Penembakan dalam Bloody Sunday menewaskan ratusan demonstran. (Sumber: Speak Out Socialists)

Dalam sejarahnya, Rusia telah melalui tiga revolusi. Revolusi pertama berlangsung pada tahun 1905, dipicu oleh Minggu Berdarah (Bloody Sunday) tanggal 22 Januari 1905 (atau tanggal 9 Januari berdasarkan Kalender Julian).

Bloody Sunday adalah sebuah tragedi penembakan oleh polisi Tsar terhadap para demonstrator di ibu kota Rusia, St. Petersburg. Kemungkinan lebih dari 200 pengunjuk rasa tewas dan beberapa ratus lainnya terluka dalam insiden tersebut.

Latar Belakang

Bloody Sunday dilatarbelakangi oleh pemerintahan Tsar Nicolas II yang semakin korup dan represif. Melansir dari Alpha History, stimulus ekonomi pemerintah pada akhir tahun 1800-an memicu lonjakan pertumbuhan industri, tetapi hampir tidak disertai kontrol legislatif atau peraturan mengenai perlakuan terhadap tenaga kerja.

Pada tahun-tahun pertama abad ke-20, tiga juta pekerja industri di Rusia mendapatkan upah terendah di Eropa. Akibatnya, mereka tidak mampu membeli kebutuhan sehari-hari. Ditambah lagi, mereka tinggal di rumah petak yang padat atau gubuk reyot milik majikan mereka. Rumah-rumah itu dibangun dengan buruk, penuh sesak, dan tidak memiliki fasilitas pemanas air atau pembuangan limbah yang memadai.

Kondisi kerja juga buruk. Waktu kerja pada masa itu adalah enam hari dalam seminggu dengan durasi rata-rata per hari 10,5 jam. Tidak ada hari libur tahunan, cuti sakit, atau pensiun. Pemilik pabrik sering kali mengenakan denda sewenang-wenang atas keterlambatan atau kegagalan memenuhi kuota produksi. Bahkan denda dikenakan untuk hal-hal sepele, seperti istirahat ke toilet dan berbicara atau bernyanyi saat bekerja.

Perlakuan buruk itu membuat banyak pekerja jatuh sakit, mengalami kecelakaan, dan cedera. Karena tidak ada cuti atau kompensasi yang tersedia, mereka yang sakit atau cedera langsung diberhentikan.

Ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Tsar semakin meningkat di tahun 1904, ketika Rusia terlibat dalam perang dengan Jepang. Ini menyebabkan resesi yang parah. Produksi, perdagangan luar negeri, dan pendapatan pemerintah menurun, sehingga memaksa perusahaan-perusahaan memberhentikan ribuan pekerja dan meningkatkan tekanan pada mereka yang bertahan. Harga pangan di kota-kota meningkat hingga 50 persen, sementara upah tetap rendah.

Akibatnya, kemiskinan melonjak secara signifikan. Dan satu-satunya tanggapan pemerintah Tsar adalah meminta para pemimpin zemstvo atau badan pemerintahan mandiri pedesaan untuk menyelenggarakan bantuan amal.

Georgy Gapon Mendukung Pekerja

Kondisi yang buruk menimbulkan keresahan dan perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Kaum liberal kembali menuntut majelis konstituante terpilih. Para pekerja industri membentuk ‘bagian pekerja’, yang berfungsi sebagai kelompok diskusi militan. Kelompok ini lalu berkembang menjadi komite pemogokan.

Beberapa bagian pekerja dipimpin oleh Georgy Gapon, seorang pendeta kelahiran Ukraina yang sebelumnya menerima dukungan dari Okhrana atau polisi rahasia Tsar. Gapon adalah pembicara publik yang fasih dan seorang aktivis yang terampil, tetapi dia tidak patuh terhadap pemerintah Tsar. Dia mendukung para pekerja yang miskin dan menderita.

Di bawah arahan Gapon, bagian pekerja menumbuhkan ciri khas menanamkan semua tuntutan dengan ‘pencarian keadilan’. Para pekerja termotivasi bukan oleh pertimbangan yang bersifat material, melainkan oleh aspirasi moral murni untuk menyelesaikan semuanya ‘sesuai keadilan’ dan untuk memaksa para majikan menebus dosa masa lalu mereka.

Pada akhir tahun 1904, Gapon menjadi tokoh penting dalam kerusuhan di pabrik baja Putilov di St. Petersburg. Ketika manajer pabrik memecat empat pekerja di sana, kelompok bagian pekerja menanggapi dengan marah. Mereka mulai mengorganisir pemogokan untuk menuntut perbaikan hak dan kondisi pekerja.

Pada awal Januari 1905, Gapon menyusun petisi kepada Tsar, yang isinya menuntut perbaikan kondisi kerja dan beberapa reformasi politik. Lebih dari 150.000 pekerja menandatangani petisi tersebut.

Tragedi Penembakan

Pada hari Minggu tanggal 22 Januari 1905, Gapon memimpin ribuan pekerja berbaris menuju Istana Musim Dingin di St. Petersburg untuk menyampaikan petisi mereka kepada Tsar. Tanpa sepengetahuan mereka, Tsar Nicholas II saat itu berada di istananya di Tsarskoye Selo, sekitar 25 mil selatan ibu kota.

Britannica menyebut bahwa demonstrasi di alun-alun depan Istana Musim Dingin awalnya berjalan dengan damai. Para demonstran membawa ikon-ikon keagamaan, gambar-gambar Tsar Nicholas II, dan petisi yang berisi keluhan dan tuntutan akan reformasi.

Namun saat beberapa pekerja semakin mendekat, petugas memanggil polisi dan garnisun keamanan istana untuk menjaga titik masuk Istana. Kemudian, polisi menembaki para demonstran. Adipati Agung Vladimir, pamannya Tsar Nicholas II, diduga memerintahkan serangan tersebut.

Jumlah korbannya tidak jelas: sumber pemerintah menyatakan bahwa 96 orang tewas, saksi mata memperkirakan lebih dari 200 orang, sementara laporan dan propaganda dari kelompok revolusioner mengklaim angka yang lebih tinggi. Tragedi penembakan itu disebut sebagai Bloody Sunday.

Revolusi Rusia 1905

Kabar mengenai peristiwa Blody Sunday menyebar ke seluruh dunia. Surat kabar London, Paris, dan New York, mengutuk Tsar Nicholas II, menyebutnya sebagai tiran pembunuh. Sebuah kartun Inggris baka menggambarkan Tsar sebagai Kematian itu sendiri, duduk di atas mayat para pekerja yang memprotes.

Di Rusia, Tsar NIcholas II dijuluki ‘Nicholas Berdarah’. Pemimpin Marxis Peter Struve menjulukinya sebagai ‘Algojo Rakyat’. Gapon, yang lolos dari insiden Bloody Sunday, menyatakan bahwa “Tidak ada Tuhan lagi. Tidak ada Tsar!”

Bloody Sunday memicu Revolusi Rusia tahun 1905. Sehari setelah tragedi penembakan itu, sekitar 150.000 orang di ibu kota melakukan mogok kerja. Pemogokan meluas di sekitar St. Petersburg dan kota-kota lain di kekaisaran, termasuk Moskow, Odessa, Warsawa, dan negara-negara Baltik selama beberapa hari berikutnya.

Kemudian, aksi-aksi ini menjadi lebih terkoordinasi dan tetap disertai tuntutan reformasi politik. Para pekerja industri, kaum intelektual, organisasi profesional, dan seluruh masyarakat Rusia sangat marah. Kaum Bolshevik Lenin pun bertambah kuat.

Kemarahan rakyat memuncak hingga menyebabkan pembunuhan terhadap Adipati Agung Sergei Aleksandrovich Romanov (paman Tsar Nicholas II yang ketiga) di halaman Kremlin pada tanggal 4 Februari 1905. Melansir dari Wiley Online Library, dia tewas ketika sebuah bom yang dilemparkan oleh Sosialis Revolusioner (SR) Ivan Kaliaev meledak.

Pemogokan terus berlangsung. Tsar Nicholas II menanggapi pada bulan Februari dengan mengumumkan niatnya untuk membentuk majelis terpilih guna memberi nasihat kepada pemerintah. Namun usulannya tidak memuaskan para pekerja, petani, kaum liberal di zemstvos, dan golongan lainnya.

Pemerintah lalu mengumumkan prosedur pemilihan untuk majelis penasihat pada tanggal 6 Agustus. Ini memicu lebih banyak protes dan pemberontakan, yang memuncak pada bulan Oktober-November. Besarnya protes itu akhirnya membuat Tsar Nicholas II mengeluarkan Manifesto Oktober, atas saran Menteri Keuangan Rusia Sergey Yulyevich Witte. Manifesto ini menjamin kebebasan sipil, seperti kebebasan berserikat, kebebasan pers, hak pilih yang luas, dan pembentukan badan legislatif (Duma). [BP]