Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Suyoto/YUK

Koran Sulindo – Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, Suyoto, mengaku bila dirinya sering menghadapi politisi pemburu rente (rent seeker). Bahkan itu menjadi makanan pokok sehari-hari.

“Saya kalau ketemu politisi-politisi yang usianya rata-rata 65 tahun itu yang mereka pikirkan adalah punya tambang di mana, dan lain-lain. Maka politisi itu rata-rata pemburu rente (rent seeker). Dan itu juga ada di kabupaten saya, karena 25% minyak Indonesia dihasilkan dari Bojonegoro,,” ujar Suyoto saat pidato di Malam Refleksi Milad 36 tahun Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa malam (28/2).

Suyoto menegaskan, bangsa yang kuat adalah bangsa yang produktif, bukan yang konsumtif. Pun juga, jika mengacu pada refleksi pada kabupaten Bojonegoro, bangsa yang kuat adalah kumpulan para pemberi, dan bukan para peminta. Ia pun kemudian mengutip dalam Al-Qur’an, dalam ayat ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa. Dahulunya, lanjutnya, hal ini dimaknainya sebagai ayat untuk meminta pertolongan kepada orang lain.

“Dulu ayat itu saya pakai untuk cari bantuan. Jadi kalau saya membuat proposal mohon bantuan, saya selalu imbuhkan ayat tersebut. Tetapi setelah saya jadi bupati, ayat itu saya tafsirkan berbeda, yakni saling memberi pertolongan, dan bukan saling meminta tolong. Ayat tersebut bukan ayatnya orang yang lemah,” tegas Suyoto.

Suyoto pada kesempatan itu lantas melihat perkembangan Indonesia pada 5 tahun terakhir. Menurutnya banyak pelajara yang perlu dan bisa diambil oleh bangsa ini. Misalnya perdagangan ekspor yang lumayan turun. Lalu, yang namanya pajak, dalam 3 sampai 4 tahun terakhir tidak pernah mencapai target. Semua itu karena kita tadinya mengandalkan ekspor sumber daya alam, dan tiba-tiba harga minyak, harga batu bara, nikel, termasuk juga CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit turun. “Karena turun, maka uang kita berkurang. Sehingga defisit anggaran tinggi,” ungkap Suyoto.

Kemudian Suyoto menyatakan bahwa era saat ini disebut oleh Indeks sedang terjadi de-industrialisasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan perubahan perilaku impor Indonesia yang sebelumnya banyak mengimpor bahan baku. Sedangkan sekarang, impor Indonesia beralih pada impor barang jadi. “Artinya kita lama-lama menjadi konsumtif, bukan produktif,” katanya.

Secara terus terang Suyoto menyayangkan bahwa dalam masyarakat kita selalu berpikiran bagaimana memburu warisan, bukan bagaimana menciptakan warisan. “Ini menjadi kegelisahan saya. Padahal saya termasuk yang percaya rumusan everyone lives by selling something. Kalau seseorang tidak bisa menjual sesuatu, sebenarnya ia tidak bisa hidup,” ujarnya lagi.

Suyoto yang juga pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Muhammadiyah Gresik ini meminta agar setiap orang ataupun institusi yang berjualan, untuk tidak melupakan produk atau nilai dalam barang yang dijual. Hal ini kadang-kadang dilupakan orang. Jualan pendidikan itu adalah bisnis mengubah manusia dari yang biasa-biasa menjadi luar biasa.

“Kalau kita gagal membuat orang bisa jualan atau gagal membuat orang yang produktif, maka negara itu juga gagal. Oleh karenanya perguruan tinggi harus mampu mencetak manusia-manusia yang unggul,” ujar Suyoto.

Menurut Suyoto, UMY dapat bertahan hingga sekarang karena bisa menjual sesuatu. Kalau UMY berhenti jualan, maka UMY pasti ditinggalkan orang. Dikatakan bapak atau ibu dosen jualan juga. Kalau mahasiswa ditanyai siapa yang paling berkesan dan jawaban mereka bukan pak dosen atau ibu dosen, maka bisa dikatakan jualannya gagal. “Tetapi kalau UMY ini berkembang terus, maka jualannya sukses,” kata Suyoto. [YUK]