Ubasute (Foto: Ist)

Koran Sulindo – Pada era Jepang kuno, ketika bencana gagal panen dan kekurangan bahan makanan melanda, lahirlah sebuah tradisi bernama Ubasute. Tradisi ini berasal dari kata “uba” yang berarti “orang tua” dan “sute” yang berarti “membuang.”

Ubasute dilakukan dengan membawa orang tua ke gunung atau hutan terpencil dan meninggalkan mereka di sana untuk mengakhiri hidup. Praktik ini terjadi terutama di wilayah Hutan Aokigahara, di kaki Gunung Fuji, yang juga dikenal sebagai tempat masyarakat Jepang mengakhiri hidupnya.

Asal Mula dan Mitos Ubasute

Dilansir dari laman Ancient Origins, tradisi ini memiliki kaitan dengan sebuah kisah dari India yang kemudian menyebar ke China dan akhirnya sampai di Jepang pada abad ke-6.

Kisah tersebut bercerita tentang seorang raja yang membenci orang tua dan membuat peraturan untuk mengasingkan semua orang berusia lebih dari 70 tahun. Peraturan ini mengakibatkan banyak orang terpaksa membuang orang tua mereka demi menghindari hukuman.

Namun, ada seorang menteri yang sangat menyayangi ibunya sehingga ia menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia. Ketika sang raja menghadapi teka-teki sulit dari kerajaan tetangga, jawaban yang berhasil menyelamatkan kerajaan datang dari nasihat ibu tua tersebut. Karena terkesan, raja mencabut aturan pengasingan terhadap orang tua dan mulai menghormati mereka.

Selain mitos tentang raja ini, Ubasute juga seringkali dikaitkan dengan bencana kelaparan yang disebabkan oleh letusan gunung berapi seperti yang terjadi pada Gunung Asama tahun 1783 atau akibat serbuan serangga pemakan tanaman yang menyebabkan gagal panen. Dalam keadaan darurat seperti ini, Ubasute dianggap sebagai solusi untuk mengurangi jumlah “mulut yang harus diberi makan.”

Praktik Pengorbanan Demi Keluarga

Dalam tradisi Ubasute, biasanya anak laki-laki akan menggendong ibu mereka ke hutan atau gunung, lalu meninggalkannya sendirian, kadang-kadang dengan sedikit makanan atau tanpa bekal sama sekali.

Para ibu yang ditinggalkan akhirnya meninggal karena kelaparan, dehidrasi, atau serangan binatang buas. Meski demikian, ada beberapa kasus di mana orang tua yang ditinggalkan masih sehat secara mental dan fisik, namun memilih untuk tetap di gunung sebagai bentuk pengorbanan bagi anak dan keluarga mereka.

Kontroversi dan Fakta Modern

Walaupun Ubasute lebih banyak dianggap sebagai mitos atau legenda, jejak dari tradisi ini masih dapat ditemukan dalam budaya populer Jepang. Film “The Ballad of Narayama”yang dirilis pada tahun 1983, mengangkat kisah tentang seorang ibu yang diharuskan mengasingkan diri ke gunung pada usia 70 tahun karena desa tempat tinggalnya mengalami masa sulit.

Selain itu, pada zaman modern, ada beberapa kasus serupa yang terjadi, seperti yang dilaporkan pada tahun 2018 ketika seorang wanita bernama Ritsuko Tanaka dari Prefektur Shiga membuang ayahnya yang menderita Alzheimer di stasiun layanan jalan tol karena ia mengaku tidak mampu lagi mengurus sang ayah.

Kasus lain terjadi pada tahun 2015 ketika Katsuo Kurokawa membawa kakaknya yang cacat ke lereng gunung setelah gempa bumi menghancurkan rumah mereka, yang berujung pada kematian sang kakak.

Kisah-kisah ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa mengutuk tindakan tersebut sebagai bentuk ketidakpedulian dan ketidakberterima kasih terhadap orang tua, sementara yang lain mencoba memahami situasi yang mendorong keputusan tersebut.

Dalam kondisi ekonomi yang sulit dan keterbatasan kemampuan untuk merawat orang tua, tindakan meninggalkan mereka mungkin dipandang sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia.

Ubasute Dalam Sejarah Lain

Praktik serupa dengan Ubasute juga ditemukan dalam sejarah bangsa lain. Di Romawi kuno, ada ritual di mana pria berusia lebih dari 60 tahun dilemparkan ke Sungai Tiber, Di India, terdapat praktik euthanasia sukarela yang dikenal sebagai Thalaikoothal.

Di mana anggota keluarga yang lebih muda mengakhiri hidup anggota keluarga yang tua dan sakit untuk meringankan penderitaan mereka. Bahkan, masyarakat Eskimo dan Inuit memiliki kebiasaan untuk meninggalkan orang tua mereka yang sudah renta di hamparan es sebagai bentuk pengorbanan.

Meski diyakini sebagai mitos dan dongeng, praktik Ubasute terus menginspirasi kisah-kisah tentang pengorbanan dan perlawanan terhadap kesulitan hidup. Hingga hari ini, tradisi ini masih menjadi simbol kontroversi tentang bagaimana masyarakat memperlakukan orang tua mereka di masa-masa sulit. [UN]