Lukisan minyak berjudul The Christian Martyr's Last Prayer karya Jean-Léon Gérôme (1860). Bangsa Romawi menganiaya orang Kristen pada tahun-tahun awal Kekristenan, terutama karena mereka menolak menyembah dewa-dewa Romawi dan kaisar. (Sumber: Wikimedia Commons)

Roma didirikan sekitar tahun 625 SM di wilayah Italia kuno yang dikenal sebagai Etruria dan Latium. Diperkirakan bahwa negara-kota Roma awalnya dibentuk oleh penduduk desa Latium yang bergabung dengan para pemukim dari perbukitan di sekitarnya sebagai respons terhadap invasi Etruria.

Setelah melalui masa kerajaan, republik, dan kekaisaran yang hebat, Roma jatuh pada tahun 476 M. Romulus Augustus adalah kaisar terakhir: dia digulingkan oleh Odoacer, seorang barbar Jerman yang menyatakan dirinya sebagai raja Italia.

Berikut ini adalah 5 penyebab jatuhnya Kekaisaran Romawi Kuno, menurut History Today.

1. Gagal Mengelola Sumber Daya

Kekaisaran Romawi tidak pernah memiliki formula yang pasti untuk mengendalikan wilayah dan sumber dayanya yang sangat besar.

Roma selalu menjadi laboratorium eksperimen yang sangat besar dalam hal tata kelola, administrasi, dan perdagangan antardaerah.

Hal krusialnya adalah masalah militer yang terjadi pada abad ketiga mengajarkan para kaisar untuk menjauh dari pusat semenanjung Italia yang terisolasi dan mendekati tempat terjadinya peristiwa sebenarnya.

Ibu kota kekaisaran baru didirikan di sebelah perbatasan penting Eropa utara dan wilayah timur. Ketika Konstantinus mendirikan kembali kota Byzantium atas namanya pada tahun 330, geopolitik Mediterania berubah secara permanen.

Konstantinopel mengubah rute politik dan ekonomi, menyerap kekayaan dan sumber daya Kekaisaran Romawi Barat.

Semakin miskin dan berkurang penduduknya, Barat secara bertahap kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan stabilitas dan mengamankan perbatasannya.

Pusat kekaisaran terakhirnya, Ravenna—kota pelabuhan kecil di Laut Adriatik—bisa dibilang paling berharga karena menghadap ke timur, ke arah kota Konstantinus.

2. Kesulitan Mempertahankan Struktur Pemerintahan

Ada dua struktur yang mengendalikan kekuatan sentrifugal Roma, yaitu budaya elit bersama dan militer.

Militer melindungi elit lokal dari ancaman internal dan eksternal, tetapi juga dapat dikerahkan untuk menekan separatisme lokal.

Pada tahun 400 M, mempertahankan struktur tersebut menjadi lebih sulit.

Kebangkitan Persia pada abad ketiga mengharuskan adanya pembagian kekuasaan antara Timur dan Barat untuk mengendalikan pasukan di Timur dan di Rhine dan Danube, yang menyebabkan konflik antara dua bagian Kekaisaran.

Keberhasilan perluasan identitas Romawi ke kalangan elit di seluruh Kekaisaran juga berarti bahwa ada lebih banyak agenda politik yang dimainkan dalam sistem tersebut.

Namun, tidak ada satu pun dari hal ini yang menunjukkan tanda-tanda akan menghasilkan fragmentasi politik.

PDB mencapai titik tertingginya pada abad keempat (dibandingkan dengan titik lain mana pun di era Romawi) dan semua konflik politik pada era tersebut difokuskan pada pengendalian sistem secara keseluruhan, bukan pada upaya melepaskan diri darinya, karena pasukan Romawi telah direorganisasi sehingga sebagian besar berada di pusat kekaisaran.

3. Invasi Kaum Barbar

Dua gelombang migrasi besar yang melintasi perbatasan Eropa Roma (375-80; 405-10) menghasilkan dua konfederasi baru dengan ukuran yang belum pernah terjadi sebelumnya pada sekitar tahun 420: Visigoth di Aquitaine dan Vandal/Alan di Spanyol.

Kedua konfederasi ini secara langsung merusak poros fiskal-militer penting yang menyatukan Kekaisaran Romawi kuno.

Keduanya awalnya mengalahkan pasukan kekaisaran utama, dan selanjutnya mengganggu aliran pendapatan provinsi.

Ini memungkinkan mereka mencaplok dan merusak sebagian basis pajak Kekaisaran Romawi kuno.

Pada tahun 425, setengah dari pasukan lapangan pusat Kekaisaran Romawi Barat telah dihancurkan, dan seperempat provinsinya tidak lagi menghasilkan pendapatan. Sebagian besar kekuatan di pusat telah dipatahkan dan lingkaran setan pun mulai bergerak.

Kekaisaran tidak lagi memiliki kekuatan untuk mencegah konfederasi yang telah ada untuk memperluas wilayah mereka secara perlahan, atau mencegah konfederasi yang baru, seperti Anglo-Saxon, Burgundia, dan Frank, untuk pindah ke tanah Romawi.

Hal ini menyebabkan aliran pendapatan bergerak ke pusat kekaisaran, melemahkan kapasitasnya untuk mempertahankan kekuatan yang efektif.

4. Xenofobia

Xenofobia adalah ketakutan dan kebencian terhadap orang asing atau hal-hal yang asing.

Dalam beberapa dekade terakhir abad keempat Masehi, banyak orang luar, termasuk Goth, meninggalkan rumah mereka, melintasi perbatasan Kekaisaran Romawi, dan mencari keamanan di tanah Romawi.

Perempuan dan anak-anak menetap di desa-desa Romawi. Para pemuda bertugas di tentara Romawi. Kehadiran mereka menyebabkan masalah hukum bagi pemerintah dan konflik sosial di kota-kota Romawi.

Xenofobia dan stereotip adalah respons umum orang Romawi terhadap perubahan. Dan pada abad kelima, perubahan telah mengguncang setiap aspek kehidupan.

Kaisar Kristen menutup kuil-kuil pagan dan mewajibkan kepercayaan Kristen. Orang-orang Goth diperbudak, dibantai di jalanan, dan dikorbankan di medan perang.

Kaisar Romawi kuno terakhir yang memberikan kewarganegaraan kepada orang luar adalah Caracalla, yang meninggal pada tahun 217 M. Generasi pendatang baru di Roma hidup di bawah keadilan yang tidak setara.

Pada tahun 410 M, Alaric memimpin serangan ke Roma, sebuah peringatan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap keteguhan hati pemerintah Romawi.

Dalam tiga generasi, para politisi merasa lebih suka menyerahkan wilayah Romawi daripada merancang solusi politik untuk mengintegrasikan orang luar.

5. Bangsa Romawi Tidak Menganggap Roma Telah Jatuh

‘Kejatuhan Roma’ tidak boleh diartikan sebagai penyusutan populasi atau lahan di provinsi-provinsi Barat, atau dengan hilangnya seorang kaisar di Barat.

Sebaliknya, hal itu harus diartikan sebagai berakhirnya lembaga-lembaga sipil dan politik Roma, seperti senat.

Perang Gotik yang melelahkan selama 20 tahun yang dilakukan Justinian (535-54) juga tidak menandai kejatuhan terakhir.

Rekonstruksi Italia setelah peranglah yang mengakhiri pola-pola kehidupan sipil yang selama berabad-abad telah mendorong orang-orang untuk menginvestasikan uang dan hidup mereka di Roma.

Justinian mengangkat orang-orang militer dan orang-orang Timur ke jabatan-jabatan sipil tinggi sebagai pengganti senator-senator Barat.

Dia juga meminta para uskup untuk mengambil peran-peran sipil, mulai dari mengawasi persediaan gandum kota hingga memilih gubernur-gubernur provinsi.

Pertemuan senat terakhir yang tercatat adalah di Basilika Lateran pada tahun 603. Ini adalah hasil langsung dari reformasi pemerintahan Justinian, sebuah momen yang identik dengan kejatuhan Roma yang sebenarnya dan terakhir. [BP]