Sebelumnya, meski menulis kritik sangat keras mereka hanya memberikan pengaruh yang terbatas, paling banter hanya di kalangan cendekiawan berpendidikan barat yang umumnya tak mempunyai hubungan dengan massa rakyat.

Tulisan mereka, walau provokatif dianggap tak lebih dari kepandaian ‘berbicara’ dalam menyampaikan gagasan-gagasan ketimbang aksi pengerahan massa rakyat untuk tindakan militan.

Tetapi dengan menggunakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda sebagai fokus untuk menarik dukungan di tengah-tengah massa rakyat, dan penerjemahan artikel itu ke dalam bahasa Melayu dianggap Belanda sebagai upaya mereka untuk memastikan pendukung yang lebih luas.

Belanda sadar betul kekuatan eksplosif Komite Bumiputra jika komite ini dibiarkan meneruskan keberadaannya untuk terus-menerus melakukan tindakan politik melawan pemerintah. Inilah yang memang membuat Soewardi, Tjipto dan Douwes Dekker ditahan dan diinterogasi.

Pengaruh Tjipto

Hal paling menarik adalah bahwa Mr Mosanto, petugas Belanda yang menginterogasi mereka tak percaya bahwa artikel Als ik een Nederlander was adalah benar-benar tulisan Soewardi. Ia bahkan mendesak Soewardi agar memberitahukan nama penulis sebenarnya.

Baik Mosanto atau pemerintah Hindia Belanda mengira artikel itu adalah tulisan Tjipto, atau setidak-tidaknya ditulis Soewardi di bawah tekanan dan pengaruh Tjipto.

Seminggu setelah Als ik een Nederlander was, pada tanggal 28 Juli 1913, Soewardi dalam De Express menulis sebuah artikel berjudul, ‘Semua untuk Satu juga Satu untuk Semua’.

Artikel itu mengecam tindakan pemerintah yang terus menerus mengganggu Komite Bumiputra sekaligus membuat pernyataab bahwa artikel Als ik een Nederlander was adalah “ditulisannya sendiri.”

Di sisi lain, sepanjang penahanan dan interogasi Tjipto tak pernah membantah atau membenarkan tuduhan bahwa dialah penulis artikel itu.

Hal menarik yang lain adalah reaksi golongan penguasa Jawa terhadap keputusan pemerintah mengirim Soewardi bersama-sama dengan Tjipto dan Douwes Dekker ke pembuangan akibat kegiatan mereka di Komite Bumiputra.

Dwijosewoyo dan dr Wahidin termasuk beberapa anggota-anggota terkemuka Boedi Oetomo segera membentuk sebuah panitia khusus dengan maksud mengirim utusan kepada pemerintah untuk memintakan pengampunan kepada Soewardi. Panitia itu juga didukung penuh oleh Tjokroaminoto dan sahabat-sahabatnya di Sarekat Islam.

Selama pertemuan dengan DA Rinkes penasihat pemerintah untuk urusan Bumiputra, Dwijosewoyo menyebut dirinya secara pribadi telah kehilangan harapan untuk membatasi pendapat dan tindakan-tindakan Tjipto tentang pemerintah.

Akan tetapi karena kenal baik dengan Soewardi dan keluarga-keluarganya, Dwijosewoyo berani memberikan jaminan bahwa Soewardi berwatak baik dan dapat dibujuk di masa-masa mendatang agar menahan diri dalam mengungkapkan pendapat-pendapatnya yang radikal. Karena alasan inilah, Dwijosewoyo memohon agar Pemerintah bersikap sedikit lebih lunak kepada Soewardi.

Sebenarnya, semula pemerintah tak percaya bahwa Soewardi penulis Als ik een Nederlander was itu. Tapi begitu Soeward membuat pernyataan bahwa dialah satu-satunya yang bertanggung jawab atas tulisan itu, Pemerintah menuntut Soewardi sama Tjipto dan Douwes Dekker yang juga sedang ditahan akibat sikap politik mereka.

Lebih Berbahaya

Pengakuan itu dianggap sebagai ancaman yang lebih besar terhadap kemantapan tata pemerintahan kolonial di Hindia karena kritik disampaikan oleh mereka yang dianggap memiliki legitimasi sosial.

Pemerintah menganggap, pendapat Soewardi memiliki nilai lebih berbahaya dan gawat untuk menciptakan pendirian rakyat dibanding pendapat perorangan-perorangan di Komite Bumiputra. Bagi Pemerintah, karena status sosialnya Soewardi justru harus mendapat hukuman yang lebih keras dibanding yang lain.

Pendapat itu jelas berbeda dengan pemikiran di kalangan penguasa Jawa. Bagi mereka, latar belakang aristokratis Soewardi seharusnya memberikan hak untuk menerima perlakuan istimewa dari pemerintah.

Tidak masuk akal bagi priyayi Jawa di tahun 1913 bahwa seorang pangeran dari rumah Paku Alam dihukum seolah-olah ia penjahat politik biasa dari keluarga yang tak jelas dan integritasnya meragukan sebagaimana para priyayi-priyayi itu memandang Tjipto.

Tanpa perlu menghayati dan memahami pesan radikal yang tekandung dalam Als ik een Nederlander was, para priyayi-priyayi itu melihat radikalisme Soewardi dalam makna yang berbeda dengan ‘pesan-pesan’ yang mereka baca dari tulisan Tjipto.

Meski artikel Als ik een Nederlander was itu terbukti gagal merangsang dukungan penguasa Jawa, artikel itu tetap merupakan tulisan paling berkesan, provokatif dan radikal yang pernah ditulis pada waktu itu oleh orang Indonesia.

Pandangan-pandangan yang diungkapkan di dalamnya mendahului setiap gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan-cendekiawan Jawa yang paling sadar politik. Bagi Belanda, artikel itu berbahaya karena menanamkan kesadaran bahwa orang-orang Indonesia masih berada di bawah dominasi asing.

Di mata orang pribumi, Soewardi dianggap menampilkan diri sebagai satria sejati, seorang satria mirip Bima dalam dunia pewayangan yang berbicara ngoko dan apa adanya kepada semua orang bahkan termasuk para dewa. Pembuangannya ke negeri Belanda justru makin menegaskan mandatnya sebagai satria sejati karena dianggap sebagai pengorbanannya kepada bangsa.

Meski begitu, gagasan Soewardi tetap tak pernah dominan karena ‘satria’ tanpa perlindungan Pemerintah dianggap terlalu subversif bagi kaum muda dan jauh dari kesadaran mereka. Suara Soewardi kalah dominan dibanding Tjokroaminoto dengan SI-nya.

Tindakan Pemerintah membuang Tjipto, Soewardi dan Douwes Dekker menjadi bukti betapa berbahayanya pikiran mereka bagi tata kolonial. [TGU]

* Tulisan ini pertama dimuat 17 Juli 2018