Masalah pemilihan gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) sempat menjadi perbincangan publik, isu yang berkembang gubernur bakal ditunjuk langsung oleh presiden, setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibukota. Namun Panitia Kerja RUU DKJ akhirnya memutuskan gubernur dan wakil gubernur Jakarta tetap dipilih langsung, bukan ditunjuk presiden.
Padahal, sebelumnya, mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta ini menuai perdebatan. Bahkan, sempat ditunda pembahasannya karena belum ada titik temu antara Panja RUU DKJ dari DPR dan pemerintah, seperti dalam Rapat Panja RUU DKJ pada Kamis (14/3/2024).
Pada akhirnya Pemerintah dan DPR menyepakati gubernur Jakarta tetap dipilih secara langsung lewat pemilihan kepala daerah (pilkada) meski statusnya tak lagi jadi ibu kota.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat lanjutan RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) di Badan Legislasi (Baleg) DPR, Senin (18/3). Pemerintah diwakili Sekjen Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro.
Pemerintah menyebut kepala daerah, gubernur atau wakil gubernur adalah kepala rakyat, sehingga tidak boleh ditunjuk oleh orang lain.
“Pemilihan langsung oleh rakyat harus dipertahankan dan dikonkretkan sebagai penghargaan tertinggi atas aspirasi daerah untuk memilih kepala daerahnya berdasarkan asas demokrasi,” demikian pernyataan perwakilan pemerintah yang dibacakan dalam rapat.
”Semua sama dengan berlakunya pilkada. Jadi, satu kali pemilihan, pemilik suara terbanyak adalah pemenangnya,” kata Suhajar. Jadi, satu kali pemilihan, pemilik suara terbanyak adalah pemenangnya.
Pada kesempatan itu, DPR dan pemerintah juga menyepakati untuk menghapus pilkada bisa berlangsung dua putaran. Artinya, pilkada di Jakarta bisa langsung menentukan pemenang meski tak memenuhi syarat 50 persen suara plus satu.
Ketua Panja RUU DKJ Supratman Andi Agtas, saat membuka rapat Panja RUU DKJ, mengatakan, pemerintah telah membuat usulan baru yang mana pemilihan gubernur/wakil gubernur Jakarta berbeda dengan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Artinya, pemenang pilkada Jakarta tidak harus 50 persen plus satu, melainkan peraih suara terbanyak.
“Di UU DKI sekarang, pemenang pilkada itu sama dengan pemenang pilpres, 50 plus satu. Sekarang di usulan pemerintah tidak menyebut 50 plus satu, itu artinya sama dengan pilkada yang lain. Suara terbanyak,” kata Ketua Baleg DPR Supratman.
Menurut Supratman, usulan baru pemerintah itu masuk akal karena sudah mempertimbangkan sejumlah hal. Pertama, menyangkut pembelahan di masyarakat. Pembelahan akan bisa diminimalisasi jika pilkada tidak berlangsung dua putaran. Kedua, pembiayaan pilkada pun akan jauh lebih bisa ditekan.
”Kalau sampai dua putaran, seperti yang terjadi pada Pilkada 2017, kan, dua putaran. Sekarang konsekuensinya, siapa yang pemenang (peraih suara terbanyak), langsung selesai. Begitu, ya, pemerintah? Silakan dijelaskan,” ucap Supratman.
Saat ini, pembahasan RUU DKJ tengah dikebut DPR dan pemerintah. Hal ini merupakan konsekuensi dari rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara (IKN) ke Nusantara di Kalimantan Timur.
Menurut UU IKN, RUU tentang DKI Jakarta sudah harus diubah selambat-lambatnya 15 Februari 2024. Kemudian, perpindahan ke IKN menunggu keputusan presiden. [KS]