Koran Sulindo – Bulan Juni adalah Bulan Bung Karno. Di bulan inilah Bapak Bangsa itu lahir, merumuskan Pancasila, dan dipanggil menghadap Sang Mahapencipta.

Wajar jika bulan Juni bagi para pengagum Bung Karno menjadi bulan istimewa. Mereka pun kerap mengadakan berbagai acara untuk mengingat kebesaran Putra sang Fajar.

Begitu pula dengan aktor senior Tio Pakusadewo. Pada 2 Juni 2016 lalu, ia meluncurkan film dokudrama tentang lahirnya dasar negara Republik Indonesia, yang diberi judul Pantja-Sila: Cita-cita & Realita. Tio berperan menjadi Bung Karno, yang berpidato tentang Pancasila di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945.

“Sudah sejak lama saya ingin berperan sebagai Bung Karno,” kata pemilik nama lengkap Raden Tumenggung Irwan Susetyo Pakusadewo ini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal Juni lalu.

Dituturkan Tio, ide awal pembuatan film itu bermula ketika ia membaca sebuah buku Menjalankan Amanat Penderitaan Rakyat. “Buku itu saya beli dari seorang teman, dua juta rupiah,” ujarnya. Begitu membaca buku tersebut, ia langsung menyukai dan berniat memvisualisasi sebagian kecil dari buku itu ke dalam film. Rencananya, film tersebut akan diputar secara serentak di bioskop Indonesia pada 17 Agustus 2016.

Kendati diidam-idamkan sejak lama, Tio mengaku harus berjuang keras agar bisa berakting dengan meyakinkan sebagai Bung Karno. Berbagai cara ia lakukan untuk menyelami karakter negarawan kelas dunia dari Indonesia itu.

“Saya banyak berekspolarasi. Saya harus mempelajari seperti apa isi kepala Presiden Soekarno. Dan jauh sebelun proses pengambilan gambar, saya mencoba menyelami pemikiran beliau melalui tulisan-tulisannya di majalah Fikiran Ra’jat yang terbit tahun 1930-an dan juga berbagai buku,” ungkap Tio.

Untungnya, lanjutnya, referensi tentang Bung Karno sangat banyak, termasuk pidato-pidatonya.“Itu membantu saya mendapatkan berbagai sisi Soekarno, seperti apa dan bagaimana,” imbuhnya.

Sosok Bung Karno yang ia perankan adalah Bung Karno sebelum menjadi presiden. Karena itu, lajut Tio, dirinya dan Tino Saroengallo yang menjadi produser sepakat menafsirkan pidato yang disampaikan tokoh multitalenta itu tidaklah sama dengan  cara pidatonya di era setelah menjadi presiden, terutama di era 1957 sampai 1959. “Pidatonya belum seganas pidato beliau di era 1957 sampai 1959,” tutur Tio.

Namun, justru karakter yang seperti itu membawa beban bagi Tio, baik sebagai pemain maupun sebagai sutradara. “Dipelajarinya agak lama memang. Soalnya, itu sulit ditemukan dan digali emosinya,” katanya. [DPS]