Amir dinilai sebagai seorang pemimpin rakyat yang “berbahaya” bagi pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam sebuah laporan Gubernur Jawa Barat masa itu, Kwantes, di awal 1930-an, disebutkan: “….Dia (Amir Sjarifuddin) terlahir sebagai seorang pemimpin, seorang agitator yang berbahaya. Pendeknya, seorang tokoh papan atas yang tidak mudah ditundukkan. Dalam pandangan saya, Amir Sjarifoeddin, pada tahun-tahun yang akan datang akan muncul sebagai salah satu yang paling penting—jika bukan yang terpenting—diantara para tokoh utama dalam aksi-aksi eksteremis. Dan keyakinannya yang kuat akan menimbulkan akibat yang nyata bagi pembentukan inti yang kuat.”

Ketika pasukan Jepang menduduki Indonesia, Amir secara tegas menolak fasisme yang dibawa Jepang. Pada Januari 1943, ia ditangkap tentara Jepang dan dipenjarakan di Surabaya, kemudian Malang. Selama ditahanan, ia mengalami penyiksaan yang berat. Penyiksaan itu dihadapi Amir dengan tabah. “Saya mendapat hukuman mati. Tetapi berkat desakan teman-teman saya, hukuman ini diganti dengan hukuman seumur hidup,” tulis Amir dalam salah satu catatannya.

Baru 33 bulan ia dipenjara, Perang Dunia II berakhir dan Jepang menyerah kalah. Perkembangan selanjutnya, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Amir pun dibebaskan dari penjara, lantas diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno. Dalam Kabinet Sjahrir I, ia ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan.

Sekeluar dari penjara Jepang, Amir kemudian mendirikan sebuah partai baru yang diberi nama Partai Sosialis Indonesia (Parsi). Nama “sosialis” menan¬dakan tipe masyarakat yang di¬harapkan partai itu di dalam Republik Indonesia yang baru. Parsi me¬nerapkan konsepsi partai yang terbuka bagi golongan yang cenderung kiri, demokratis, anti-fasis, dan menentang segala bentuk kekuasan pribadi. Amir ingin menjadikan Parsi sebagai partai yang tidak melakukan pemujaan kepada pimpinan dan menjadi laboratorium demokrasi. Ia juga menghendaki partai yang “berpikir horizontal”, sebuah partai yang memperjuangkan keadilan sosial serta persamaan hak dan kewajiban, melawan pemikiran suatu masyarakat yang statis dan hierarkis, hanya atasan yang berhak bicara.

Lewat konferensi di Cirebon, 16-17 Desember 1945, Parsi dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang dibentuk Sutan Sjahrir melebur diri menjadi Partai Sosialis. Tapi, tak sampai dua tahun kemudian, koalisi ini retak karena perbedaan pendapat antara Amir dan Sjahrir (yang saat itu juga menjabat Perdana Menteri RI) mengenai Perjanjian Linggajati. Sjahrir lalu mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri dan belakangan membentuk partai baru yang diberi nama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Amir Sjarifuddin kemudian ditunjuk Presiden Soekarno untuk menggantikan Sjahrir. Maka, jadilah Amir menjabat Perdana Menteri RI selama tujuh bulan (Juli 1947-Januari 1948).

Tanggal 23 Januari 1948, Amir memutuskan mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Tantangan terhadap Perjanjian Renville yang ditandatanganinya sedemikian kuat dari partai-partai politik saat itu.

Mohammad Hatta kemudian ditunjuk sebagai pemimpin kabinet. Amir dan Partai Sosialis menjalankan peran sebagai oposisi. Bahkan, Amir menggalang dan memimpin kekuatan oposisi dari kalangan kiri dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang di dalamnya ada berbagai unsur: Partai Sosialis, Partai Buruh, PKI, dan Pesindo. Awal September 1948, FDR meng¬umumkan bahwa mereka akan bergabung dengan “PKI Muso”, yang telah dinyatakan memberontak oleh pemerintah RI. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Madiun Affair” itu pun kemudian ditumpas dengan kekuatan senjata oleh TNI. Amir terseret dalam perseteruan politik tersebut.

Pada 29 November 1948, Amir ditangkap pasukan TNI, dan dibawa dalam keadaan sakit dan lemah ke Yogyakarta. Sempat beredar kabar, Amir ditang¬kap dan kemudian dieksekusi oleh pasukan TNI, tanpa melalui pengadilan. Pihak keluarganya diinformasikan, Amir wafat pada 19 Desember 1948. Penguburannya tidak dilakukan dengan tanda kehormatan apa pun.

Begitulah nasib tragis yang dialami Amir Sjarifuddin: tokoh revolusioner yang menjadi korban revolusi Indonesia.