Ilustrasi Katak

Koran Sulindo – Di kisahkan pada zaman dahulu, hiduplah seorang ibu yang tabah, namun jauh di dalam hatinya, ia menyimpan kerinduan yang dalam akan kehadiran seorang anak.

Setelah ditinggalkan meninggal oleh suaminya, ia menjalani hari-hari yang penuh sepi dan sering kali menghabiskan malam dengan memandang langit, berharap Tuhan mendengar doanya.

Dalam doa yang lirih, ibu ini berjanji pada dirinya sendiri, “Seandainya Tuhan memberiku seorang anak, aku akan mencintainya sepenuh hati, meskipun ia tidak sempurna, bahkan jika ia berwujud seperti seekor katak.”

Doa itu rupanya bukanlah sekadar harapan kosong. Suatu hari, tanpa diduga, kehidupan ibu itu berubah dengan kehadiran seorang bayi yang unik dan ajaib.

Saat mencuci baju di sungai, ia menemukan seorang bayi laki-laki yang unik, wajah dan perawakannya persis seperti seekor katak. Kulit bayi itu licin dan penuh bentol seperti katak sungguhan.

Meskipun begitu, ibu itu tetap membawa bayi tersebut pulang dan memberinya nama Bujang Katak. Ia merawat Bujang Katak dengan penuh kasih sayang, sama seperti seorang ibu merawat anaknya.

Meski memiliki wujud seperti katak, Bujang Katak tumbuh menjadi pemuda yang tegap, ramah, dan selalu bersikap baik pada semua orang. Ia dikenal rajin bekerja dan memiliki banyak teman. Namun, akhir-akhir ini, Bujang Katak terlihat sering melamun dan tampak resah.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya ibu dengan penuh perhatian.

“Ngg… tidak apa-apa, Bu,” jawab Bujang Katak sambil menundukkan kepala. Namun, ketika ia masuk ke kamarnya, ia bercermin dan menatap wajah serta tubuhnya yang mirip katak.

“Tubuhku bulat, berleher pendek, kulitku licin dan bentol-bentol… apakah ada gadis yang mau menjadi istriku?” pikirnya sedih.

Sebenarnya, Bujang Katak mulai merasa cemas tentang keadaan fisiknya. Ia ingin menikah seperti teman-teman seusianya, tetapi ia takut tak ada seorang gadis pun yang mau menerima penampilannya.

Akhirnya, ia pun mengutarakan keinginannya kepada ibunya. “Bu, aku ingin menikah,” katanya dengan sungguh-sungguh.

Ibu terkejut dan merasa senang. Namun, rasa terkejutnya semakin besar ketika mendengar siapa yang diinginkan anaknya untuk menjadi istrinya.

“Aku ingin menikah dengan salah satu dari tujuh putri Raja,” kata Bujang Katak.

Ibu menghela napas cemas. “Mengapa harus putri Raja, Nak?” tanyanya.

“Aku dengar bahwa ketujuh putri Raja itu cantik dan berbudi luhur,” jawab Bujang Katak. “Apakah mungkin seorang putri mau menerima suami seperti diriku?”

Mendengar keyakinan anaknya, ibu mengangguk dengan penuh kasih sayang. Ia berjanji untuk mencoba melamar salah satu putri Raja bagi Bujang Katak.

Esok harinya, ibu berangkat ke istana. Dengan hati berdebar, ia menghadap Raja dan mengutarakan maksudnya. Raja menatap ibu itu tak percaya.

“Hah? Bujang Katak? Mana mungkin putriku menikah dengan pemuda seperti dia? Putri-putriku cantik, sementara anakmu… ya, seperti katak!” Raja menolak dengan tegas.

Namun, Raja memberi kesempatan pada ketujuh putrinya untuk mempertimbangkan lamaran tersebut. Putri pertama hingga putri keenam menolak tanpa ragu.

“Kami tidak mau, Ayah,” jawab mereka serempak.

Tetapi, putri bungsu yang berhati lembut berkata lain. “Tidak apa-apa, Ayah. Bujang Katak adalah pemuda yang baik dan bertanggung jawab. Aku bersedia menerimanya sebagai suami,” ucapnya tulus.

Raja terdiam, dan akhirnya menyetujui lamaran itu, dengan syarat bahwa Bujang Katak harus membangun jembatan emas yang menghubungkan istana dengan rumahnya. Bujang Katak menerima tantangan itu tanpa ragu.

Namun, ibu Bujang Katak cemas. “Nak, kita orang miskin. Dari mana kita bisa mendapatkan emas sebanyak itu? Lupakan saja niatmu menikahi putri Raja,” ujarnya.

Tetapi, Bujang Katak tetap teguh. Ia bekerja keras, melakukan pekerjaan apapun yang bisa memberinya upah, mulai dari pagi hingga larut malam. Selain bekerja keras, Bujang Katak tak pernah berhenti berdoa, memohon keajaiban yang bisa mewujudkan keinginannya.

Suatu malam, Bujang Katak bermimpi dirinya mandi di sumur belakang rumah. Dalam mimpi itu, setelah mandi, kulit kataknya terkelupas, dan ia berubah menjadi seorang pemuda tampan berkulit halus. Ketika terbangun, ia memutuskan untuk mencoba hal yang sama. Dengan penuh harapan, ia pergi ke sumur belakang rumah dan mandi di sana.

Ternyata mimpinya menjadi kenyataan! Kulit katak yang menutupi tubuhnya terkelupas, dan ia kini berwujud seorang pemuda tampan. Tidak hanya itu, kulit katak yang terkelupas dan menumpuk di tepi sumur telah berubah menjadi emas!

Dengan gembira, ia memberitahu ibunya. Ibu terkejut namun bahagia, karena kini Bujang Katak bisa membangun jembatan emas sesuai permintaan Raja. Dengan bantuan teman-temannya, Bujang Katak segera mulai membangun jembatan. Setelah bekerja siang dan malam, jembatan emas itu akhirnya selesai.

Bujang Katak datang ke istana untuk menghadap Raja. “Yang Mulia, jembatan emas telah siap,” katanya penuh rasa bangga.

Raja memandang Bujang Katak dengan bingung, tak mengenali pemuda tampan yang berdiri di hadapannya. “Siapa pemuda ini? Mana pemuda yang seperti katak dulu?” tanyanya.

Ibu Bujang Katak menjelaskan kejadian ajaib yang dialami putranya. Diam-diam, putri bungsu mengintip dari balik tirai dan merasa sangat gembira melihat calon suaminya kini tampan dan gagah.

Raja pun mengajak ketujuh putrinya untuk melihat jembatan emas yang telah dibangun. Semua orang yang menyaksikan kagum akan keindahannya.

Raja lalu menoleh pada putri bungsu dan bertanya, “Apakah kamu siap menikah dengan pemuda pilihanmu ini?”

Putri bungsu mengangguk malu-malu. “Ya, Ayah. Dia telah membuktikan kesungguhannya dengan membangun jembatan emas ini.”

Raja mengangguk setuju. “Baiklah, mari kita bicarakan rencana pernikahan kalian,” katanya.

Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran, dan seluruh rakyat diundang untuk merayakannya. Bujang Katak dan putri bungsu pun menikah, dan mereka hidup bahagia.

Berkat jembatan emas, putri bungsu bisa dengan mudah mengunjungi orang tuanya di istana, sementara Bujang Katak menjalani hidupnya dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan. [UN]

Sumber: Buku Seri Cerita Rakyat Nusantara Bangka Belitung Bujang Katak
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer