Koran Sulindo – Gubernur Romawi kuno yang juga mertua dari Julius Caesar, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, pada tahun 43 sebelum Masehi berpidato. Pada pidatonya itu ada satu maksim yang ia ucapkan dan sampai kini masih diingat banyak orang: Fiat justitia ruat caelum, ‘keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh’.
“Langit runtuh” adalah ungkapan yang bermakna dunia begitu kacau dan membahayakan. Pada masa Romawi kuno, masyarakat di sana banyak yang percaya ungkapan tersebut bukanlah kiasan, tapi sebuah frasa yang memiliki makna denotatif: langit memang bisa runtuh jika Atlas yang membawa Bumi di bahunya merasa kelelahan dan Bumi jatuh membentur langit. Bila langit runtuh, bintang-bintang pun berjatuhan.
Akan halnya maksim yang diucapkan Lucius Calpurnius jelas merupakan suatu ungkapan perumpamaan. Itu adalah ekspresi penghargaan yang sangat tinggi terhadap norma hukum, yang akan bermuara kepada penegakan keadilan.
Dalam perjalanan sejarah, banyak tokoh yang berupaya memegang teguh pernyataan itu. Di Indonesia pun ada. Kita bisa menyebut Kusumah Atmadja, Budi Harsono, Yap Thiam Hien, Baharuddin Lopa, Adnan Buyung Nasution, Bismar Siregar, dan Benyamin Mangkudilaga sebagai contoh.
Sayangnya, dalam belasan tahun belakangan ini, di Tanah Air sangat sulit menemukan tokoh seperti mereka. Padahal, langit belum runtuh. Institusi-institusi penegakan hukum masih berdiri. Fakultas-fakultas hukum juga masih sangat banyak.
Yang kerap kita saksikan malah upaya penegakan hukum yang banal dan menguarkan aroma politis yang kuat. Wajar jika kemudian muncul istilah “tebang pilih” dan “tumpul ke atas”. Era reformasi tampaknya justru hanya memperbanyak orang yang mendapat “kehormatan” mengenakan “baju zirah” yang tak bisa disentuh hukum, bukan melahirkan pejuang-pejuang hukum yang perkasa, yang akan memperjuangkan keadilan bagi semua, bahkan terhadap pesakitan yang telah terbukti bersalah.
Akibatnya, banyak kasus besar seolah lenyap ditelan Bumi atau ditangani tak tuntas. Lalu, tiba-tiba, ada dari kasus itu yang dimunculkan kembali, tapi kemudian justru menguap lagi ketika masuk ke institusi hukum, tanpa penjelasan apa-apa.
Contoh kasusnya adalah skandal kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Ini kasus besar, menyangkut anggaran triliunan rupiah dan karena itu melibatkan banyak pihak eksekutif dan legislatif.
Kasus ini telah muncul lima tahun silam. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru membuka penyidikannya pada 22 April 2014 dan baru mulai diangkat lagi beberapa pekan lalu. Sejauh ini, dalam kasus yang menyangkut anggaran Rp 6 triliun dan merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun tersebut, baru dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.
Tentu tak perlu menjadi ahli hukum untuk mempertanyakan, bagaimana bisa kasus yang telah bertahun-tahun dan merugikan negara triliunan rupiah hanya “menghasilkan” dua tersangka? Rp 2 triliun itu uang yang sangat banyak. Ada ratusan kabupaten/kota yang anggaran pendapatan dan belanja daerahnya jauh di bawah itu.
Kita pun akhirnya menjadi mafhum dengan ucapan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, pada awal September 2016 lalu. “KPK sekarang bermain politik,” kata Megawati ketika memberikan sambutan pada pembukaan Sekolah Partai PDI Perjuangan di Wisma Kinasih, Depok, Jawa Barat. []