk menyelesaikan masalah perbatasan dan masalah pengungsi yang tinggal di perbatasan. “Semua langkah yang kita ambil ini   membutuhkan proses sangat panjang, detil dan hati-hati karena menyangkut kedaulatan negara lain,” tuturnya.

Pemerintah RI selain mengirim dirinya juga mengirim bantuan 10 kontainer yang berisi makanan dan pakaian untuk para pengungsi muslim Rohingya. Sementara untuk program jangka panjang pemerintah akan memberikan bantuan peningkatan capacity building dalam hal bantuan teknis  upaya penangangan perdagangan obat terlarang dan perdagangan manusia, kerjasama peningkatan kapasitas good governance, dan interfaith dialogue. “Kita ingin nantinya Myanmar bisa meniru Indonesia dimana umat Budha bisa hidup berdampingan secara damai dengan Muslim. Upaya yang kita lakukan ini dilakukan secar kontinyu,” katanya.

Apa yang dilakukan pemerintah RI, menurut Retno, adalah menjalankan kebijakan politik luar negei yang bebas dan aktif dengan ikut serta menjaga perdamian dunia.  “Saya melakukan diplomasi yang dilakukan secara hati-hati dan tidak menimbulkan kegaduhan. Karena konflik Rohingya merupakan isu sangat sensitif menyangkut negara yang berdaulat penuh, kedaulatan sebuah negara harus dihormati,” kata Retno.

Dalam kesempàtan itu Retno menegaskan bila dirinya dalam menjalankannya politik luar negeri ia jalankan dengan hati. “Saya selalu berpesan dengan para diplomat muda kita, tidak cukup bekerja hanya karena dibayar. Tapi bekerjalah dengan hati, yakinlah kelelahan itu terasa tidak akan ada,” kata Retno. [mizzima.com/Antara/YUK/DAS]