Ilustrasi Quarter Life Crisis (Foto: freepik.com)
Ilustrasi Quarter Life Crisis (Foto: freepik.com)

Opini, Koran Sulindo – Quarter life crisis (QLC) adalah fenomena yang semakin sering terdengar di kalangan anak muda saat ini, terutama di usia 18–30 tahun. Masa-masa ini menjadi periode krusial di mana seseorang mulai dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam hidup, seperti pekerjaan, percintaan, relasi sosial, dan karier.

Mereka mulai merasakan kebingungan tentang arah hidup, muncul pertanyaan besar tentang masa depan, dan bahkan mulai meragukan eksistensi diri. Namun, di era digital yang penuh dengan media sosial, tantangan ini justru semakin diperburuk.

Media sosial telah menjadi pemicu utama yang mempengaruhi persepsi hidup seseorang, menciptakan ilusi yang tidak realistis, serta menambah kecemasan akan kehidupan pribadi.

Media Sosial: Cermin Ilusi dan Standar Tak Tercapai

Media sosial kerap menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Ketika seorang individu membuka Instagram, Facebook, atau TikTok, yang sering terlihat adalah orang-orang yang tampak selalu bahagia, memiliki pekerjaan impian, liburan mewah, dan hubungan percintaan yang harmonis.

Bagi seseorang yang sedang mengalami quarter life crisis, pemandangan semacam ini bisa menjadi tekanan besar. Mereka mulai membandingkan kehidupan mereka yang penuh dengan ketidakpastian dengan kehidupan “sempurna” yang ditampilkan di layar ponsel.

Hal inilah yang sering memicu kecemasan. Saat seseorang belum berhasil meraih impiannya, melihat teman-teman sebaya yang sudah “sukses” di media sosial bisa memunculkan perasaan iri, ketidakcukupan, dan bahkan kegagalan.

Ini menjadi sumber kekhawatiran utama bagi banyak anak muda. Mereka terjebak dalam standar hidup yang dibentuk oleh media sosial, sebuah standar yang tidak realistis dan sering kali berlebihan. Akibatnya, mereka mulai meragukan tujuan hidup, merasa tidak memiliki arah, dan seolah-olah tertinggal jauh di belakang.

Peran Media Sosial dalam Memperburuk Quarter Life Crisis

Salah satu aspek yang membuat quarter life crisis semakin intens di era ini adalah sifat media sosial yang menonjolkan kompetisi. Dalam ruang virtual tersebut, banyak individu berusaha menunjukkan yang terbaik dari dirinya—menampilkan pencapaian dan kebahagiaan.

Meski realitas di balik unggahan tersebut sering kali jauh dari kenyataan, seseorang yang melihatnya mungkin merasa tertinggal. Fenomena ini dikenal sebagai “social comparison theory”, di mana orang secara alami membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih baik, dan akhirnya menyebabkan perasaan rendah diri.

Di sisi lain, media sosial juga memunculkan ekspektasi yang tidak realistis. Banyak anak muda yang mulai menetapkan standar hidup mereka berdasarkan apa yang mereka lihat di media sosial gaya hidup yang glamor, pekerjaan yang bergengsi, hubungan asmara yang sempurna.

Kenyataannya, kebanyakan dari unggahan ini hanyalah fragmen kecil dari kehidupan seseorang yang disusun dengan cermat untuk terlihat sempurna. Namun, ketika standar hidup tersebut gagal dicapai, muncul rasa ketidakpuasan dan kegelisahan yang mengakar.

Menghadapi Quarter Life Crisis dengan Bijak di Era Digital

Menyadari bahwa media sosial dapat memperparah quarter life crisis adalah langkah awal yang penting. Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi QLC di era digital:

1. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Salah satu solusi paling mendasar adalah menyadari bahwa membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di media sosial hanyalah sebuah perangkap. Alih-alih fokus pada kehidupan orang lain, lebih baik berkonsentrasi pada perjalanan pribadi. Setiap orang memiliki waktu dan jalan yang berbeda untuk mencapai tujuan mereka.

2. Kurangi Konsumsi Media Sosial
Mengurangi penggunaan media sosial dapat memberikan ruang bagi seseorang untuk lebih fokus pada diri sendiri tanpa terpengaruh oleh gambaran-gambaran ilusi di media sosial.
Mengisi waktu dengan aktivitas yang positif seperti membaca, berolahraga, atau mengembangkan keterampilan baru dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri.

3. Ubah Keraguan Menjadi Tindakan
Quarter life crisis sering kali muncul karena rasa ragu akan masa depan. Namun, daripada terjebak dalam kecemasan, mulailah mengambil langkah kecil untuk menemukan solusi. Misalnya, jika tidak yakin dengan karier, cobalah menjelajahi opsi baru atau mengambil kursus online yang bisa membuka peluang baru.

4. Fokus pada Pertumbuhan Diri, Bukan Pencapaian Orang Lain
Alih-alih terjebak dalam perbandingan, lebih baik fokus pada perkembangan diri sendiri. Tentukan apa yang sebenarnya ingin dicapai dan fokuslah pada usaha kecil untuk mencapainya. Terkadang, kesuksesan bukan soal siapa yang mencapai lebih dulu, tetapi tentang bagaimana seseorang berkembang dalam prosesnya.

Quarter life crisis adalah fase alami yang dialami oleh banyak anak muda, terutama ketika mereka dihadapkan dengan tantangan besar di usia dewasa muda. Namun, di era media sosial, krisis ini menjadi lebih kompleks.

Gambaran kehidupan sempurna yang ditampilkan di media sosial kerap menciptakan ilusi yang tidak realistis, memperparah rasa kecemasan dan ketidakpuasan. Untuk itu, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menyikapi media sosial, mengurangi perbandingan yang tidak sehat, dan fokus pada perjalanan hidup pribadi.

Hanya dengan begitu, quarter life crisis dapat dihadapi dengan lebih tenang, dan bahkan menjadi kesempatan untuk tumbuh lebih baik. [UN]