APA ITU KORUPSI? Arrigo dan Claussen (2003) mendefinisikan korupsi sebagai ”mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan”. 

Korupsi berasal dari kata latin corruptio yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balikkan dan menyodok.

Termasuk juga dalam pengertian ini adalah menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya dan kepentingan publik diabaikan. Jadi otomatis bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah ketika anda menyalahgunakan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).

Jadi jelas bahwa segala bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi.

Menurut Anthony Eden, seorang politikus yang pernah menjadi Perdana Menteri Inggris 1955-1957, tidak ada paksaan dalam melakukan korupsi. Artinya kalau seseorang melakukan korupsi, ia tidak boleh berdalih melakukannya karena terpaksa, katakanlah karena gaji rendah atau alasan lainnya. Hal lain yang juga ditegaskan kutipan di atas: korupsi itu suatu tingkah laku yang disengaja, bukan faktor kebetulan, yaitu tingkah laku yang dilandasi niat atau motivasi tertentu.

Maka sekarang menjadi sedikit terang tentang korupsi, jadi inti perilaku korupsi berarti menyalahgunakan kekuasaan publik. Maksudnya adalah bahwa perilaku pejabat publik yang memperkaya diri atau orang lain yang dekat dengannya dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya.

Kenapa Seseorang Melakukan Tindakan Korupsi?

Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus kita telusuri dari hal-hal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu. 

Dalam pandangan ilmu psikologi, penyebab suatu perbuatan adalah interaksi antar faktor yang ada didalam diri seseorang, dan faktor yang ada diluar diri. Kedua faktor ini berinteraksi satu sama lain dalam wadah budaya yang lebih luas. 

Faktor di dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian. Ciri kepribadian tersebut akan cenderung untuk membuat orang untuk lebih mudah atau tidak di dalam mengatasi godaan untuk melakukan korupsi. Sedangkan Faktor diluar diri adalah kondisi-kondisi diluar yang mempermudah orang untuk melaksanakan keinginan korupsi.

Penyebab perilaku korupsi juga ternyata dipelajari oleh para ahli psikologi behavioristik, dimana perilaku manusia kebanyakan dipengaruhi faktor dari luar dirinya. Jadi sistem pengawasan yang sangat lemah, atau sistem hukuman bagi koruptor yang sangat ringan, sistem penegakkan hukum yang rapuh, serta lingkungan yang koruptif akan menyuburkan jamur dan bibit perilaku korupsi. 

Selanjutnya para ahli psikoanalisa menanggapi perilaku korupsi, dikatakan ada hubungan antara tahapan perkembangan kepribadian anak dengan kondisi anak setelah dewasa. Bila terjadi hambatan perkembangannya maka kepribadian itu akan dibawa sampai dewasa. 

Lalu sejatinya bagaimana hubungannya dengan perilaku korupsi? 

Sifat serakah pada manusia adalah sifat yang ada pada individu yang mengalami hambatan kepribadian pada fase anal  – 18 bulan sampai 3 tahun (fase di masa kecil manusia dimana kepuasan ada disekitar mempermainkan alat pembuangan kita/anus dimana biasanya anak anak akan dilatih kebersihan bagaimana dia melakukan kebiasaan buang kotoran badan dengan baik, Tak jarang ada anak yang kurang pendidikannya sehingga terbiasa bermain dengan kotoran dan tidak bisa membedakan mana kotoran mana yang bukan), dimana setelah dewasa ia mempertahankan kepribadian anal bentukan masa kecilnya itu. Karakter orang seperti ini ditandai dengan KERAKUSAN UNTUK MEMILIKI. Ia punya kenikmatan dalam kepemilikan benda.(Isti Rahayu, Perilaku Korupsi Sudut Pandang Psikologi, November 2016)

Menurut  Rahmad Agung Nugraha dalam Korupsi dalam Pandangan Psikologi Kognitif, 2021: asumsi inti dalam menganalisis perilaku korup pada pandangan psikologi kognitif adalah keputusan individu secara sadar untuk terlibat dalam perilaku korup. Keputusan ini kemungkinan besar melibatkan beberapa proses paralel psikologis yaitu:

Yang pertama adalah pemrosesan informasi. Keputusan melibatkan pilihan antara dua atau lebih alternatif yang melibatkan pilihan tentang pertanyaan seperti apakah, siapa, kapan, yang mana dan lain sebagainya.

Setiap alternatif dikaitkan dengan seperangkat keyakinan tentang hasil yang terkait dengan setiap alternatif. Setiap hasil dikaitkan dengan nilai atau preferensi, meskipun keyakinan dan nilai ini mungkin istimewa bagi setiap pembuat keputusan.

Tugas memilih antara alternatif dan berperilaku melibatkan tingkat pemrosesan informasi sehingga memerlukan berbagai bentuk kegiatan akuisisi pengetahuan yang didorong oleh data dan konsep (atau hipotesis) yang berkisar sepanjang kontinum dari pengetahuan langsung (berbasis persepsi) hingga mengetahui tidak langsung (berbasis kognisi) yang melibatkan tugas inferensi yang lebih kompleks.

Yang kedua adalah skemata. Skemata merupakan konsep dalam psikologi kognitif yang membantu untuk memahami proses mental secara internal (yaitu pengkodean dan penyimpanan informasi) yang terletak di antara rangsangan (input) dan respons individu dalam menghadapi setiap situasi yang diberikan.

Skemata meliputi naskah, contoh, dan analogi yang merupakan kerangka kerja terstruktur yang membantu seseorang untuk menyimpan, menyederhanakan, dan menghubungkan informasi yang terhubung ke proses kognitif seperti memori, pemrosesan informasi.

Penelitian psikologi kognitif tentang skemata menginformasikan tentang bagaimana pengetahuan yang mempengaruhi pemahaman mengenai pengetahuan baru, mengkategorikan, memilih, mengkode, menyimpulkan, menyimpan dan pemanggilan kembali. Intinya skemata berperan sebagai evaluasi diri dalam memberikan dasar pengalaman sebelumnya.

Yang ketiga adalah emosi dan motivasi, konstruksi motivasi berguna untuk memahami inisiasi dan penentuan pemrosesan informasi. Emosi dipandang sebagai unsur vital dalam kognisi fungsional. Kemampuan verbal dan kecerdasan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan rasional seseorang.

Yang keempat adalah kognisi dan perilaku, penelitian mengenai kognisi tidak dapat dipisahkan dengan pengamatan perilaku atau tindakan yang dilakukan individu.

Pikiran dipandang sebagai bagian struktur batin yang mengatur informasi dari lingkungan, menghubungkan informasi dengan pengetahuan yang tersimpan sebelumnya, dan proses informasi dan pengetahuan untuk membentuk keputusan dalam bertindak.

Kondisi dan lingkungan sosial seseorang mendorong atau mempengaruhi pemrosesan informasi seperti individu yang memegang kekuasaan lebih cenderung bertindak korup, Individu lebih cenderung bertindak korup ketika dalam posisi menguntungkan secara pribadi, memiliki kontrol diri yang rendah, mempunyai persepsi bahwa korupsi tidak berdampak (kerugian dan kebal hukum), Narasi rasionalisasi tampaknya membuat korupsi lebih dapat diterima (Rahmad Agung Nugraha, Korupsi dalam Pandangan Psikologi Kognitif, 2021).

Dari beberapa kajian penyebab perilaku korupsi kiranya dapat disimpulkan bahwa penyebab korupsi adalah rusaknya lingkungan global (sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi, dimana hal ini merangsang perilaku individu untuk korupsi). Penyebab selanjutnya adalah pengaruh iklim koruptif tingkat kelompok/ departemen, dan faktor kepribadian. Hal yang patut kita perhatikan tentang perilaku korupsi adalah adanya pemahaman bahwa “ bagi individu yang kualitas otaknya baik atau cara berpikir/kognitifnya baik dan fisik biologisnya baik dimana tidak membawa bibit buruk ( mampu membedakan yang baik dan yang tidak baik ), maka meskipun ada kesempatan melakukan korupsi individu tersebut tidak akan melakukan korupsi”. “Bagi individu yang otaknya baik maka norma salah atau tidak salah yang melekat di otaknya mampu dibedakan dengan jelas, hati nurani akan mampu membaca” (Isti Rahayu, Perilaku Korupsi Sudut Pandang Psikologi, November 2016). [S21]