Koran Sulindo – Socrates, filsuf  Yunani Kuno paling terkemuka di masanya, dihadapkan pada sidang Pengadilan Heliasts, yang terdiri dari 501 warga Athena. Peristiwa itu terjadi pada tahun 399 sebelum Masehi.

Dalam pengadilan tersebut, semua warga Athena yang hadir adalah hakim. Socrates dituduh melakukan dua kejahatan. Pertama: ia dituduh sengaja menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani. Kedua: ia dengan sengaja telah merusak pemikiran anak muda dengan ajaran-ajaran filsafatnya.

Dari semula, Socrates telah mengetahui, ia tidak punya peluang untuk keluar dari sidang pengadilan sebagai orang bebas. Karena, sebagian besar hakim adalah musuh-musuh Socrates.

Melihat realitas itu, salah seorang muridnya, Crito, bermaksud menyuap para penjaga penjara agar Socrates bisa melarikan diri. Meski mengetahui tuduhan yang dikenakan pada dirinya adalah palsu dan hasil rekayasa, Socrates menganggap melarikan diri dari penjara adalah suatu kejahatan terhadap negara. Sang filsuf yang sudah berusia sepuh itu memilih menghadapi sidang pengadilan, meski ancaman hukuman mati telah menanti dirinya.

Pada akhirnya, Pengadilan Heliasts menjatuhkan vonis mati, dengan cara meminum racun, terhadap Socrates. Sesaat sebelum menjalani hukuman mati itu, Socrates berkata kepada dua orang sahabatnya, Simmias dan Cebes: “… orang harus tabah ketika menghadapi kematian dan patut punya harapan baik bahwa, setelah meninggalkan dunia ini, ia akan memperoleh kebaikan terbesar di dunia lain….”

Antasari Azhar tentu saja bukan Socrates. Pengadilan yang pernah dihadapi mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu tidaklah setragis yang dihadapi Socrates. Tapi, ada kesamaan antara perkara Socrates dan Antasari: tuduhan yang mereka hadapi patut diduga merupakan hasil rekayasa.

Tuduhan yang menjerat Antasari—seperti bisa dibaca dalam tulisan dalam koran ini—memang sarat dengan rekayasa nan canggih dan bertingkat-tingkat. Para pihak yang terlibat dalam rekayasa itu, menurut pengakuan Antasari, adalah orang-orang penting di pemerintahan negeri ini. Antasari menyebut dirinya bagaikan Rubin “The Hurricane” Carter, seorang mantan petinju kelas berat-menengah yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap tiga orang di sebuah bar di New Jersey, Amerika Serikat. Dua puluh tahun “‘The Hurricane” mendekam di penjara untuk kejahatan yang tak pernah ia lakukan.

Lantas, mengapa baru sekarang Antasari berniat mengungkap kebenaran atas perkara yang membelit dirinya? “Saya ikhlas menjalani hukuman, tapi saya tidak rela dengan dakwaan yang dituduhkan dan hukuman yang dijatuhkan kepada saya. Karena, saya tidak melakukan apa yang didakwakan itu. Kebenaran harus diungkap dan inilah saatnya,” ujar Antasari.

Sejauh ini, Antasari terus berupaya merangkai “puzzle” perkara yang dituduhkan kepada dirinya. Ikhtiar sudah ia lakukan, mulai dari pengajuan banding sampai upaya peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Begitupun dengan tim penasihat hukumnya, yang melaporkan dugaan rekayasa proses persidangann Antasari  ke Komisi Yudisial. Bahkan, Komisi Yudisial pun juga melihat adanya indikasi rekayasa persidangan tersebut.

“Saya yakin Tuhan akan membuka pintu kebenaran,” katanya.

Yang berharap seperti itu bukan hanya Antasari, keluarganya, dan penasihat hukumnya, tapi juga banyak warga masyarakat. Mereka bahkan berharap dilakukan penyidikan ulang terhadap proses penanganan kasus Antasari.

Harapan tersebut tentunya wajar dan memang sudah semestinya, karena ini adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Apalagi, penyidikan ulang atas kasus itu juga dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi generasi mendatang untuk terus menegakkan supremasi hukum. Kalau tidak, besar kemungkinan mereka akan memandang generasi sekarang, terutama mantan penyelenggara pemerintahan, tak lebih dari sebagai generasi mengkhianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan: semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

Laporan utama Koran Suluh Indonesia edisi cetak Nomor 19 Tahun Pertama, yang akan terbit 19 Desember 2016 mendatang, mengangkat upaya Antasari Azhar mengungkap kebenaran dalam kasus yang membelit dirinya. Laporan ini berdasarkan wawancara wartawan kami dengan Antasari. []