Konsepsi Bung Karno soal Nasakom/Istimewa

Koran Sulindo – Kemunculan Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) memantik polemik yang tak sedikit menuai hujatan. Sebab, pasal-pasal yang menjadi norma dalam RUU HIP itu boleh dibilang menjadi tafsir tunggal atas Pancasila.

Celakanya lagi pernyataan Bung Karno ketika berpidato tentang dasar negara di persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945 direduksi sedemikian rupa oleh perumus RUU HIP. Salah satu intelektual yang bereaksi atas kemunculan RUU HIP itu adalah Yudi Latif.

Dalam tulisannya berjudul Titik Rawan RUU HIP, ia menilai pasal-pasal yang termuat dalam RUU tersebut saling kontradiktif. Saling bertubrukan. Ia menyoroti beberapa pasal dan ayat-ayat di RUU tersebut. Dalam tulisannya Yudi menyebutkan:

Pada pasal 6 (ayat 1) RUU ini disebutkan bahwa “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”. Pernyataan ini disusul oleh, pasal 7 yang menyatakan bahwa: (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. (2) Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

Bisa dilihat hubungan antarpasal dan antarayat saling bertubrukan. Disebutkan bahwa sendi (ciri) pokok Pancasila adalah keadilan; di sisi lain dinyatakan, ciri pokok Pancasila adalah trisila, yang tidak sebatas keadilan (sosio-demokrasi), tetapi juga sosio-nasionalisme dan ketuhanan.

Menyebutkan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila, pemerasan Pancasila ke dalam trisila dan terutama ke dalam ekasila menjadi problematik. Itu bisa menimbulkan kesan bahwa Pancasila ditempatkan di jalur materialisme. Ini berbeda dengan jalur pernyataan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Dari tulisan Yudi, memang ada baiknya kita memeriksa kembali bagaimana sebenarnya Bung Karno dalam menawarkan Pancasila sebagai dasar negara. Tentu saja rujukan kita adalah pidato yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Terutama berkaitan dengan Pancasila, trisila dan ekasila.

Dalam pidatonya itu, Bung Karno memaparkan tentang dasar-dasar negara yang ia ajukan dalam sidang BPUPK Indonesia. Dasar-dasar itu terdiri atas prinsip kebangsaan, perikemanusiaan (internasionalisme), mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Sebagai orang yang suka kepada simbolik, Soekarno menamai 5 prinsip itu bukan sebagai Panca Dharma. Sebab, Dharma merupakan kewajiban.

Ia akan tetapi merujuk kepada anjuran seorang temannya ahli bahasa dan menamai 5 prinsip itu sebagai Panca Sila. Sebab, Sila artinya dasar. Karena itu, 5 prinsip itu dinamai Soekarno sebagai Pancasila. Ia akan tetapi tidak berhenti pada 5, sebab Soekarno tahu boleh jadi para hadirin dan peserta sidang tidak menyukai 5 prinsip itu.

Karena itu, Soekarno lantas menawarkan pilihan trisila sebagai dasar negara yang merupakan perasan dari 5 sila. Trisila itu terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Soekarno mengatakan, jika para hadirin lebih senang dengan simbolik tiga, maka ambillah yang trisila itu sebagai dasar negara.

Soekarno melanjutkan, tetapi barangkali para hadirin dan peserta sidang lebih senang hanya satu dasar saja, maka ia menyimpulkannya sebagai: gotong royong. Negara Indonesia yang didirikan, kata Soekarno, haruslah negara gotong royong. Dan ia adalah paham yang dinamis. Lebih dinamis dari “kekeluargaan”. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan.

Dari uraiannya itu, jelas sudah prinsip-prinsip yang ditawarkan Soekarno sebagai dasar negara merupakan pilihan. Bisa 5 prinsip, bisa juga 3 prinsip atau 1 prinsip saja. Maka, ketika para peserta sidang telah menyetujui 5 prinsip, maka jelas sudah opsi-opsi yang lain tak perlu menjadi wacana atau bahkan menjadi sebuah norma hukum. Sebab, prinsip-prinsip tersebut sudah termuat dalam Pancasila.

Nasakom
Lebih jauh yang perlu ditelusuri soal Pancasila itu mengkaitkannya dengan pemikiran Bung Karno tentang nasionalis, agama dan komunis. Dalam pidatonya di Cibogo, Desember 1965, Soekarno dengan tegas mengatakan, Pancasila itu tidak anti-nas(ionalis), tidak anti-a(gama) dan tidak anti-kom(unis).

Pancasila, kata Bung Karno, adalah pemersatu. Sebuah ideologi yang menyangkut segala hal. Karena itu, Bung Karno juga bertanya “Aku ini apa?”. Ia lalu menjawab “Aku Pancasilais”.

“Aku ini apa?” tanya Bung Karno lagi, “Perasan dari Nasakom.”

Dari pidatonya itu, kita perlu melihat kembali cita-cita Soekarno yang sejak muda mendambakan persatuan dari golongan nasionalis, agama dan komunis untuk melawan penjajahan. Pemikiran sejak mudanya itulah kemudian dituangkan dalam 5 prinsip yang menjadi Pancasila.

Seperti yang diungkap Asmara Hadi dalam Marhaenisme Dalam Alam Pikir Soekarno, Soekarno mengkonsepkan nasionalisme Indonesia lebih konkret dan berbeda dari ide-ide nasionalisme sebelumnya. Soekarno tidak hanya menyuarakan kemerdekaan Indonesia, namun juga menyerukan persatuan nasional antar-elemen ideologi dan organisasi/partai politik pergerakan nasional pada masanya.

Salah satu tulisannya pada 1926 menjadi sangat populer dan dinilai sebagai landasan/dasar nasionalisme Indonesia: Nasionalisme-Islamisme-Marxisme atau lebih dikenal sebagai Nasakom. Lantas bagaimanakah pemikiran Bung Karno soal Nasakom itu?

Dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Soekarno menyebut nasionalis, Islamis dan komunis sebagai paham-paham yang umumnya dipeluk oleh pergerakan rakyat di Asia. Paham-paham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Dan tentu saja di Indonesia.

Karena itu, kata Soekarno, mungkinkah paham-paham tersebut dalam negeri jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu roh yang besar, roh persatuan?

Pertama-tama, Soekarno menjelaskan perihal nasionalisme yang merupakan suatu itikad; suatu keinsafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa. Bahwa rasa nasionalistis menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.

Pertanyaannya: apakah nasionalisme itu dalam perjuangan melawan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakikatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan ras; apakah nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa merapatkan diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?

Dengan tegas dan ketetapan hati Bung Karno menjawab “bisa.” Nasionalis sejati, kata Soekarno, yang cinta pada tanah airnya itu berpedoman terhadap pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan sejarah, bukan timbul dari kesombongan bangsa belaka. Karena itu, nasionalis dalam geraknya tidak mempunya halangan sama sekali ketika bekerja sama dengan Islamis dan Marxis.

Lalu, bagaimana pula dengan Islamisme? Menurut Soekarno, Islam sejati tidaklah punya tabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas shiratal mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan.

Menurut Soekarno, sama sekali tidak ada yang mengatakan, yang Islam itu setuju pada materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Yang perlu ditegaskan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula!

Lalu bagaimana dengan Marxisme? Soekarno mengatakan, ketika orang-orang mendengar perkataan ini, maka yang terbayang adalah para kaum tertindas dari segala bangsa dan negeri, wajahnya pucat dan badannya kurus, pakaiannya robek dan lain sebagainya. Taktik Marxis pada waktu itu, kata Soekarno, tidak menolak bekerja sama dengan nasionalis dan Islamis di Asia.

Taktik Marxisme yang baru justru menyokong pergerakan-pergerakan nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan nasionalis dan Islamis di Asia, kata Soekarno, Marxis demikian ketinggalan zaman dan tidak mengerti taktik Marxisme yang sudah berubah. Marxisme mengerti bahwa perjuangan rakyat harus disesuaikan dengan kondisi objektif suatu bangsa.

Mengenai ketiga paham ini tidak bisa tidak untuk bersatu melawan segala bentuk penindasan. Kuncinya harus bisa menerima; tetapi juga juga harus bisa memberi. Itulah rahasianya persatuan, kata Soekarno. Persatuan tidak akan bisa terjadi kalau tiap-tiap pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula. Hanya dengan demikian persatuan bisa tercapai, kata Soekarno.

Dari tulisannya itu, kita menjadi mengerti dan tahu alam pikir Soekarno tentang Pancasila dan Nasakom. Seperti yang diungkap Profesor Bernhard Dahm mantan Guru Besar dan Dekan Jurusan Studi Kawasan Asia Tenggara di Universitas Passau dalam wawancaranya dengan Deutsche Welle Indonesia pada Juni 2016. Bahwa Pancasila dan Nasakom menjadi jalan tengah dan faktor penyatu antara kalangan agama dan kalangan sosialis.

“(Pancasila dan Nasakom) adalah masa depan Indonesia,” kata Dahm meniru ucapan Soekarno. Ia – Soekarno – kata Dahm, mengatakan selalu akan ada pemikiran agama dan dasar-dasar sosialisme yang kuat di Indonesia. Kedua prinsip itu saling bersaing. Itu sebabnya, Soekarno memberi Pancasila kepada paham-paham yang berbeda ini.

Soekarno sekuat tenaga untuk meyakinkan kalangan Islamis bahwa ajaran Karl Marx merupakan alat analisis jitu untuk mencapai keadilan sosial. Sementara untuk kalangan Marxis, Soekarno meyakinkan mereka untuk menerima prinsip Ketuhanan. Dan mereka semua baik kubu agama maupun sosialis mau menerima Pancasila demi kepentingan nasional.

Bahkan ketika peristiwa pembantaian rakyat terjadi selepas G30S, Soekarno tetap percaya bahwa jiwa dan semangat ke-Indonesia-an yang terwujud dalam sikap toleransi dan pluralisme sudah tertanam lama dalam adat istiadat suku bangsa di Nusantara. Untuk menguji pernyataannya itu, Soekarno lantas menganjurkan Dahm untuk pergi ke Mandailing, Tapanuli Selatan, Banyuwangi atau Makassar.

Mengikuti anjuran Bung Karno itu, hasil penelitian Dahm menemukan 80% generasi muda pada 1980 mengenal baik istilah-istilah yang berhubungan dengan adat lokalnya. Ikatan adat itu kuat. Dan pada tingkat lokal, Dahm menemukan, ada kesediaan menerima perbedaan, prinsip toleransi dan keadilan. “Jadi saya percaya, Soekarno benar,” kata Dahm seperti dikutip Deutsche Welle Indonesia.

Pada prinsipnya, kata Dahm, Pancasila adalah gagasan tentang toleransi dan keadilan sosial. Dari kesimpulan tersebut kita pada akhirnya mengetahui alam pikir Soekarno yang kemudian menjadi landasannya menggali Pancasila.

Jika persatuan (toleransi) dan keadilan itu merupakan prinsip Pancasila, lantas mengapa ia kini ditafsirkan oleh elite-elite politik menjadi anti-untuk hal-hal tertentu? Pemikiran demikian tidak hanya bertentangan dengan prinsip Soekarno, tapi hanya membuat keriuhan – kalau bukan merusak sendi-sendi persatuan Indonesia. [Kristian Ginting]