Pribadi yang Sukar Dibenci

Ben Anderson, dalam buku Revolusi Pemuda, menggambarkan Amir Sjarifuddin sebagai orang yang “sangat cerdas, rajin, ambisius, peramah, emosional, tetapi penuh humor juga, keseluruhan inilah yang menjadikan watak khas Amir”. Karena itulah, Amir sukar dibenci bahkan oleh lawan-lawan politiknya sekalipun. ia mendapatkan kesetiaan yang luas dari para pengikutnya, yang sebagian besar tidak terpengaruh oleh garis politik yang diambilnya pada setiap waktu tertentu…. Meskipun ia seorang Batak dan beragama Kristen Protestan, ia dapat berkomunikasi lebih baik dengan pemuda Jawa daripada kebanyakan politisi seangkatannya yang lain.”

amir-syarifuddin

Karakter Amir itu tumbuh dan berproses sejak ia belia. Ia dilahirkan di Medan tahun 1907, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara. Orang tuanya berasal dari Tapanuli Selatan. Ayahnya, Baginda Soripada, berprofesi sebagai jaksa—bahkan pernah menjabat Jaksa Kepala (hoofd jaksa) di Sibolga.Baginda Soripada berasal generasi kedua penganut Kristen di Tanah Batak. Ia kemudian memeluk Islam karena menikah dengan Basonoe Siregar, putri seorang ulama terkemuka di Medan.

Lulus dari sekolah dasarnya di Medan pada 1921, Amir melanjutkan sekolah menengahnya di Leiden, Belanda. Ia masuk di stedelijk gymnasium, sekolah non-agama. Amir tinggal di sana selama empat tahun. Pada akhir kelas keempat, ia meninggalkan Leiden dan menyele¬saikan dua tahun terakhir sekolahnya di stedelijk gymnasium di Haarlem. Selama belajar di gynasium Amir dikenal sebagai murid yang cerdas. Ia bisa menguasai berbagai bahasa asing: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, dan Latin. Tapi, belum lagi menamatkan sekolahnya di Belanda, Amir kembali ke tanah air, dan masuk Recht Hoogeshool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.

Di masa-masa inilah, di awal 1930-an, Amir memeluk Kristen, agama yang dipeluk ayah dan kakeknya. Ia segera menjadi idola di kalangan masyarakat Batak-Kristen yang bermukim di Jakarta. Amir sering memberikan ceramah di Gereja HKBP Kernolong, Jakarta. Dan ceramahnya, yang lebih sering dibawakan dalam Bahasa Batak, selalu menarik perhatian bagi pendengarnya saat itu. Kemana-mana, ia juga kerap membawa bibel kecil di saku bajunya.

Amir menikah dengan Djaenah Harahap, di tahun 1935. Pasangan ini dikarunia lima orang anak, tapi satu-satunya anak lelakinya meninggal di usia belia. Dimata-mata anak-anaknya, ia adalah seorang ayah yang penyanyang. Salah seorang keponakannya, Wanda Mulia, menyebut Amir sebagai “seorang yang hangat dan charming”.

Karena itu, ketika beredar kabar Amir tewas ditembak pasukan tentara, keluarga dan koleganya merasa sangat kehilangan. [Imran Hasibuan]

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 25 September 2016)