Epy Kusnandar dalam suatu adegan film.

Koran Sulindo – Beberapa tahun lalu, media massa diramaikan dengan berita soal aktor Epy Kusnandar, yang divonis oleh dokter menderita kanker otak stadium lanjut. “Usia saya pun diprediksi dokter tak akan lama,” ujar Kang Epy, demikian sapaan akrabnya.

Kendati begitu, Epy tak mau menyerah. Selain mengintensifkan ibadah dan berdoa, dia juga berikhitiar melakukan pengobatan lewat jalur alternatif, yakni dengan pengobatan herbal. “Alhamdulillah, saya sehat walafiat sampai sekarang. Kanker otak saya juga telah hilang secara klinis,” katanya.

Itu sebabnya, ia mendukung kegiatan organisasi Perkumpulan Pengobat Alternatif Tradisional dan Ramuan Indonesia (PePATRI), yang akan melakukan rapat kerja nasional di Tangerang, Banten, pada Rabu dan Kamis besok (18-19/10). Epy akan memberikan kesaksiannya bagaimana pengobatan herbal bisa menyembuhkan penyakit beratnya. Selain Epy, rencananya, sejumlah artis lain yang punya pengalaman sembuh dari penyakit berat lewat pengobatan herbal juga akan memberikan kesaksian, antara lain Rini S. Bonbon, Billa Berbie, dan Karina Ranau.

“PePATRI adalah organisasi profesional yang menghimpun pengobat tradisional, baik itu yang menggunakan media maupun non-media. Mereka ini secara empiris telah memiliki keahlian, baik secara turun-temurun maupun melalui proses belajar. Mereka harus dihimpun dalam suatu wadah yang dapat memfasilitasi persoalan-persoalan teknis, yang meliputi pengobatan tradisional. Misalnya ada yang ingin bertanya mengenai perizinan, kemudian jika ada aduan dari masyarakat juga kami fasilitasi. Di PePATRI ini juga ada pendidikannya, pengobat bisa menambah wawasan demi meningkatkan mutu pengobatan. Yang paling penting, PePATRI juga memiliki kode etik tersendiri,” kata Ketua Umum PePATRI, Drs. H. Raden Wijaya, M.Si.,Ph.D., yang juga seorang akademisi di Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang.

Pengobatan tradisional, baik yang menggunakan media maupun non-media, tambahnya, sudah dimanfaatkan sejak zaman dulu kala. “Pengobatan tradisional non-media, misalnya energi prana, reiki, tenaga dalam, dan totok wajah, terbukti dapat mengatasi gangguan kesehatan. Akan halnya pengobatan tradisional dengan media adalah dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat, yang dewasa ini berkembang sangat pesat,” tuturnya.

Itu sebabnya, lanjutnya lagi, pengobat tradional perlu dilindungi, terutama perlindungan secara hukum agar tidak liar dan juga tidak mendapat stigma negatif. Mereka juga harus punya kepastian hukum dalam menjalankan profesinya. “Saya mencontohkan, yang menjadi masalah terbaru adalah perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 103 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. yang terbagi menjadi tiga, yakni empiris, komplementer, dan integrasi. Nah, yang secara empiris ini bagaimana? Para praktisi pengobat tradisional tidak tahu seperti apa karena petunjuk pelaksanaannya belum jelas. Perraturan pemerintah itu juga disinyalir sarat dengan muatan politik tertentu. Karena, dulu, yang disebut empiris itu namanya sehat alami, kemudian griya pengobatan tradisional, sekarang namanya menjadi panti,” kata Raden Wijaya.

Dalam pandangannya,  ada kecenderungan secara global obat-obatan herbal kini lebih umum dipraktikkan daripada obat-obatan konvensional kimiawi. Karena itu, ia sebagai ilmuwan memandang perlu berdirinya PePATRI sebagai wadah penelitian sekaligus pelestarian warisan pengobatan ramuan asli Indonesia. “Sejarah tanaman obat atau herbal di Indonesia berdasarkan fakta sejarah adalah obat asli Indonesia. Catatan sejarah menunjukkan, di wilayah Nusantara dari abad ke-5 sampai dengan abab ke-19, tanaman obat merupakan sarana paling utama bagi masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit dan pemeliharan kesehatan. Kerajaan di wilayah Nusantara, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram, yang telah mencapai beberapa puncak kejayaan, mewariskan banyak peninggalan yang dikagumi dunia, antara lain soal cara pemeliharaan kesehatannya dari tanaman obat. Nah, lewat wadah PePATRI, kami bertekad menjaga dan melestarikan warisan agung ini,” tuturnya. [PUR]