Aksi protes oposisi Venezuela terhadap pemerintahan Nicolas Maduro [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Venezuela masih terus bergolak. Mayoritas berita utama media massa masih mengenai kekerasan selama demonstrasi berlangsung. Kaum oposisi bahkan menjadikan aksi kekerasan itu sebagai bukti Presiden Nicolas Maduro adalah seorang diktator.

Kaum oposisi lewat media massa arus utama, bahkan menyamakan peristiwa kekerasan itu sama dengan tragedi kemanusiaan di Lapangan Tiananmen, Tiongkok pada 1989. Sebuah perbandingan yang nampaknya kurang tepat karena latar belakang peristiwa yang berbeda.

Selama 100 hari kaum oposisi berdemonstrasi, teleSUR melaporkan setidaknya 102 orang tewas dan ribuan orang mengalami luka-luka. Oposisi lalu mengkampanyekan fakta ini ke seluruh dunia. Media arus utama pendukung oposisi lantas menjadikannya menjadi berita utama dengan judul yang bombastis. Pendeknya, kaum oposisi ingin menyimpulkan tindakan pemerintah Maduro dalam satu kata: genosida!

Akan tetapi, benarkah kenyataannya demikian? Benarkah ratusan orang tewas itu berasal dari kelompok oposisi? Berdasarkan penelusuran teleSUR, ratusan orang yang menjadi korban tewas selama demonstrasi terhadap pemerintah Maduro tidak semuanya berasal dari kaum oposisi. Mereka yang tewas terdiri atas berbagai latar belakang yakni ada yang berasal kaum oposisi, polisi, Chavista (merujuk kepada pendukung Hugo Chavez; pendukung pemerintah) dan lain sebagainya.

Selepas referendum tidak resmi yang diselenggarakan kaum oposisi pada 16 Juli lalu, kekerasan dalam demonstrasi tetap terjadi. Hasil referendum tidak resmi itu menolak pemerintahan Maduro. Kekerasan setelah empat hari referendum tidak resmi kaum oposisi yang diselenggarakan pada 16 Juli menewaskan tiga orang dari kelompok demonstran. Kaum oposisi lagi-lagi menjadikan kesempatan ini untuk berkampanye menyudutkan pemerintahan Maduro dalam menangani demonstrasi.

Fakta atas kematian tiga demonstran itu, pemerintah menemukan Andres Uzcategui, 23 tahun, tewas karena bentrokan di kawasan La Isabelica di Valencia, Carabobo. Ia sebetulnya sedang bersiap melemparkan mortir rakitan ke arah Garda Nasional. Namun, sebelum dilempar, mortir itu meledak di tangannya. Kemudian, Ronny Tejera, 24 tahun, tewas dalam sebuah demonstrasi di Santa Eulalia de Los Teques. Ia disebut tewas tertembak. Kedua kasus ini sedang diselidiki Kejaksaan Agung.

Korban terakhir tewas dalam sebuah kebakaran di kawasan perumahan di negara bagian Zulia. Menteri Perumahan Manuel Quevedo menyebutkan, sekitar 100 orang laki-laki mengelilingi sebuah gedung lalu membakarnya. Beberapa saksi menyebutkan korban tewas itu merupakan salah satu orang yang membakar gedung tersebut. Ia terjebak dalam gedung setelah kebakaran itu. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan lompat dari gedung. Namun, ia kemudian ditemukan tewas.

Berkaitan dengan hasil referendum oposisi itu, Maduro tentu saja menolaknya dan menyebutnya sebagai ilegal. Business Insider melaporkan sebuah survei – tanpa menyebutkan nama lembaganya – menyebutkan 80 persen rakyat Venezuela mengingimkan perubahan politik lewat pemilihan umum. Sesuatu yang ditolak oleh Maduro karena masa jabatannya akan berakhir pada 2018.

Lalu, 33 persen responden menginginkan pemilu presiden tetap dilaksanakan pada 2018; sebanyak 25 persen responden menyatakan penyelesaian krisis politik saat ini bisa dilakukan melalui dialog; sedangkan 18 persen responden menyatakan penyelesaian krisis politik bisa melalui dialog dan demonstrasi; dan hanya lima persen yang mendukung rencana Maduro untuk menyelenggarakan pemilihan Majelis Nasional pada 30 Juli nanti.

Dukungan ke Maduro
Sementara Maduro memilih opsi yang terakhir. Mengadakan pemilihan anggota Majelis Nasional pada 30 Juli nanti dan berwenang untuk merevisi konstitusi serta membentuk lembaga negara baru. Pro dan kontra lantas mencuat menanggapi krisis politik yang sedang terjadi di Venezuela. Sebagian besar negara-negara Amerika Latin yang tergabung dalam blok anti-imperialis Amerika Serikat (AS) yakni Aliansi Bolivarian untuk Rakyat Amerika (ALBA) mendukung penuh Maduro.

dukungan-untuk-maduro

Aliansi ini bahkan mengecam AS yang mencampuri urusan dalam negeri Venezuela. Intervensi AS itu disebut tidak hanya akan mengabaikan sistem hukum dan konstitusi Venezuela serta pemerintah yang sah di bawah Maduro, juga membahayakan status Amerika Latin dan Karibia sebagai zona damai. Blok regional ini juga menolak pengenaan sanksi terhadap Venezuela di bawah Maduro. Intervensi AS itu disebut jelas melanggar kedaulatan sebuah negara.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberi sanksi ekonomi kepada pemerintah Venezuela jika Maduro nekat menyelenggarakan pemilihan anggota Majelis Nasional pada 30 Juli nanti. Padahal, keputusan tersebut sebagai cara Maduro untuk membawa maju Venezuela. Lewat demokrasi, Maduro meyakini krisis politik dan ketegangan dengan oposisi dapat mereda.

Soal intervensi AS terhadap politik dalam negeri Venezuela bukanlah sekadar omong kosong. Berdasarkan laporan liberationnews.org pada 20 April lalu menyebutkan, gelombang aksi oposisi disponsori negeri Abang Sam dan Organisasi Regional Amerika (OAS). Buktinya sebanyak 34 anggota Kongres AS menandatangani surat pada 8 Februari lalu kepada Presiden Donald Trump menuntut peningkatan sanksi kepada pejabat Venezuela karena dituduh korup dan melanggar hak asasi manusia.

Mereka juga berupaya memfitnah para pemimpin Partai Persatuan Sosialis (PSUV) seperti Wakil Presiden Tarek El Aissami dan Wakil Presiden PSUV Diosdado Cabello. Padahal tuduhan kepada para pemimpin PSUV itu tidak pernah terbukti. Untuk mendanai oposisi, AS melalui Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) menggelontorkan dana sekitar US$ 4,26 juta pada 2015. Sekitar US$ 2 juta disalurkan National Endowment for Democracy (NED) – organisasi yang didirikan pada 1982.

Dari jumlah itu, sekitar US$ 849 ribu dialokasikan untuk proyek pemilih berinteraktif dengan calon anggota Majelis Nasional secara online. Secara bersamaan mereka juga memakai US$ 161 ribu mengkampanyekan reformasi pasar bebas. Kemudian, sekitar US$ 506 ribu dikucurkan kepada media termasuk untuk program radio yang disebut sebagai media alternatif untuk menghasilkan, menyebarkan berita dan informasi.

Lembaga tersebut juga menciptakan wartawan independen lokal dan media alternatif untuk mempertahankan kebebasan berekspresi dan demokrasi. Dana itu juga dipakai untuk membiayai pelatihan jurnalisme investigasi dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita.

Krisis politik yang terjadi di Venezuela berawal dari krisis ekonomi dan kenaikan harga yang mencekik leher masyarakat. Pada gilirannya masyarakat menjadi tidak puas terhadap pemerintah sehingga hal tersebut dimanfaatkan oposisi sayap kanan untuk merebut kursi terbanyak di Majelis Nasional pada 2015.

Tanda-tanda kekalahan PSUV sesungguhnya mulai terlihat sejak masa pemerintahan Chavez. Kendati ia acap memenangkan pemilu Venezuela, pada saat bersamaan perolehan suara yang ia raih juga mengalami penurunan. Pada 1998, misalnya, dalam pemilihan presiden Chavez berhasil terpilih dengan mengantongi 56,20 persen suara atau setara dengan sekitar 3,7 juta suara. Sementara calon oposisi Henrique Salas Romer hanya berhasil meraih 39,97 persen atau setara dengan sekitar 2,7 juta suara.

Enam tahun kemudian, tepat pada 2006, Chavez kembali berhasil memenangi pemilihan presiden denga perolehan 62,85 persen atau setara dengan sekitar 7,3 juta suara. Sementara calon oposisi Manuel Rosales hanya memperoleh 36,91 persen suara. Selanjutnya, pada pemilihan presiden 2012, Chavez mendapat perolehan suara 55,07 persen atau setara dengan sekitar 8,1 juta suara. Sedangkan lawannya dari oposisi Henrique Capriles berhasil mengantongi 44,31 persen atau setara dengan sekitar 6,6 juta suara.

Apa yang bisa dipelajari dari beberapa pemilihan presiden tersebut? Pemilihan terakhir menunjukkan Chavez hanya mampu menambah sekitar 900 ribu suara. Sedangkan kaum oposisi mampu menambah sekitar 2,2 juta suara. Jumlah pemilih pada 2012 mencapai 14,8 juta orang. Sedangkan pada 2006, jumlah pemilih mencapai 11,6 juta orang. Dari sekitar tiga juta pemilih baru, orang baru yang memilih Chavez hanya sekitar 900 ribu orang. Sedangkan kaum oposisi berhasil meningkatkan pemilihnya hingga dua juta orang.

Pertanyaannya: mengapa kubu Chavez gagal menarik pemilih baru? Atau mengapa pemilih baru lebih mendukung kaum oposisi? Kegagalan dan hilangnya dukungan masyarakat kelas menengah ke bawah adalah suatu tanda yang mengkhawatirkan bagi kubu Chavez. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, profesor emeritus Universitas Binghamton, New York,  James Petras mengatakan, manajemen buruk pemerintahan Chavez berdampak negatif secara politik. Ia akan tetapi mengingatkan, kendati lebih dari separuh suara rakyat diberikan kepada kaum oposisi tidak bisa digambarkan sebagai keinginan rakyat kembali kepada neoliberalisme.

Itu bisa diartikan sebagai bentuk protes para pendukung Chavez terhadap para pejabat pemerintah yang salah urus dalam dana alias korupsi dan mendahulukan kroninya untuk menduduki jabatan publik meski sama sekali tidak kompeten. “Itu adalah suara yang menentang para menteri yang menghabiskan miliaran, tapi gagal memberikan pasokan minyak, listrik atau air untuk masyarakat,” kata Petras seperti dikutip Tatiana Lukman dalam bukunya berjudul Alternatif.

Penurunan dukungan tersebut kian tergambarkan ketika pemilihan presiden selepas Chavez meninggal dunia, Maduro hanya menang tipis mengalahkan calon oposisi Henrique Capriles pada 2013. Maduro mampu meraih 50,66 persen atau setara dengan sekitar 7,5 juta suara – mengalahkan Capriles yang meraup 49,07 persen atau setara dengan sekitar 7,2 juta suara. Hasil ini juga sempat memicu gelombang unjuk rasa dari Capriles dan pendukungnya yang menuduh Maduro memenangi pemilu lewat kecurangan. Capriles bahkan menuntut agar pemilu ulang dilakukan.

Aksi unjuk rasa kaum oposan itu juga diwarnai aksi kekerasan. Mereka membakar, merusak klinik kesehatan, supermarket dan gedung-gedung pemerintahan. Akibatnya sekitar 11 orang tewas dalam aksi tersebut dan puluhan lainnya terluka. Persis seperti saat ini. Berbicara kaum oposisi, kekerasan dan kejahatan yang mereka lakukan tidak bisa dipisahkan dari los gusanos Cubanos atau orang-orang Kuba anti-Fidel Castro. Lebih dari 50 ribu orang anti-Fidel dan tentu saja anti-Chavez tinggal di Venezuela.

Para pemimpin oposisi sayap kanan Venezuela yang ikut menggerakkan massa saat ini juga terlibat pada peristiwa kudeta 2002 yang mencoba menggulingkan almarhum Hugo Chavez. Mereka sekali lagi menggerakkan basis pendukung reaksioner untuk turun ke jalan untuk menumbangkan pemerintahan Maduro. Tidak tanggung-tanggung aksi massa oposisi ini bahkan acap menggunakan kekerasan sehingga menelan korban jiwa.

Situasi saat ini disebut mirip dengan aksi yang digalang Capriles pada 2014 yang mengakibatkan 43 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Itu sebagai buntut dari ketidakpuasan Capriles atas hasil pemilihan presiden pada Desember 2013. Aksi tersebut sesungguhnya bertujuan menolak kemenangan Presiden Maduro yang terpilih secara sah dan sesuai konstitusi. [Kristian Ginting]