Momus adalah salah satu dewa sebagai perwujudan ejekan dan kritik dalam mitologi Yunani kuno diusir dari Gunung Olympus. (Greek Mythology)

Jika membahas mitologi Yunani, banyak dewa dikenal karena kebijaksanaan, kekuatan, atau keberanian mereka. Namun, ada satu sosok yang keberadaannya tak kalah menarik, meski sering kali terpinggirkan yaitu Momus, dewa ejekan dan kritik. Berbeda dengan dewa lain yang dipuja karena kebesaran mereka, Momus justru dikenal karena keberaniannya mengolok-olok para penghuni Olympus, termasuk Zeus sendiri.

Keberadaannya menggambarkan bahwa dalam setiap tatanan ilahi maupun duniawi, kritik dan satire selalu memiliki tempatnya. Lalu, bagaimana kisah dewa yang berani menertawakan para dewa ini? Dilansir dari laman Greek Reporter, mari kita telusuri lebih dalam kisahnya.

Asal-usul Momus

Momus lahir dari Nyx (Νύχτα), dewi malam, tanpa ayah. Ia memiliki saudara kembar bernama Oizys, yang merupakan personifikasi dari kesengsaraan dan kecemasan. Dalam beberapa versi, Erebus, dewa kegelapan, disebut sebagai ayahnya. Kelahiran Momus dari malam melambangkan hubungannya dengan kegelapan dan sifatnya yang selalu mencari-cari kesalahan.

Momus pertama kali muncul dalam tulisan-tulisan Hesiod, khususnya dalam Theogony. Ia diceritakan secara singkat sebagai anak Malam. Ini menunjukkan hubungan antara kegelapan dan kecenderungannya untuk mengkritik. Momus tidak tinggal dekat ibunya, tetapi tinggal di Gunung Olympus bersama para dewa lainnya. Hesiod mengatakan bahwa tugas Momus adalah menyampaikan kebenaran kepada para dewa dan selalu siap menertawakan mereka, meskipun itu berarti menciptakan ketegangan di Olympus.

Namun tak lama kemudian dewa ejekan dan cemoohan itu diusir dari Olympus oleh Zeus, setelah ia mengolok-olok dewa-dewa lain dan juga mengkritik Zeus.

Ia selalu mencari-cari kesalahan pada dewa-dewa lain dan mencari alasan untuk mengejek mereka. Ia juga mencari-cari kesalahan pada manusia, dengan menyatakan bahwa tidak ada cara untuk melihat ke dalam hati mereka guna mengetahui pikiran dan niat mereka yang sebenarnya.

Terkadang kritik dewa Yunani kuno itu mendekati hal yang tidak masuk akal. Misalnya, ia menemukan kesalahan pada rumah karena tidak memiliki roda sehingga orang dapat menggesernya untuk menghindari tetangga yang berisik. Atau banteng, karena tidak memiliki mata pada tanduknya untuk mengarahkan serangannya. Mengingat semua keluhan ini, tidak mengherankan bahwa saudara kembarnya adalah personifikasi dari kesengsaraan.

Momus dalam Sumber Kuno

Dalam mitologi Yunani kuno, Momus (Μώμος) adalah personifikasi dari ejekan dan kritik tajam. Keberaniannya dalam mengolok-olok bahkan para dewa membuatnya diusir dari Olympus oleh Zeus. Sosoknya mencerminkan kecerdasan tajam yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara satiris, sesuatu yang terus diapresiasi hingga zaman modern.

Momus disebutkan dalam berbagai teks kuno, terutama dalam Theogony karya Hesiod, di mana ia dijuluki sebagai dewa sindiran dan ejekan. Dalam karya Lucian, Momus digambarkan sebagai kritikus berlidah tajam yang berani mengomentari ketidaksempurnaan para dewa. Keberadaannya menjadi representasi satir dalam budaya Yunani kuno, di mana humor digunakan sebagai alat refleksi terhadap kekurangan manusia dan ketuhanan.

Menurut mitologi, Momus sering kali melontarkan kritik pedas kepada para dewa, termasuk Zeus. Ia mengejek karakter Zeus yang penuh nafsu dan menyindir ciptaan para dewa lainnya. Dongeng terkenal tentang Momus dan kecerdasannya yang menyindir digambarkan dalam lukisan, yang dibuat oleh pelukis Belanda Maarten van Heemskerck, yang menggambarkan Zeus, Prometheus, Athena dan Momus. Dalam salah satu kisah terkenal, Zeus menciptakan seekor banteng, Prometheus menciptakan manusia, dan Athena menciptakan sebuah rumah. Momus, yang ditunjuk sebagai juri, memberikan kritik tajam:

1. Ia mengkritik Zeus karena tidak menempatkan mata banteng di ujung tanduknya agar bisa melihat saat menyerang.

2. Ia mengecam Prometheus karena tidak menggantungkan hati manusia di luar tubuh agar niat seseorang dapat terlihat jelas.

3. Ia menertawakan Athena karena tidak menambahkan roda pada rumahnya agar bisa dipindahkan jika tetangganya buruk.

Kritik ini membuat Zeus marah, dan sebagai hukuman, Momus diusir dari Olympus.

 

Momus sebagai Simbol Satir Yunani

Orang Yunani kuno memahami Momus sebagai representasi satir dan kritik sosial. Sindiran yang ia lontarkan sering kali lucu namun mengandung kebenaran pahit. Bahkan, beberapa cerita menyebutkan bahwa Momus berperan dalam memicu Perang Troya sebagai cara untuk mengurangi populasi manusia.

Seiring waktu, Momus berkembang dari sekadar kritikus ke sosok yang digunakan dalam satir untuk mengungkap kelemahan otoritas dan masyarakat. Lucianus, seorang penulis satir, menggunakan Momus sebagai alat untuk mengejek para dewa dan manusia, memperlihatkan kebodohan mereka dengan cara yang jenaka namun tajam.

Lucianus, yang juga menulis satir, menggambarkan dewa ejekan Yunani kuno itu sebagai sosok yang lucu dan fasih berbahasa. Ia sering menggunakan Momus untuk menemukan kelemahan dan mengungkap kekonyolan para dewa dan manusia.

Dalam teks-teks Lucianus, kita melihat Momus bukan sebagai karakter yang buruk, tetapi sebagai karakter penting yang menonjolkan kekurangan yang ada pada setiap orang. Seperti para pelawak di masa lalu, ia menggunakan humor untuk menyampaikan kebenaran kepada para penguasa.

Meskipun suara Momus sering mengandung ejekan, ia juga melakukan sesuatu yang penting: ia menyampaikan kebenaran yang tidak ingin dihadapi orang lain. Sudut pandang ini penting untuk mengetahui bagaimana satire bekerja dalam kehidupan Yunani kuno.

Satir seperti cara bagi para dewa untuk melihat dan mengakui kekurangan. Nilai abadi Momus terletak pada pandangan yang berubah ini, di mana ia adalah seorang pemain sandiwara sekaligus pembicara yang berhati-hati. Ia menjaga agar para dewa tetap patuh melalui kritiknya yang terus-menerus.

Dalam mitos Yunani, simbol-simbol sering kali mencerminkan karakter dan peran dewa. Momus memiliki dua simbol utama:

Cermin: Melambangkan refleksi dan kesadaran diri. Cermin menunjukkan kebenaran yang sering kali dihindari manusia. Dengan melihat ke cermin, seseorang melihat jauh ke dalam dirinya sendiri dan menyadari siapa dirinya. Cermin mengatakan kebenaran, ia menyingkapkan kesalahan yang dimiliki seseorang tetapi tidak dilihat orang lain.

Topeng si Pelawak: Melambangkan dualitas humor. Tertawa bisa menjadi bentuk hiburan, tetapi juga bisa menjadi cara untuk menutupi kenyataan pahit dalam hidup. Topeng yang dulunya bahagia, sekarang juga sedih, adalah topeng si pembuat lelucon. Dia membuat lelucon untuk tertawa dan merayakan kehidupan. Namun, dia juga membuat lelucon untuk melupakan sisi kehidupan yang menyedihkan dan tragis.

Momus adalah dewa yang unik dalam mitologi Yunani. Ia tidak hanya menjadi simbol ejekan, tetapi juga mencerminkan pentingnya kritik dan kebenaran dalam masyarakat. Meskipun akhirnya diusir dari Olympus, pengaruhnya tetap terasa, baik dalam literatur klasik maupun dalam satir modern. Sebagai dewa sindiran, Momus mengajarkan bahwa kebenaran sering kali menyakitkan, tetapi juga perlu untuk diperjuangkan. [UN]