ilustrasi nelayan memancing menggunakan bulu ayam (Foto AI/ Ulfa Nurfauziah Sulindo)

Koran Sulindo – Pada zaman dahulu, di Kepulauan Riau, hiduplah dua sahabat sejati, Raja Ayam dan Raja Tongkol. Mereka memimpin rakyat mereka dengan penuh kepercayaan dan sering kali bekerja sama dalam berbagai hal. Hubungan persahabatan mereka erat, saling tolong-menolong tanpa syarat. Mereka hidup damai, mengatasi setiap masalah bersama-sama.

Suatu hari, Raja Ayam datang menemui Raja Tongkol dengan kabar yang menggembirakan. Ada keluarga nelayan yang hendak menikahkan anaknya dan menggelar pesta besar di tepi pantai. “Sahabatku, Raja Tongkol,” ujar Raja Ayam, “Besok malam akan ada pesta besar. Jangan lupa datang bersama rakyatmu! Pesta ini akan luar biasa, dan aku yakin kalian akan menikmatinya.”

Raja Tongkol, yang senang mendengar kabar baik itu, menyambutnya dengan penuh antusias. “Tentu saja kami akan datang! Namun, aku memiliki satu permintaan. Kami, rakyat tongkol, akan datang saat air laut pasang, tetapi kami harus kembali sebelum matahari terbit, saat air laut mulai surut. Jadi, kami memerlukan bantuan kalian untuk berkokok sebagai tanda waktu bagi kami.”

Raja Ayam dengan percaya diri menjawab, “Itu mudah, sahabatku! Aku dan rakyatku pasti akan berkokok tepat waktu agar kalian bisa kembali ke laut sebelum air surut.”

Ketika malam pesta tiba, bulan purnama menerangi langit, dan air laut naik tinggi. Rombongan rakyat tongkol datang, bersembunyi di balik karang, menanti dengan penuh kegembiraan. Pesta yang diadakan sangat meriah. Suara rebana berdentum riang, dan suasana penuh dengan sorak-sorai kebahagiaan. Raja Tongkol dan rakyatnya larut dalam kesenangan, menikmati setiap momen dari pesta besar itu.

Namun, waktu terus berjalan. Malam semakin larut, dan tak ada seorang pun yang mengingat perjanjian Raja Tongkol. Baik rakyat ayam maupun Raja Ayam yang bertanggung jawab memberi tanda waktu, tertidur pulas. Mereka terlena oleh keindahan malam dan suara pesta yang menggema. Hingga akhirnya, saat fajar mulai menyingsing, rakyat tongkol mulai terbangun. Mereka kaget, menyadari air laut telah surut, dan mereka terjebak di antara karang-karang yang mulai mengering.

“Celaka! Air laut sudah surut! Di mana ayam-ayam yang seharusnya berkokok untuk memberi kami tanda?” Seru rakyat tongkol yang mulai panik. Mereka melompat-lompat, berusaha kembali ke laut, tetapi hanya sedikit yang berhasil mencapai air. Raja Tongkol adalah salah satu dari sedikit yang selamat.

Sementara itu, Raja Ayam baru saja bangun. Dia sangat terkejut saat menyadari bahwa pagi telah tiba, dan dia gagal menepati janjinya. “Bagaimana dengan rakyat Tongkol?” pikirnya dengan penuh penyesalan. Namun, semuanya sudah terlambat.

Penduduk desa yang tinggal di tepi pantai juga mulai bangun. Mereka sangat terkejut melihat banyak ikan tongkol yang tergeletak di karang, tak bisa kembali ke laut. Mereka pun dengan cepat menangkap ikan-ikan itu untuk dibawa pulang.

Raja Tongkol, yang menyaksikan rakyatnya ditangkapi, dipenuhi oleh kemarahan dan kesedihan. Ia merasa dikhianati oleh sahabatnya, Raja Ayam. Dalam amarahnya, ia mengucapkan sumpah kutukan. “Mulai hari ini, persahabatan kita berakhir, Raja Ayam! Kami, rakyat tongkol, akan membalas dendam dengan memakan semua rakyat ayam, terutama kalian, ayam jantan!”

Sejak saat itu, persahabatan antara Raja Ayam dan Raja Tongkol berubah menjadi permusuhan abadi. Ikan tongkol dan ayam jantan tidak pernah akur lagi. Para nelayan di Riau, yang mengetahui kisah ini, mulai menggunakan bulu ayam sebagai umpan untuk memancing ikan tongkol. Sumpah dendam Raja Tongkol terus berlanjut hingga sekarang, menjadi legenda yang mewarnai kehidupan para nelayan di Kepulauan Riau.

Cerita di atas merupakan Cerita rakyat berjudul Ayam dan Ikan Tongkol yang dikutip dari buku Cerita Rakyat Nusantara Terpopuler Sepanjang Masa, penerbit Cikal Aksara (2016). [UN]