Koran Sulindo – Batuk yang semula dianggapnya hanya biasa bertambah hari ternyata kondisinya makin parah. Wajah makin pucat sementara matanya juga makin cekung. Bujukan teman-temannya agar mau berobat dianggap angin lalu. Ia bahkan punya keyakinan, alih-alih mengobatinya pemerintah pasti bakal membunuhnya.
Belakangan ketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itu dilakukannya semata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya, toh tak lama kemudian ia kembali lagi.
“Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini,” jawabnya ketika dituntut penjelasan seperti ditulis Aliarcham, Sedikit tentang riwayat dan perjuangannya.
Ya, Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatan memadahi penyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!.
Ketika keadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933 kawan-kawan sepembuangan memaksanya melanjutkan pengobatan ke Tanah Merah. Ia bahkan harus dipapah untuk naik kapal yang digunakan untuk menghilir mengikuti Sungai Digul.
Di tengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulah akhirnya Aliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangat muda, baru 32 tahun. Tanah Merah tempatnya mencari pengobatan akhirnya justru menjadi kuburnya.
Mengenang keteguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarcham menulis sebuah sajak Henriette Roland Holst di nisannya yang sederhana.
Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut
Lahir 1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi, Juwana, Pati, Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren. Tujuannya jelas, kelak ia mesti mengikuti jejak sang ayah.
Namun, dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalan dengan paham Samin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusia dan gotong-royong tanpa penindasan yang dianggapnya sebagai sosialisme model Jawa. Ketika Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto hingga akhirnya meninggal tahun 1914, di benak Aliarcham kecil tertanam kuat kebencian dan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang tamak.
Selain pendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir dari keluarga terkemuka Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS). Di sekolah itu, ia segera tampil sebagai salah satu murid yang paling cerdas dan rajin.
Ketika para penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’ yang berpuncak di tahun 1917, Aliarcham sudah duduk di sekolah calon guru bumiputera atau Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran.
Di sekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti Sinar Hindia, Suara Rakyat hingga de Express yang membawanya berkenalan dengan Sosialisme ilmiah. Ia juga kemudian mendaftar sebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secara pribadi berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala itu seperti Semaun atau Sneevliet.
Ia juga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti Revolusi Sosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani di Garut, pemberontakan Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang hingga pemberontakan tani di Pontianak dan Ternate.
Benang merah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itu cuma satu, penindasan!
Belajar dari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidik kawan-kawan dekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri atau membungkuk pada atasan atau orang Belanda. Tak hanya mendidik, Aliarcham menunjukkannya langsung dalam sikap sehari-hari.
Belakangan sikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yang jelas-jelas pro pemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelum meninggalkan propaganda politiknya. Menganggap ancaman hanya angin lalu, Aliarcham cuek dan akibatnya ia kembali dipanggil untuk dinasihati kepala sekolahnya.
Meski sepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeraman Aliarcham baru ditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pintu ruang kepala sekolah dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasa disepelekan sang kepala sekolah itu benar-benar muntab, Aliarcham dipanggilnya kembali dan berkata sejak hari itu ia resmi dikeluarkan dari sekolah.
Aliarcham yang cuek dengan dingin hanya berkata, “tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda.”
Dipecat dari sekolah guru, ternyata adalah berkah Aliarcham. Tertutup pintu menjadi guru, peluang-peluang lain justru terbuka. Di bidang politik masa depannya justru membentang dan langsung menuju Semarang bergabung dengan kantor Pengurus Besar PKI dan SI Merah.
Di Semarang, latar belakang sebagai calon guru justru membuat Aliarcham merasa menemukan dunianya dengan aktif mengajar Marxisme untuk anggota-anggota PKI dan SI Merah. Sebagai intelektual, berkali-kali yang ditegaskan Aliarcham adalah kebenciannya pada intelektual yang bersikap masa bodoh terhadap nasib rakyat yang terjajah.
“Ada kaum intelektual yang tidak suka campur dengan pergerakan kita karena merasa malu, tetapi mereka juga akan berhubungan dengan pihak sana juga tidak laku, paling-paling jadi orang suruhan. Jadinya lalu berdiri jadi kelas menengah,” tuding Aliarcham.
Menurutnya, intelektual proletar harus berjuang untuk mendirikan kultur baru tempat di mana tak ada lagi orang ‘minum darah’ orang lain. Kultur itu harus dimulai dari pendidikan di sekolah-sekolah rendahan untuk anak-anak rakyat kebanyakan. “Di sekolah ini bukannya mengajar orang takut sama pemerintah tapi mendidik rasa merdeka dan rasa berkumpul dan nafsu berjuang melawan pemerintahan,” kata Aliarcham melanjutkan.
Semarang di era Aliarcham mengajar di sekolah-sekolah PKI awal awal-awal 1920-an, adalah pusat gerakan buruh revolusioner yang Berjaya dengan aksi-aksi pemogokan. Di sisi lain, pertentangan antar faksi di Serekat Islam memuncak antara SI Putih di Yogyakarta dan SI Merah di Semarang. Perpecahan itu makin tak terjembatani setelah pemberlakuan disiplin partai yang diusung SI Yogyakarta.
Belakangan, atas usul Aliarcham SI Merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat untuk menarik batas tegas dengan golongan kolaborator yang bergerak menjauhi massa rakyat. Ia juga sekaligus ditunjuk sebagai ketua SR.
Tak cuma aksi mogok dan boikot, masa-masa itu juga ditandai dengan gelombang penangkapan pemimpin-pemimpin gerakan seperti Haji Misbach. Aliarcham akhirnya ditangkap tanggal 20 Oktober 1923 atas tuduhan menghina alat-alat negara pamongpraja yaitu para priyayi yang disebutnya sebagai Togog.
Ketika kasusnya disidangkan, Aliarcham menggunakan pembelaannya untuk menangkis tuduhan-tuduhan jaksa sekaligus meledek bahwa bukan dia biang keladi semua kekacauan itu. Aliarcham justru balik menunjuk hidung pemerintah kolonial sebagai pihak yang bersalah dan harus bertanggung jawab atas kemelaratan penghidupan rakyat.
“Pergerakan buruh tidak dibikin-bikin tetapi timbul sendiri dari penindasan. Pihak reaksi berkata, yang orang Jawa bodoh dan sabar hati. Sesuka Belanda menghina kita dan dipandang kita seperti binatang yang menurut saja buat dikerjakan. Dimana ada penindasan di situ timbul satu pergerakan yang hendak menghilangkan penindasan itu,” kata Aliarcham.
Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis selama 4 bulan penjara dan diperberat menjadi 6 bulan ketika Aliarcham naik Appel ke pengadilan tinggi.
Seolah hendak mengejek pemerintah, segera tak lama setelah keluar penjara Aliarcham langsung aktif di pergerakan. Ia bahkan ditunjuk sebagai ketua presidium Kongres PKI ke-2 di Jakarta yang digelar bulan Juni 1924.
Selain mengubah anggaran dasar, kongres juga memutuskan untuk memindahkan kantor pimpinan Central PKI dari Semarang ke Jakarta sekaligus menujuk Winanta sebagai ketua dan Budisucipto sebagai sekretaris. Kongres juga menunjuk Alimin dan Aliarcham sebagai komisaris daerah Jakarta.
Ketika pemerintah makin kuat menindas pergerakan, secara rahasia pimpinan central PKI dipindahkan ke Bandungan sementara kegiatan revolusioner sehari-hari di Jakarta langsung di bawah pimpinan Aliarcham dan Alimin.
Sayangnya, hanya berselam lima bulan setelah kongres ke-2, pemerintah menangkap Winanta pada tanggal 29 November 1924 yang memaksa PKI menggelar Kongres ke-3 di Yogyakarta yang memilih Sarjono sebagai pengganti Winanta.
Dalam kongres itu, Aliarcham kembali menekankan pentingnya pendidikan dan semangat untuk berkuasa kepada massa. Pidato itu langsung disambut peserta kongres dengan hunjan interupsi, “Berontak saja. Praktische daad … revolusi”.
Menjawab seruan itu, Aliarcham mendesak agar pemberontakan jangan untuk dipermain-mainkan. Pemberontakan memerlukan kepimpinan partai kelas buruh yang kuat, selain sebagai sebagai pelopor partai, PKI harus bersih dari elemen non proletar dan setengah proletar yang ragu-ragu dan bimbang.
“Kelas buruh tidak saja harus berdisiplin tetapi ia wajib berdisiplin lebih kuat dan lebih keras daripada musuhnya. Sebab kaum kerja boleh dikata sama sekali tidak bersenjata, sedang pembela kapitalisme bersenjata lengkap, mulai dari kaki sampai ke rambut,” kata Aliarcham.
“Oleh sebab itu kita Komunisten sebagai pasukan armada kaum kerja yang terkemuka, yang harus mendidik berdisiplin itu di kalangan angkatan proletar wajiblah menundukkan diri kita sendiri di bawah disiplin besi,” kata Aliarcham.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa sebelum pemberontakan dimulai diperlukan melatih massa dalam aksi ekonomi, yang harus ditingkatkan pada aksi-aksi politik. Aksi ekonomi seperti mogok akan menarik sekaligus membangkitkan massa rakyat ke dalam kehidupan politik.
Sebagai petinggi partai, belakangan gerak-gerik Aliarcham terus dipantau alat-alat pemerintah dan berkali-kali harus menghadap polisi kolonial atau pemerintah setempat. Suatu kali ia mendatangi panggilan kontroleur dengan memakai pakaian rakyat yang melarat. Pakaian itu memicu kemarahan sang kontroleur karena merasa tak dihargai. Ia memaki-maki dan bahkan mengusir Aliarcham ke luar ruangan.
“Tuan ketakutan kepada rakyat. Pakaian yang seperti ini terhitung pakaian rakyat yang terbaik. Dan beginilah kemelaratan rakyat sekarang,” kata Aliarcham mengejek. “Saya tidak punya pakaian putih-putih. Itu pakaian buruh halus, buruh ningrat, priyayi-priyayi yang menjadi togog menjilat gubernemen”.
Dengan enteng Aliarcham pergi dan meninggalkan tuan kontroleur itu begitu saja.
Menyusul meluasnya pemogokan di Jawa Timur pada bulan November 1925, agar tak menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, pemerintah pada tanggal 5 Desember memutuskan menangkap Aliarcham di Solo ketika tengah mengikuti kongres Organisasi Perguruan dan Pendidikan Indonesia.
Meski mengalami siksaan selama penahanan, Aliarcham memilih sikap bungkam dan tak menjawab satupun pertanyaan untuk proses verbal. Ia hanya berkata sekali ketika menjelaskan pendiriannya. “Tuan-tuan sudah mengetahui siapa saya ini. Proses verbal ini dilakukan hanya secara formil saja, karena toh saya akan dihukum juga.”
Jika dihitung keterlibatan Aliarcham di dunia pergerakan sejak dipecat dari sekolah guru hingga masa pembuangan hanya selama 3,5 tahun. Meski menjalani periode yang sangat singkat, Aliarcham sempat menjadi musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftar orang-orang yang harus segera disingkirkan.
Berpacu dengan waktu, pemerintah buru-buru memutuskan membuang Aliarcham ke Merauke di Papua menggunakan kapal van der Wijck. Seminggu di Merauke, ia dipindah ke Okaba selama 1,5 tahun. Dari tempat itulah Aliarcham dipindah ke Tanah Merah.
Tiga bulan di tempat itu, ia kembali dipindah ke Gudang Arang sebuah tempat di tengah rawa tak jauh dari Tanah Merah. Hingga akhirnya pada bulan Januari 1928 Aliarcham dipindah ke pedalaman di Tanah Tinggi, sebuah tempat enam jam perjalanan menyusuri sungai dari Tanah Merah. Di tempat inilah hidup Aliarcham berakhir, tetap dengan keteguhannya. [TGU]