Ilustrasi: Detik

Suluh Indonesia – Sebetulnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah terkuak sejak akhir Mei 2019, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan kasus yang merugikan negara Rp4,58 triliun itu naik ke tahap penyidikan.

Setelah resmi keputusan KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istri sebagai tersangka kasus tersebut kemudian, setelah setahun lebih KPK justru mengentikan kasus tersebut. Alasan dihentikan karena, tidak ada penyelenggara negara.

Kasus ini kemudian memasuki babak baru setelah terbentuknya Satuan Tugas (Satgas) Penanganan hak tagih dana BLBI melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam keterangan, memastikan satgas ini akan berjalan secara transparan dalam melakukan serangkaian penanganan kasus ini.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, Satgas BLBI pun telah melakukan serangkaian penyitaan aset berupa tanah di berbagai daerah.

Aset tersebut meliputi properti yang terletak di Jalan KH Mas Mansyur, Karet Tengsin, Jakarta Pusat seluas 26.928,97 meter persegi dengan dokumen kepemilikan berupa sertipikat dan non-sertipikat.

Properti ini tercatat sebagai aset properti eks BPPN yang berasal dari Barang Jaminan Diambil Alih (BJDA) debitur a.n. PT Sinar Bonana Jaya (PT SBJ) eks Bank Yakin Makmur (Bank Yama) berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah (APHAT) No. 31 tanggal 13 November 1997.

Sementara aset yang kedua adalah berupa satu bidang tanah sesuai SHGB Nomor 7159/Kelurahan Pondok Pinang (d/h SHGB Nomor 489/Pondok Pinang) seluas 2.020 meter persegi di Jalan Gedung Hijau Raya Kav.1/Th-1 No. 63, Jakarta Selatan.

Aset itu tercatat sebagai aset properti eks BPPN yang berasal dari Barang Jaminan Diambil Alih eks debitur a.n. Universal Metal Work, eks Bank Unibank.

Kedua aset eks BLBI ini telah menjadi milik atau kekayaan negara namun selama ini dikuasai oleh pihak ketiga sehingga diperlukan penguasaan fisik melalui pemasangan plang penguasaan dan pengawasan oleh Satgas BLBI.

Sebelumnya pada 27 Agustus 2021 juga telah dilakukan penguasaan fisik melalui pemasangan plang tahap pertama atas 49 bidang tanah seluas 5.291.200 meter berlokasi di Medan, Pekanbaru, Tangerang dan Bogor.

Untuk tahap berikutnya, Satgas BLBI telah merencanakan tindakan penguasaan dan pengawasan aset eks BLBI atas 1.677 bidang tanah dengan luas total sekitar 15.813.163 meter persegi yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia.

Daftar Tagih

Adapun daftar obligor atau debitur yang masuk dalam prioritas penagihan BLBI adalah Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut Soeharto. Dia merupakan anggota keluarga Cendana kedua yang disasar Satgas BLBI setelah Tommy Soeharto.

Utang BLBI atas nama Tutut Soeharto tersebut muncul setelah pemerintah memberikan dana kepada 3 perusahaan miliknya yakni PT Citra Mataram Satriamarga, PT Marga Nurindo Bhakti, dan PT Citra Bhakti Margatama Persada.

Ketiga perusahaan tersebut memiliki utang ke negara masing-masing Rp 191,6 miliar, Rp 471,4 miliar, Rp 6,52 juta dollar AS, dan Rp 14,79 miliar. Yang menarik dan berbeda dengan para obligor BLBI lainnya, utang ke negara tersebut tidak disertai dengan jaminan aset.

Jaminan aset atas utang milik Tutut Soeharto disebutkan tidak ada sama sekali, agunan yang dipakai saat itu hanya berupa SK proyek. Tutut sejauh ini belum pernah dipanggil langsung oleh Satgas BLBI dalam beberapa waktu terakhir.

Sementara adik kandungnya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, sempat dipanggil menghadap Satgas BLBI. Total utang BLBI Pemerintah memerinci, setidaknya ada 48 obligor dan debitur yang memiliki kewajiban pembayaran utang kepada negara.

Secara keseluruhan, besaran utang yang ditagih kepada para obligor dan debitur BLBI adalah senilai Rp 110,45 triliun. Untuk menagih utang tersebut, pemerintah akhirnya membentuk Satgas BLBI.

Satgas diberikan tugas untuk mengejar para obligor atau debitur hingga ke luar negeri sampai 2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan ingin dana BLBI itu segera dibayar karena kasus sudah berlangsung lebih dari 20 tahun.

Masih banyaknya obligor yang masih berhutang ke negara, baik karena memang melunasi kewajibannya, maupun karena aset yang dijaminkan tidak cukup untuk melunasi.

Pemerintah menyatakan memegang komitmennya untuk mengejar para debitur dan obligor, termasuk yang sudah tidak tinggal di alamatnya dulu. Terbukti, ada beberapa obligor dan debitur yang sudah hijrah ke Bali, Medan, bahkan Singapura, tetapi tetap mendapat surat panggilan dari pemerintah.

Beberapa obligor juga diketahui sudah meninggal, sehingga penagihan terpaksa dilakukan kepada ahli warisnya. Dari puluhan obligor yang ada, ada 7 di antaranya masuk dalam penagihan prioritas. Selain sosok Tutut Soeharto, beberapa nama obligor lainnya yang masuk prioritas penagihan yakni Marimutu Sinivasan pemilik Grup Texmaco dan Sujanto Gondokusumo pemilik Bank Dharmala.

Lalu ada Hindaro Tantular dan Anton Tantular pemilik Bank Central Dagang, Kaharudin Ongko pemilik Bank Umum Nasional, Trijono Gondokusumo pemilik Bank Putra Surya Perkasa, dan terakhir Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dewa Rutji. [WIS]

Baca juga: