Sastra adalah cerminan dari jiwa, dan di setiap babak sejarahnya, selalu ada sosok yang melangkah lebih jauh untuk membawa perubahan. Pada era perjuangan kemerdekaan, di tengah deru revolusi yang memekakkan, lahir seorang pemuda yang mengguncang dunia sastra dengan keberaniannya menciptakan sesuatu yang baru.
Ia bukan hanya seorang penyair, tetapi juga pelopor yang mengukir jejak pembaruan dalam puisi Indonesia. Namanya tak pernah pudar, menjadi simbol kebebasan, individualisme, dan semangat juang. Dialah Chairil Anwar, si “Binatang Jalang” yang menolak untuk tunduk pada konvensi. Mari kita selami perjalanan hidup dan warisan seorang tokoh besar ini, yang tidak hanya menulis sajak, tetapi juga membangun fondasi puisi modern Indonesia.
Pendidikan dan Awal Karir
Chairil Anwar adalah nama yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra Indonesia. Dikenal sebagai Pelopor Angkatan ’45, ia telah memperkenalkan puisi modern Indonesia yang penuh semangat pembaruan, dinamis, dan menggerakkan jiwa.
Chairil Anwar lahir di Medan pada 26 Juli 1922. Ia berasal dari keluarga terpandang yang berakar di Payakumbuh, Sumatra Barat. Ayahnya, Toeloes bin Haji Manan, adalah seorang ambtenar (pegawai negeri) di masa kolonial yang kemudian menjadi Bupati Rengat pada tahun 1948. Ibunya, Saleha, lahir dan besar di Medan.
Menurut laman Kemdikbud, pendidikan Chairil dimulai di Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) dan berlanjut ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) meskipun hanya sampai kelas satu. Saat merantau ke Jakarta, ia kembali masuk MULO, dan mulai banyak membaca buku-buku setingkat HBS (Hogere Burger School). Namun, pendidikan formalnya terhenti di kelas dua MULO. Meski demikian, Chairil tidak berhenti belajar. Ia melanjutkan pendidikan secara otodidak dan memperdalam bahasa Belanda, Inggris, serta Jerman, yang membuka wawasannya terhadap karya-karya sastra dunia.
Perjalanan Menjadi Penyair
Chairil mulai menulis pada tahun 1942 dengan sajak pertamanya berjudul “Nisan” yang diciptakan bulan Oktober dan kemudian pada bulan Desember lahir judul baru “Penghidupan”. Sajak “Aku” yang ia tulis pada tahun 1943 menjadi karya yang paling ikonik, mewakili semangat kebebasan dan individualisme yang kemudian menjadi ciri khas karyanya. Bahkan, menjadi sangat popular dan menjadi referensi di beberapa sekolah-sekolah.
Mengutip Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) karya Ajip Rosidi, berikut ini sajak lengkap puisi Aku, ciptaan Chairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sikap idealis Chairil terlihat dari keberaniannya menolak propaganda politik Jepang dan komitmennya pada seni sebagai alat perjuangan, terutama pada masa perang kemerdekaan.
Salah satu sajaknya yang monumental, “Krawang-Bekasi” (1948), terinspirasi dari perjuangan rakyat di wilayah tersebut. Dengan larik seperti, “Menjaga Bung Karno, menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir,” Chairil menyuarakan semangat revolusi yang membakar hati para pejuang.
Karya dan Pengaruh
Sepanjang karier singkatnya, Chairil menciptakan 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan empat prosa terjemahan. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain: Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, 1950).
Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun H.B. Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956) dan Aku Ini Binatang Jalang (1986). Karya-karya Chairil juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Inggris dan Jerman, memperluas pengaruhnya di kancah sastra dunia. Sajak-sajak Chairil yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, antara lain terjemahan Burton Raffel: Selected Poems (of) Chairil Anwar (1962), dan The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1970).
Sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Wakter Karwath, Feuer Und Asche (1978). Chairil juga menerjemahkan beberapa karya sastra dunia, karya terjemahannya yang terkenal adalah “Pulanglah Dia Si Anak Hilang” karya Andre Gride dan “Kena Gempur” karya John Steinbeck.Sajak-sajak Chairil Anwar banyak dimuat di banyak media cetak baik majalah maupun surat kabar. Beberapa kumpulan sajak Chairil Anwar yang pernah dibukukan ialah Deru Campur Debu yang diterbitkan oleh Pembangunan.
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus pertama kali terbit tahun 1949 pada Pustaka Rakyat tahun yang sama. Kemudian kumpulan sajak bersama Asrul Sani dan Rivai Aspin yang berjudul Tiga Menguak Takdir Terbit pada Balai Pustaka 1950. Kemudian buku “Aku Ini Binatang Jalang” diterbitkan oleh PT Gramedia Jakarta 1986. Meskipun demikian diluar buku tersebut masih terdapat banyak sajak dan prosa yang belum dibukukan, tersebar di berbagai majalah, surat kabar dan media cetak lainnya.
Chairil juga dikenal sebagai penyair yang menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya baru yang singkat, tegas, dan berbobot. Menurut H.B. Jassin, “Akunya Chairil” selalu hadir dalam setiap karyanya, mencerminkan jiwa dan sikap penyair yang idealis dan orisinal.
Sosok yang Bohemian
Chairil menjalani hidup dengan gaya bohemian. Meskipun sering dianggap kontroversial, gaya hidup ini justru mendekatkannya dengan berbagai kalangan, termasuk seniman seperti pelukis Nashar. Komentar dan kritik Chairil yang tajam namun mendalam menjadi inspirasi bagi rekan-rekannya.
Namun, sikap idealis ini juga berdampak pada kehidupan pribadinya. Istrinya, Hapsyah, mengungkapkan bahwa Chairil kerap mengabaikan kebutuhan ekonomi keluarga demi kegemarannya menulis dan membaca. Bagi Chairil, sajak adalah sarana untuk mencapai cita-cita, bukan sekadar alat untuk bertahan hidup.
Chairil Anwar meninggal dunia pada 28 April 1949 di usia muda, 27 tahun, akibat komplikasi berbagai penyakit. Ia dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Yang ikut hadir pada prosesi pemakaman antara lain Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Rivai Apin, dan pemuda lainnya.
Sebelum meninggal Chairil Anwar sempat dirawat di CBZ (RSTM) dari tanggal 22 sampai 28 April 1949, menurut catatan medis selain penyakit Tifus, ia juga memiliki riwayat penyakit paru-paru. Kondisi tersebut kian diperburuk dengan penyakit usus yang membuat kondisi fisiknya kian lemah menjelang akhir hayat.
Meskipun usianya singkat, warisannya dalam dunia sastra tetap abadi. Atas jasa-jasanya sebagai Pelopor Angkatan 45, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Agustus 1969, No. 071I1969, Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan Anugerah Seni kepada Chairil Anwar.
Karya-karya Chairil Anwar tidak hanya mencerminkan semangat zamannya tetapi juga terus relevan hingga kini. Dengan gaya bahasa yang unik dan sikap hidup yang idealis, Chairil menjadi simbol kebebasan berekspresi dan semangat pembaruan dalam sastra Indonesia. [UN]