Gunung K2 tertinggi kedua di dunia. (Wikipedia)

Di antara deretan puncak tertinggi di dunia, nama K2 menjulang dengan aura keangkuhan dan misteri. Terletak di perbatasan antara Pakistan dan China, gunung ini berdiri tegak di Pegunungan Karakoram dengan ketinggian 8.611 meter (28.251 kaki) di atas permukaan laut menjadikannya gunung tertinggi kedua di dunia setelah Everest.

Namun meski bukan yang tertinggi, K2 justru dianggap lebih berbahaya dan menantang, bahkan oleh para pendaki paling berpengalaman sekalipun.

Lebih Kejam dari Everest

Dikenal dengan julukan “Gunung Biadab” atau “Savage Mountain”, K2 telah menjadi mimpi buruk banyak ekspedisi pendakian. Cuacanya ekstrem dan kerap berubah tiba-tiba, topografinya menantang dengan dinding batu dan es yang curam, serta ancaman longsoran salju dan batu yang bisa muncul sewaktu-waktu.

Letaknya yang terpencil sekitar 75 mil dari desa terdekat juga membuat akses logistik dan evakuasi menjadi sangat sulit. Tidak heran, tingkat kematian para pendaki di K2 jauh lebih tinggi dibandingkan Everest. Bagi banyak orang, menaklukkan K2 bukan sekadar prestasi fisik, tetapi juga pertaruhan nyawa.

Nama K2 berasal dari survei yang dilakukan oleh British Survey of India pada tahun 1856. Saat itu, seorang ahli survei bernama T.G. Montgomery sedang memetakan wilayah Karakoram dan memberi label pada puncak-puncak utama yang ia temukan dengan kode “K” singkatan dari Karakoram. Gunung-gunung tersebut kemudian dinamai K1, K2, K3, dan seterusnya berdasarkan urutan dan ketinggiannya.

Menariknya, meski banyak puncak lainnya kemudian diberi nama lokal, K2 tidak memiliki nama lokal yang disepakati oleh masyarakat sekitar karena letaknya yang sangat terpencil. Itulah mengapa nama kode K2 tetap melekat hingga hari ini.

Namun, sempat ada upaya untuk menyebut gunung ini sebagai “Gunung Godwin Austen”, untuk menghormati George Godwin Austen, salah satu tokoh awal dalam eksplorasi wilayah tersebut meskipun nama itu tidak pernah secara resmi diterima.

Sejarah Pendakian

Sebelum akhirnya berhasil ditaklukkan, K2 sudah lama menggoda dan menghantui para penjelajah. Pada tahun 1902, ekspedisi gabungan yang dipimpin oleh Aleister Crowley dan Oscar Eckenstein mencoba menaklukkannya, namun gagal.

Lalu pada tahun 1909, Pangeran Luigi Amedeo, Duke of the Abruzzi, memimpin ekspedisi lainnya yang juga belum berhasil mencapai puncak. Namun ekspedisi inilah yang memperkenalkan jalur Abruzzi Spur jalur yang kini menjadi rute standar dalam pendakian K2.

Tonggak sejarah baru akhirnya tercipta pada tanggal 31 Juli 1954, ketika dua pendaki asal Italia, Achille Compagnoni dan Lino Lacedelli, berhasil mencapai puncak K2. Mereka merupakan bagian dari ekspedisi yang dipimpin oleh Ardito Desio.

Keberhasilan ini bukan hanya sebuah kemenangan dalam dunia pendakian, tetapi juga penanda betapa tipisnya garis antara keberhasilan dan tragedi di puncak dunia ini.

Hingga hari ini, K2 tetap menjadi simbol ketangguhan manusia menghadapi alam yang tak kenal kompromi. Tidak banyak pendaki yang berani mencoba peruntungannya di gunung ini, dan lebih sedikit lagi yang kembali dalam keadaan hidup.

Di tengah arus modernisasi dan teknologi tinggi dalam dunia mountaineering, K2 tetap berdiri sebagai pengingat bahwa ada batas yang tidak mudah dilintasi bahkan oleh manusia yang paling tangguh sekalipun.

Menyebut K2 bukan hanya menyebut soal angka dan ketinggian. Di balik nama yang terdengar teknis itu, tersembunyi kisah perjuangan, kehilangan, keberanian, dan kemenangan. K2 bukan hanya gunung; ia adalah ujian. [UN]