Koran Sulindo – Dua puluh tahun lamanya saya memimpin komisi di DPR yang berkaitan langsung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik di komisi keuangan maupun di panitia anggaran. Namun, belum pernah saya mengalami situasi seheboh seperti pembahasan APBN 2016.
Telah terjadi defisit yang luar biasa, mungkin terbesar sejak reformasi, dilihat dari sisi nominalnya. Mengapa hal itu bisa sampai terjadi? Bahkan ditahun 2000, 2001, 2002—tatkala kita baru melewati krisis moneter 1998—tidaklah separah dan seheboh seperti sekarang.
Analisis saya, itu terjadi dikarenakan beberapa hal. APBN 2016 adalah yang pertama dan murni dibuat oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR yang baru (hasil Pemilu 2014). Jokowi sebagai Presiden RI yang terpilih karena popularitasnya yang tinggi tentunya tidak mau sampai kehilangan popularitas tersebut.
Maka dengan visi dan misinya, ia ingin menggenjot semaksimal mungkin pembangunan infrastruktur. Sungguh, hal ini adalah suatu cita-cita yang luhur. Karena, selain untuk memperlancar kegiatan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan, juga memberikan kesempatan kerja dan penghasilan bagi rakyat dengan adanya proyek-proyek pembangunan tersebut.
Nah, untuk bisa melaksanakan pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu tentunya dibutuhkan anggaran yang besar. Di sisi lain ada kelompok-kelompok tertentu yang menginformasikan bahwa penerimaan pajak kita mestinya bisa jauh lebih besar dari sekarang. Di sinilah masalah dimulai.
Janji saat pemilihan presiden 2014 untuk pembangunan di satu sisi, sedangkan di sisi lain munculnya bayangan potensi penerimaan pajak yang besar, membuat presiden/pemerintah sangat berambisi untuk mengejar pertumbuhan dan pembangunan
infrastruktur. Tapi, pemerintah seakan melupakan bahwa ekonom dunia sedang melesu. Akibatnya, permintaan sejumlah komoditas unggulan kita (seperti batubara,
karet, dan minyak sawit) berkurang secara signifikan. Harga komoditas tersebut pun menurun tajam.
Di lain pihak, kekhawatiran bahwa harga minyak akan melambung menyebabkan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) guna menurunkan subsidi. Tapi, yang terjadi justru harga minyak menurun tajam, sehingga subsidi berkurang secara otomatis. Ironisnya, penurunan harga BBM itu menekan APBN kita, dari aspek penurunan penerimaan minyak dan gas alam. Jadi, tidaklah mungkin untuk menggenjot penerimaan.
Sepertinya pemerintah juga lupa: peningkatan APBN yang besar akan meningkatkan belanja seluruh sektor kementerian dan lembaga negara. Kenaikan belanja infrastruktur
diikuti pula secara seimbang dengan kenaikan belanja barang pegawai.
Sebagai contoh, kenaikan anggaran untuk lembaga-lembaga tinggi negara—MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, KPK, dan lain-lain. Padahal, banyak di antaranya tidak punya multiplier-effect sebesar pembangunan infrastruktur.
Memang, pemerintah masih punya jalan keluar, dengan mengajukan RUU-APBN Perubahan. Namun, pengalaman membuktikan, tidaklah mudah memotong anggaran
yang sudah pernah diberikan sebelumnya. Pantas dicatat: menambah anggaran jauh lebih mudah daripada menguranginya.
Salah satu jalan yang ingin ditempuh pemerintah untuk “menambal” APBN adalah peningkatan penerimaan pajak, dengan cara lebih mengefektifkan pembayaran pajak oleh para wajib pajak, bahkan dengan ancaman. Yang terbesar dan paling diharapkan adalah hasil dari Undang-Undang Pengampunan Pajak, yang diharapkan ada repatriasi dana sebesar ribuan triliun rupiah. Dan khusus untuk APBNP 2016 diharapkan ada tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 80 triliun.
Hanya saja, ini masih menjadi harapan. Karena, sejak tahun lalu hingga hari ini belum juga ada kesepakatan dari DPR untuk membahas RUU tersebut. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan: mengapa DPR untuk hal yang sepenting itu, kok, seakan-akan mengulur waktu? Seolah-olah DPR tidak peduli dengan urusan fiskal dan pembangunan!
Namun, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan DPR semata. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab ganjalan dalam urusan RUU Pengampunan Pajak tersebut. Pertama, cukup banyak anggota dewan yang mempertanyakan filosofi RUU Pengampunan Pajak itu. Dari segi keadilan, misalnya, mengapa mereka yang sudah
bertahun-tahun melarikan modal, kok, begitu mudahnya diampuni? Lantas bagaimana dengan wajib pajak yang sudah dihukum?
Kedua, hal yang sangat politis sifatnya adalah karena ketidaktegasan dan tidak dijalankannya komitmen pemerintah terhadap DPR. Misalnya, tentang RUU Revisi KPK, yang telah disepakati bersama, tapi kemudian secara sepihak dibatalkan pemerintah, karena adanya tekanan media massa yang diklaim sebagai tekanan publik dan akhirnya dikatakan sebagai keinginan rakyat.
Pengabaian komitmen seperti itu sudah sering terjadi atas nama rakyat, yang menyebabkan beberapa kesepakatan ditunda dan dibatalkan, seperti masalah pengangkatan Kapolri beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, pemberitaan media sangat mem-bully DPR, yang seolah-olah tidak mau
mendengar aspirasi rakyat atau tidak peka terhadap keinginan rakyat. Hal ini tidak
boleh terus berlanjut karena, secara konstitusional, DPR- lah yang merupakan representasi rakyat, bukan kelompok orang per orang, LSM, atau media massa.
Di sinilah masyarakat harus pandai-pandai menentukan dan bersikap. Karena, dengan
keterbukaan informasi dan teknologi cyber, media-sosial (medsos) sangat mudah membentuk opini partisan.
Dibutuhkan Kenegarawanan
Selanjutnya bagaimana? Sebenarnya, dalam hal APBN, pemerintah tidak perlu terlalu khawatir. Hadapilah secara terbuka. Defisit sudah kerap kali terjadi dan dialami pemerintahan yang lalu, namun semua tetap saja berjalan.
Mungkin ini dikarenakan pada awalnya pemerintah Jokowi-JK terlalu bersemangat, sehingga merasa kehilangan muka atas kegagalan ini. Padahal, soal tersebut adalah hal yang biasa saja dalam politik anggaran. Selama kebutuhan publik (terutama pangan, sandang, dan papan) masih bisa dipenuhi, pemerintah tidak perlu sampai merasa kehilangan muka.
Yang justru mesti lebih diwaspadai pemerintah adalah hubungan dengan DPR. Pemerintah harus bisa lebih memegang janji dan kesepakatan yang dibuat bersama DPR. Karena, bagaimanapun, DPR adalah representasi rakyat Indonesia.
Akan halnya DPR sebaiknya harus mau lebih mengerti tentang kepentingan umum dan lebih bertoleransi lagi dengan pemerintah. Sebab, kalau terjadi “sesuatu”, pemerintahlah yang berdiri paling depan untuk mempertanggungjawabkannya.
Maka, kedewasaan serta kenegarawanan dalam menjalankan pemerintahan di negara ini benar-benar perlu disadari dan dilakukan oleh kedua belah pihak, pemerintah dan
DPR. Kalau ini terjadi, RUU Pengampunan Pajak pasti akan segera bisa diundangkan dan APBN kita bisa tertolong. Juga untuk banyak hal krusial di masa depan, jika hubungan pemerintah danDPR terjalin dengan baik, saling menghormati, saling menghargai, dan saling memegang teguh setiap komitmen, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan.
Ingat, UUD 1945 mengatakan, negara ini dikendalikan oleh pemerintah dan DPR, bukan oleh salah satu saja dari keduanya. [Emir Moeis, Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia]