Ali Sastroamidjojo kemudian menceburkan diri dalam aktivitas PNI. Dalam Kongres PNI IX di Solo, tahun 1960, ia terplih sebagai Ketua Umum PNI.

Dengan segera DPP PNI di bawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo melakukan perubahan organisasi untuk memulihkan kewibawaan pimpinan pusat. Partai juga membuka peluang bagi para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Dengan begitu, perwakilan ormas dalam pimpinan partai meningkat pesat. Peran PNI di pentas perpolitikan nasional bangkit kembali.

Peran kubu nasionalis-radikal makin menguat setelah Kongres PNI X di Purwokerto, Mei 1963. Dalam kongres ini, Ali Sastroamidjojo kembali terpilih sebagai ketua umum. Dan sebagai Sekretaris Jenderal DPP PNI terpilih Surachman, tokoh muda yang sebelumnya aktif di PETANI, ormas sayap PNI yang bergerak di kalangan petani.  Selain itu, beberapa tokoh GMNI juga masuk dalam jajaran DPP PNI, seperti John Lumingkewas.

Kehadiran para tokoh muda dengan garis politik nasionalis-radikal ini membuat PNI semakin menggelora. Tema baru dalam propaganda dan indoktrinasi partai merefleksikan perubahan ini. Pidato-pidato para pemimpin partai pada waktu itu terpusat pada “kebutuhan kembali kepada kaum marhaen“, untuk membangun persatuan antara partai dan ormas di dalam Front Marhaenis yang kuat serta tekad untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.

Ali Sastroamidjojo selaku Ketua Umum PNI menegaskan, marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam konteks Indonesia. Pada pidato peringatan HUT PNI ke-36, 7 Juli 1963, di Stadion Utama Senayan, Ali Sastroamidjojo menyatakan marhaenisme adalah doktrin dan program sosialisme ilmiah dalam konteks Indonesia.

Perkembangan ini memuncak saat dicetuskan “Deklarasi Marhaenis“ dalam pertemuan Badan Pekerja Kongres PNI di Lembang, Bandung, November 1964. Deklarasi Marhaenis antara lain menyebutkan “Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis adalat alat bagi kaum Marhaen untuk memperdjuangkan dan merealisasikan tjita2ja jaitu: Kemerdekaan penuh, sosialisme, dan dunia baru…. Oleh karena itu, setiap Marhaenis harus senantiasa membadjakan diri dan mendidik dirinja di dalam teori dan praktek perdjuangan rakjat untuk dapat mendjadi Marhaenis jang lebih baik lagi, sebagai murid2 jang terbaik dan terperdjaja dari Bapak Marhaenisme Bung Karno, jang sekaligus djuga adalah perasan NASAKOM…. Tidak ada gerakan revolusioner, tanpa didasari oleh teori perdjuangan jang revolusioner. Marhaenisme adalah suatu faham perdjuangan jang revolusioner berdiri diatas sendi2nja massa aksi jang revolusioner dan menghendaki sjarat2 perdjuangan jang revolusioner….

Dalam sidang Badan Pekerdja Kongres PNI di Lembang itu pula disetujui marhaenisme ialah marxisme “jang diterapkan sesuai dengan kondisi2 dan situasi Indonesia”. PNI juga menegaskan cita-citanya sebagai partai kaum marhaen untuk melawa imperialisme, neo-kolonialisme, dan kapitalisme.

Retorika Deklarasi Marhaenis bukanlah sekedar tanggapan taktis terhadap iklim Demokrasi Terpimpin, melainkan merupakan tanda-tanda perubahan nyata sikap PNI terhadap isu-isu dasar yang berkembang saat itu. Pimpinan PNI di bawah Ali Sastroamidjojo mulai menatap kondisi-kondisi domestik serta kelompok yang dalam tingkah lakunya memberi peluang bagi imperialisme. Gerak politik PNI berhasil mengimbangi PKI dan tokoh-tokoh Angkatan Darat dalam pentas politik nasional.

Hubungan Presiden Soekarno dengan jajaran pimpinan PNI, terutama dari kalangan muda, semakin terjalin akrab. Pada bulan April 1964, misalnya, suatu delegasi yang berjumlah 26 aktivis muda PNI diterima Bung Karno di Istana Negara untuk membicarakan usaha-usaha pengembangan partai. Bung Karno menantang mereka untuk menjadikan PNI sebagai “partai pelopor“.

Patut dicatat, dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo-Surachman, PNI berhasil menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai secara besar-besaran pada bulan Juli 1965. Acara yang digelar di Stadion Senayan itu berhasil menghadirkan sekitar 100.ooo hadirin, yang bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. Ketika Bung Karno hadir untuk memberikan pidato dalam acara tersebut, kata pertama yang diucapkannya saat melihat lautan manusia yang hadir adalah “Bukan main!!!“

Situasi berubah pada tahun 1965. Upaya negeri-negeri imperialis menggulingkan Bung Karno didahului dengan penghancuran basis pendukungnya: gerakan kiri. Akhirnya, dengan dalih terlibat Gestapu, militer segera menyerang PKI dan ormas-ormasnya. PNI Ali-Surachman juga terkena getahnya. Aksi-aksi mahasiswa kanan di tahun 1966 sangat akrab dengan istilah “PNI ASU” (PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman).

Akhirnya, pada kongres luar biasa di Bandung, 21 sampai 27 April 1966, kelompok Ali-Surachman digulingkan. Kelompok sayap kanan PNI, yang sering disebut kelompok Osa-Usep, berhasil merebut kepemimpinan. Konon, Ali Moertopo, tokoh intelijen terkemuka rezim Orde Baru, terlibat langsung dalam kongres itu untuk membersihkan kaum kiri dalam PNI.

Tak lama setelah Peristiwa 30 September 1965, Ali Sastroamidjojo sempat ditawan oleh rezim Orde Baru. Meski begitu, sampai mengembuskan napasnya yang terakhir, 17 Maret 1975 (di usia 72 tahun), Ali Sastroamidjojo tetap menyebut diri sebagai seorang nasionalis sekaligus marhaenis. [Imran Hasibuan, Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia]

(Tulisan ini pernah dimuat pada Februari 2016)