Amir Sjarifuddin (kanan)/www.anp-archief.n

Suluh IndonesiaIa dikenal sebagai salah seorang tokoh nasionalis-radikal di pergerakan kebangsaan. Tapi, Amir mengakhiri hidupnya dengan tragis, sebagai korban revolusi kemerdekaan.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, beberapa truk tentara keluar dari penjara Solo menuju kawasan terpencil, tak jauh dari Desa Ngalihan, Surakarta. Sampai di tempat tujuan, satu kompi tentara menggiring sekelompok tahanan ke liang kubur yang telah dipersiapkan sejak siang harinya. Sekejap kemudian, terdengar letusan senjata api memecah kesunyian malam. Satu per satu tubuh para tahanan rubuh ke tanah. Mereka dieksekusi diam-diam.

Yang pertama dieksekusi adalah Amir Sjarifuddin, salah seorang tokoh republik terkemuka, yang pernah menjabat Perdana Menteri RI dan Menteri Pertahanan di masa awal-awal kemerdekaan. Setelah itu, giliran Suripno (yang pernah menjabat Menteri Pemuda), Maruto Darusman, Harjono, Sarjono, dan tokoh-tokoh kiri lainnya.

Perintah eksekusi itu, menurut Jaqcues Leclrec, datang langsung dari Gubernur Militer Surakarta, Kolonel Gatot Subroto. “Barangkali Gatot takut para tahanan memanfaatkan keadaan untuk melarikan diri, seperti yang terjadi di rumah penjara di Yogyakarta,” tulis Leclerc. Sehari sebelum eksekusi itu, pasukan Belanda melakukan Agresi Militer II untuk menduduki ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Padahal, dalam sidang kabinet terakhir menjelang agresi militer tersebut, nasib Amir dan kawan-kawan sempat dibahas. Presiden Soekarno termasuk yang menentang keras dijatuhkannya hukuman mati terhadap Amir dan kawan-kawan secara sumir alias tanpa pengadilan. Tapi, perintah Bung Karno itu rupanya tidak ditaati kalangan tentara.

Eksekusi Amir dan kawan-kawannya itu merupakan buntut “Madiun Affair”, yang meletus dua bulan sebelumnya, pertengahan September 1948.