PROFESOR DOKTOR HAJI MAHMUD YUNUS atau dalam ejaan lamanya adalah Mahmoed Joenoes, adalah seorang ulama bidang tafsir dan ahli pendidikan Islam Indonesia.
Mahmud Yunus adalah anak sulung dari tujuh bersaudara dalam keluarga petani Yunus dan Hafsyah. Ia lahir pada 10 Februari 1899 di Nagari Sungayang, berjarak 7 km dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar sekarang. Besar di tengah keluarga ibunya, Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil.
Ia dikenal pula melalui karya-karyanya meliputi sedikitnya 75 judul buku, termasuk menyusun Tafsir Qur’an Karim dan kamus Arab-Indonesia.
Kemudian melalui jabatannya di Departemen Agama, ia menginisiasi dan memperjuangkan masuknya mata pelajaran pendidikan agama dalam kurikulum nasional.
Sejak pendudukan Jepang, Yunus bekerja dalam pemerintahan membidangi masalah pendidikan Islam. Ia berjasa memasukkan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah negeri di Minangkabau.
Setelah kemerdekaan, ia meneruskan upaya yang sama untuk diberlakukan di Sumatera dan disetujui pada 1947. Mata pelajaran agama diadopsi dalam kurikulum nasional sejak 20 Januari 1951 lewat usulannya sebagai pegawai Departemen Agama.
Yunus memulai pengalaman mengajar sejak remaja di surau dan Madras School, tempat dulunya ia mengikuti pendidikan. Ia bergabung dengan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang kelak membidani beberapa sekolah Islam dan perguruan tinggi Islam terawal di Indonesia.
Pada 1923, ia mengambil kuliah di Kairo, Mesir sebelumnya ia menunaikan ibada haji di Makkah dan pulang ke kampung halamannya pada 1931. Melalui Madras School, ia memperkenalkan penjenjangan madrasah yang dipakai Indonesia saat ini. Pada 1932, ia mencurahkan waktu mengajar di Padang, membuka Normal Islam School, dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.
Mengubah Pola Pengajaran
Mahmoed sebenarnya merasa gelisah dengan sistem pengajaran bahasa Arab di sekolah yang ia pimpin. Saat itu, pola pengajarannya adalah guru aktif membaca dan menjelaskan, sementara murid hanya mendengarkan dan mencatat. Model seperti ini menurutnya membuat daya kritis para murid tidak terangsang. Baginya, penguasaan bahasa Arab tak hanya untuk memahami kitab-kitab berbahasa Arab, tetapi juga harus mampu dipakai untuk membaca, bercakap-cakap, dan menuliskannya kembali.
Atas metode yang ia terapkan, Mahmoed dikenal sebagai peletak dasar pengajaran baru bahasa Arab. Di Madras School, ia bereksperimen menerapkan buah pikirnya dengan mendorong para murid untuk memakai bahasa Arab dalam pergaulan sehari-hari. Hasilnya, dalam waktu lima tahun para murid telah mahir berbahasa Arab dan bahkan mampu menjadi guru untuk murid-murid lainnya.
Pada 1919, ia diutus untuk menghadiri rapat besar para ulama di seluruh Minangkabau mewakili Thaib Umar. Yudi Latief dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20 (2012) mencatat, rapat besar itu menyatukan seluruh surau kaum pembaharu Islam dan membentuk sebuah jaringan luas madrasah yang sama-sama memiliki dasar ideologi reformis-modernis. Rapat itu melahirkan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Mahmoed menjadi salah satu anggotanya.
Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (2005) menyebutkan, sedari mahasiswa, Mahmoed tak pernah terkait dengan pergerakan politik. Perhatiannya fokus pada peningkatan mutu sekolah-sekolah agama modernis di Sumatera Barat. Pemikiran dan tindakan Mahmoed yang lurus pada garis pendidikan banyak membuahkan karya-karya besar. [S21]