Saat membahas tentang sejarah Indonesia, kita cenderung mengingat nama-nama besar seperti Soekarno dan Hatta yang menjadi simbol perjuangan bangsa. Namun, seperti kain tenun yang indah, sejarah tidak hanya dibuat oleh benang utama, tetapi juga oleh benang-benang kecil yang menyatukan semuanya menjadi utuh.
Salah satu “benang kecil” itu adalah Godlief Rudolf (G.R.) Pantouw. Meski tak sepopuler tokoh-tokoh besar lainnya, Pantouw adalah figur yang perannya menjangkau berbagai bidang, mulai dari pergerakan nasional hingga pendidikan dan politik. Ia bukan hanya seorang penggerak perubahan, tetapi juga sosok yang menyatukan keberagaman demi membangun Indonesia yang kokoh. Mari mengenal lebih dekat kiprah dan warisan yang ditinggalkannya untuk bangsa ini.
Peran dalam Pergerakan Pemuda
Melansir laman esi.kemdikbud.go.id, Pantouw merupakan salah satu tokoh Jong Minahasa, organisasi pemuda yang didirikan pada 1918. Sebagai wakil Jong Minahasa, ia menghadiri Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia, yang melahirkan ikrar Sumpah Pemuda.
Salah satu hasil kongres tersebut adalah pembentukan Indonesia Muda, organisasi gabungan pemuda dari berbagai daerah. Pantouw menjadi anggota Komisi Besar Indonesia Muda, berperan mempersiapkan fusi organisasi-organisasi pemuda yang terbentuk resmi pada kongres 28 Desember 1930–2 Januari 1931.
Pada 1930-an, Pantouw mengajar di Pergoeroean Rakjat-School di Makassar. Namun, aktivitasnya dianggap “mengganggu keamanan dan ketertiban” oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga ia bersama rekan-rekan pengajar lainnya diskors. Ini tak menghalangi dedikasinya pada pendidikan; di era 1950-an, ia menjadi pengajar di Akademi Wartawan Djakarta, bersama tokoh-tokoh besar seperti Hamka dan Sitor Situmorang. Pada 1960-an, Pantouw turut mendirikan Perguruan Tinggi Pers dan Publisiteit di Makassar, yang kemudian melebur menjadi bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin, di mana ia menjabat Ketua Program Studi Publisistik.
Peran dalam Pemerintahan dan Politik
Di bidang politik, Pantouw terlibat dalam pemilihan anggota Gemeenteraad Manado pada 1938. Selama pendudukan Jepang, ia aktif di Syukai Gi In, yang kemudian menjadi Sudara (Sumber Darah Rakyat). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjabat sebagai sekretaris Badan Pusat Keselamatan Rakyat (BPKR) pada 1946, sebuah organisasi diplomasi yang mendukung pemerintahan Republik Indonesia.
Pada masa federal, Pantouw memainkan peran penting sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama Negara Indonesia Timur (NIT) pada 13 Januari 1947 dan Menteri Sosial dalam kabinet kedua pada 31 Mei 1947. Ia bersama Nadjamuddin Daeng Malewa berpendapat bahwa pembentukan NIT didasarkan pada kesadaran sebagian masyarakat akan potensi negara federal, bukan karena kehendak Belanda.
G.R. Pantouw adalah figur yang menjembatani berbagai bidang—pendidikan, politik, dan jurnalistik—dengan semangat nasionalisme. Kontribusinya menunjukkan pentingnya peran individu dalam membentuk sejarah bangsa. Meski tak banyak yang diketahui tentang kehidupan pribadinya, perjalanan hidup Pantouw menjadi bukti dedikasi tanpa batas bagi Indonesia. [UN]