ilustrasi Tengu (Foto: kimurakami.com)
ilustrasi Tengu (Foto: kimurakami.com)

Di dalam jagat kepercayaan dan cerita rakyat Jepang, terdapat sosok roh supranatural yang dikenal dengan nama Tengu. Sosok ini telah menjadi bagian penting dalam tradisi lisan maupun visual Jepang sejak abad ke-7 Masehi, dan hingga kini masih terus hidup dalam bayang-bayang cerita, gambar gulungan, bahkan budaya populer modern.

Tengu adalah makhluk yang begitu kompleks, mereka dapat tampil dalam wujud manusia maupun hewan, menjadi sosok penolong ataupun pengacau, memiliki kekuatan luar biasa atau sekadar menjadi bayangan nakal yang suka mempermainkan manusia.

Konon, ketika Tengu pertama kali jatuh ke bumi dalam sebuah meteor api, mereka digambarkan memiliki campuran antara ciri manusia dan anjing. Oleh sebab itu, mereka dijuluki “anjing surgawi”. Namun, seiring waktu, bentuk fisik mereka mulai berubah mengikuti kisah evolusi imajinatif masyarakat Jepang. Wujud mereka bergeser menjadi lebih menyerupai burung; mereka memiliki cakar, bulu, dan paruh.

Namun, perubahan tidak berhenti di sana. Seiring berjalannya abad, Tengu berevolusi lebih jauh, menjadi sosok yang lebih menyerupai manusia. Paruh mereka berubah menjadi hidung yang panjang mencolok, dan meskipun bentuk tubuh mereka semakin manusiawi, mereka tetap dapat dikenali lewat kulit merah tua dan sayap besar seperti elang.

Sebagian dari mereka, terutama yang menyerupai manusia, bahkan mengenakan pakaian khas seperti pendeta Buddha dari sekte Yamabushi. Mereka mengenakan tunik berwarna kuning muda atau jingga tua, topi kecil hitam di dahi yang disebut tokin, dan yuigesa, rompi dengan enam pom-pom warna-warni yang melambangkan enam kebajikan dalam ajaran Buddha. Tidak jarang pula mereka membawa shakujo, tongkat lonceng pendeta, dan kipas ha-uchiwa yang bisa mengendalikan angin.

Wajah Ganda Sang Tengu

Kepribadian Tengu pun seberagam penampilan mereka. Dalam legenda-legenda tua, Tengu digambarkan sebagai makhluk yang jahat dan penuh tipu daya, namun dalam cerita-cerita yang lebih baru, mereka mulai menunjukkan sisi bijaksana dan pelindung. Mereka digolongkan menjadi dua, yakni daitengu, roh-roh yang kuat dan arif, serta kotengu, makhluk yang lebih lemah dan sering kali dungu.

Tengu memiliki hubungan yang rumit dengan agama Buddha. Sebagian dari mereka sangat membenci biksu dan pendeta, melakukan penculikan, merusak biara, bahkan membunuh pemuka agama. Di sisi lain, ada pula Tengu yang justru melindungi dan mendukung para biksu, bahkan hidup berdampingan dalam keharmonisan spiritual.

Selain itu, banyak dari mereka merupakan pecinta perang yang ulung dalam bela diri dan memiliki niat untuk menyebarkan kemampuan bertarung kepada manusia. Ada yang melakukannya demi tujuan mulia, namun ada pula yang hanya ingin menebar kekacauan dan perpecahan. Di atas semua itu, Tengu adalah makhluk yang sangat dekat dengan alam. Mereka menghuni gunung dan hutan, dan mempertahankan wilayah mereka dengan kejam. Bahkan memetik selembar daun dari wilayah mereka dapat memicu kemarahan besar.

Sebagai roh dengan kekuatan luar biasa, Tengu memiliki kemampuan magis yang mencengangkan. Mereka mampu berubah wujud menjadi manusia, terutama tokoh-tokoh religius seperti pendeta atau bahkan Buddha sendiri untuk menyebarkan pesan palsu. Mereka juga dapat merasuki manusia, sering kali wanita muda, sebagai cara untuk menggoda dan menjatuhkan para biksu pemula.

Keahlian bela diri mereka dipadukan dengan sihir yang mematikan, dan kemampuan mereka untuk terbang memberi mereka keunggulan dalam pertempuran. Mereka bisa berubah menjadi burung pipit untuk menghindari serangan musuh, dan tidak jarang mengendalikan cuaca, membangkitkan badai, hujan es, petir, bahkan kebakaran untuk menghancurkan bangunan suci dalam sekejap.

Seiring berkembangnya waktu, para sarjana Buddha mencoba menelusuri asal usul dan mengklasifikasikan Tengu. Dalam teks awal, mereka disebut sebagai “Tiangou”, dan memiliki karakteristik anjing hitam atau meteor yang diyakini menyebabkan gerhana. Namun lambat laun, identitas Tiangou bercabang. Tengu berkembang menjadi roh burung, dan Tiangou tetap dalam bentuk anjing surgawi.

Tidak hanya itu, legenda Tengu juga kemungkinan dipengaruhi oleh makhluk mitologis lain seperti huli jing, si rubah surgawi dari Cina, dan Garuda, dewa Hindu yang kemudian diadaptasi dalam Buddhisme sebagai ras burung pembenci pendeta. Beberapa filsuf Jepang abad ke-13 bahkan meyakini bahwa Tengu adalah roh orang mati, terutama mereka yang sombong, marah, atau terlalu kuat dalam hidupnya. Para pendeta yang penuh kebajikan juga bisa bereinkarnasi menjadi Tengu.

Cerita-cerita rakyat tentang Tengu begitu kaya dan beragam. Salah satu yang paling populer adalah kisah tentang anak kecil yang menipu seekor Tengu dengan tongkat bambu berlubang. Tengu yang tertarik dengan permainan si anak, menukar tongkat itu dengan jubah tembus pandang. Dalam kisah lain, seorang penjudi berhasil mengecoh Tengu dengan mengatakan bahwa ia takut akan emas, sehingga Tengu justru menghujaninya dengan emas dan kue beras. Cerita-cerita ini menunjukkan sisi polos dan mudah tertipu dari sebagian Tengu, walaupun di sisi lain, mereka juga bisa menjadi pemimpin biara yang penuh mukjizat atau guru bela diri legendaris, seperti yang terjadi dalam kisah Minamoto no Yoshitsune yang dilatih oleh seorang Tengu.

Hari ini, Tengu masih hidup dalam bayangan kebudayaan Jepang. Mereka kembali ke bentuk visual yang kaya dalam manga dan seni modern, menjadi tokoh yang menarik karena kekuatan dan misterinya. Tidak hanya itu, sejumlah kecil sekte masih menyembah Tengu, seperti Soujoubou dari Kurama, Taroubou dari Atago, dan Jiroubou dari Hira.

Para pengikut mereka memberikan persembahan dan doa di kuil-kuil pegunungan, tempat Tengu dipercaya tinggal. Festival juga kadang diadakan untuk menghormati mereka, menjaga ikatan manusia dengan roh-roh yang dahulu memenuhi hutan dan gunung Jepang dengan kehadiran mistisnya. [UN]