Ada Apa di Balik Kerugian BUMN?

Ilustrasi

Koran Sulindo – Kabar buruk mengenai kinerja keuangan badan usaha milik negara (BUMN) hari-hari ini menjadi perhatian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Pasalnya, suntikan modal dari negara yang acap disebut sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN dianggap sia-sia karena ujungnya tetap saja merugi.

Itu yang menjadi pembahasan ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rapat dengan Komisi XI DPR pada pekan lalu. Kepada Sri Mulyani, sedikit menyindir, Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng mengatakan, “Berarti pintar dong Bu. Dapat PMN malah merugi.” Menjawab sindiran Mekeng itu, “Tidak pintar Pak. Kami sudah minta Wakil Menteri Keuangan untuk memanggil pejabat BUMN dan melihat kinerja dalam pengawasan,” kata Sri Mulyani pada pekan lalu di gedung DPR.

Kementerian Keuangan mencatat sebanyak enam  dari 45 BUMN yang menerima PMN mengalami kerugian pada 2016. Keenam BUMN itu adalah PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Dirgantara Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara X (Persero), PT Perkebunan Nusantara IX (Persero), PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara III (Persero).

Dari 45 BUMN penerima PMN, sekitar 30 BUMN mencatatkan perbaikan kinerja yang terdiri atas 26 BUMN membukukan kenaikan laba dan empat BUMN membukukan penurunan kerugian, sembilan BUMN dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) membukukan penurunan laba, lalu enam BUMN membukukan kenaikan kerugian.

Pemerintah mengalokasikan PMN senilai Rp 64,8 triliun pada 2015. Dari jumlah itu yang sudah digunakan mencapai Rp 47,8 triliun atau sekitar 75 persen. Rata-rata penggunaan PMN di beberapa BUMN masih di bawah 50 persen dan tidak sesuai dengan rencana bisnis. Penyebabnya macam-macam antara lain keterlambatan perizinan dan pemilihan mitra strategis untuk pembangunan proyek, pengadaan masih dalam proses tender dan lain-lain.

Pertamina dan Gas
Sedangkan peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyoroti buruknya kinerja keuangan PT Pertamina (Persero). Dikatakan Salamuddin, BUMN tersebut menjadi tumbal karena ambisi dan pencitraan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, pemerintah Jokowi berutang sekitar Rp 40 triliun kepada Pertamina.

Kendati berutang, tanda-tanda pemerintah untuk membayar ke Pertamina nampaknya masih jauh panggang dari api. Itu menyebabkan keuangan Pertamina menjadi “berdarah-darah”.  Di samping itu, sepanjang tahun ini, Pertamina telah mengeluarkan Rp 800 miliar untuk mengurusi harga bahan bakar minyak (BBM) satu harga sebagaimana diperintahkan Presiden Jokowi.

Dengan kata lain, pemerintah meminta Pertamina mensubsidi harga BBM untuk rakyat, sedangkan pemerintah menolak mensubsidinya melalui APBN. Tindakan itu, kata Salamuddin, berdampak buruk terhadap Pertamina. Apalagi perusahaan pelat merah itu menanggung utang yang mencapai sekitar Rp 100 triliun di pasar keuangan global.

Seperti Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk  juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Laporan keuangan PGAS pada semester I 2017 menunjukkan penurunan harga saham yang mengkhawatirkan. Dalam waktu lima hari, investor mengalami kerugian Rp 380 per saham.

Kinerja buruk PGAS sesungguhnya telah terjadi sejak kuartal (tiga bulan) pertama 2013. Ketika itu harga saham PGAS mencapai enam ribu rupiah per saham. Lalu harganya terus merosot. Pada pekan lalu, harga saham PGAS hanya Rp 2.000 per saham. Kondisi ini menyebabkan para investor khawatir karena kemungkinan harga saham PGAS akan menyentuh Rp 1.000 per saham. [KRG]