Apa Mungkin Mengganti Pancasila?

Koran Sulindo – Saat Soekarno berbicara di depan sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mengenai dasar negara Indonesia, 1 Juni 1945, diungkapkan bahwa sebagai hasil perenungannya di malam hari didapatnya lima butir falsafah hidup bangsa Indonesia, yang kita kenal dengan istilah Pancasila. Falsafah ini digali dari pola kehidupan masyarakat, yang telah berlangsung selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun. Artinya, Pancasila bukan hal baru untuk bangsa ini, melainkan way of life-nya selama ini.

Emir Moeis, Pendiri dan Pemimpin Umum Koran Suluh Indonesia.

Pidato itu kemudian dituangkan menjadi Piagam Jakarta, yang pada saat-saat terakhir dilakukan perubahan terhadap frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.  Sejak itu tidak pernah lagi ada perubahan substansi apa pun.

Roda waktu terus bergulir. Sejak 1945 hingga pengakuan kedaulatan tahun 1949 tidak pernah ada persoalan dengan Pancasila. Periode 1950 hingga 1959 pun tidak pernah ada gejolak penolakan terhadap Pancasila. Pada rentang waktu itu silih berganti terjadi pemberontakan, mulai dari yang separatis seperti Republik Maluku Selatan, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,Perjuangan Rakyat Semesta, sampai yang ingin mengubah dasar negara menjadi negara Islam.

Anehnya, dalam pemberontakan tersebut tak ada yang secara eksplisit ingin mengganti Pancasila. Bahkan, dalam hal yang legal pun, di Konstituante, dalam proses ingin membuat undang-undang dasar baru tidak ada yang secara an sich ingin mengubah Pancasila.

Lalu, tahun 1965 terjadi lagi upaya Gerakan 30 September yang, walau belum terbuka, sepertinya ingin mengubah ideologi negara menjadi komunis. Kata “seperti”-nya digunakan karena upaya gerakan tersebut gagal, tak sempat memegang kekuasaan

Namun, pasca-Gerakan 30 September itulah kita kemudian selalu diributkan oleh jargon “konstitusional-inkonstitusional”, “asas tunggal”, dan sebagainya. Pemerintah begitu khawatirnya dasar negara akan diganti. Jargon “Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh diubah-ubah” terus-menerus diembuskan selama beberapa dekade.

Dibentuk pula Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan diwajibkan bagi setiap pegawai negeri, mahasiswa, dan siapa pun untuk mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Ada bagusnya memang, terutama tentang penjelasan dan cara pengamalan Pancasil secara teoretis. Namun, karena sifatnya yang memaksa dan dibuat menjadi indoktrinasi, hasilnya pun hanya basa-basi. Mereka yang tampak aktif dan menggebu-gebu mengikuti penataran—bahkan berlomba-lomba ingin menjadi Manggala—sepertinya sebagian besar dari mereka ingin menggunakan penataran P4 untuk naik pangkat dan sebagainya.

Bahkan, kemudian ada lagi program Penelitian Khusus atau disingkat Litsus. Siapa pun yang tidak lulus Litsus, termasuk pasangannya (suami atau istri), “tamat”-lah hidupnya, tidak bisa naik pangkat, tidak bisa mencari makan.

Pada masa itu, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah dijadikan berhala. Tidak boleh ada sedikit pun pemikiran kritis terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jika ada yang kritis langsung dianggap pemberontak, pengikut Partai Komunis Indonesia, atau ekstrem kanan jika pelakunya dari komunitas keagamaan. Bahkan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 disakralkan menyamai kitab suci agama.

Itu berlangsung terus, sampai akhirnya terjadi reformasi. Ketika berlangsung reformasi, apa saja yang dikatakan Orde Baru sebagai hal yang sakral, sebagai hal yang tidak bisa diubah-ubah, kemudian justru dibuat tidak sakral. UUD 1945 pun kemudian diubah, diamandemen. Meski namanya tetap UUD 1945, isinya telah berubah.

Namun, Pancasila tidak berubah. Karena, Pancasila digali dari pola hidup bangsa. Jadi, siapa yang akan mengganti Pancasila, itu artinya harus mengubah falsafah hidup bangsa Indonesia. Apakah itu mungkin?

Kita memang perlu menjaga Pancasila, tapi kita tak perlu membuat Pancasila menjadi sakral atau memberhalakan Pancasila. Bila ada yang mengkritisi, pemerintah jangan takut. Karena, Pancasila adalah pandangan hidup bangsa ini. Sejarah sudah membuktikan itu. Sepertinya Pancasila hanya bisa diubah kalau bangsa Indonesia sudah diganti dengan bangsa asing, yang punya filosofi berbeda dengan bangsa Indonesia.

Sekali lagi harus kita ingat, Pancasila digali dari pola hidup orang Indonesia, yang sudah menjadi akar budaya dari bangsa kita. Juga dikatakan oleh sang penggali, Bung Karno, Pancasila bila diperas akan menjadi Trisila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ke-Tuhan-an. Bila diperas lagi, menjadi Ekasila, yakni semangat hidup bangsa Indonesia, gotong royong. Masyarakat gotong royong, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, tak akan pudar dari bangsa ini selama masih bangsa INDONESIA.

Jadi, janganlah lagi meggulang kesalahaN Orde Baru yang MEMBERHALAKAN  PANCASILA dan UUD 1945. JAYALAH BANGSAKU, INDONESIA. []