Suka atau tidak negeri ini sudah ingar-bingar dengan pilpres 2024. Publik, media lama dan baru (medsos), lembaga-lembaga survei, partai dan politisi sudah mengambil ancang-ancang menyambut 2024. Ingar-bingar tersebut terfokus pada siapa saja capres yang dijagokan untuk memimpin Indonesia 2024-2029.
Mereka sudah barang tentu memiliki kemampuan mengelola negeri besar ini, berasal dari berbagai latar belakang yang lebih dari memadai, dan, yang paling penting, mempunyai dana berlimpah untuk memenangi pilpres. Mereka capres-capres modern yang pasti akan berupaya memperkuat Indonesia sebagai kekuatan politik dan ekonomi yang makin disegani.
Mereka tentu tidak akan terjebak ke dalam kultur politik Mataram circa abad ke-16 sampai ke-19. Dosen FISIP-UI, Soemarsaid Moertono (1922-1987), dalam karya klasik State and Statecraft in Old Java (1968) menulis kegemaran raja-raja Mataram pada konsep-konsep magis-religius (macigo-religious). Semua yang berbau magis-agama jadi sumber primer dalam penerapan otoritas, sekaligus penegakan wibawa serta pelestarian integritas kerajaan.
Presiden-presiden percaya konsep magis-religius, misalnya dengan mengoleksi pusaka. Tak hanya itu, presiden-presiden menggunakan jargon-jargon modern yang berbau mistis seperti “revolusi belum selesai”, “rela berkorban demi pembangunan”.
Konsep magis-agama bentuknya konkret. Babad Tanah Jawi mencatat ucapan Tumenggung Jayengrana di Surabaya tentang Sunan Amangkurat III yang kelimpungan diserbu Pangeran Puger: “Sang raja kehilangan cahaya, wajahnya pucat seperti orang sakit perut.”
Wajah pucat artinya mandat raja telah dicabut. Mandat yang diwangsitkan dari “makro-kosmos” bentuknya mungkin sinar biru atau tombak sakti mandraguna.
Terbetik berita tentang presiden yang kehilangan sinar biru itu setelah anggota keluarganya tutup usia. Tongkat komando Bung Karno konon sama ampuhnya dengan pedang milik Raja Arthur, tokoh fiktif pendiri Kerajaan Inggris.
Raja merupakan penguasa “mikro-kosmos” atau, kasarnya, “wakil Sang Pencipta di Bumi”. Ia wajib menjaga keteraturan yang mendominasi kehidupan alam jagat ini.
Tak heran presiden-presiden cenderung bertindak seperti demigod (manusia setengah dewa) yang antikritik. Mereka pandai berbicara tentang demokrasi, tetapi sebenarnya otoriter.
Bung Karno mengenalkan Demokrasi Terpimpin, Pak Harto Demokrasi Pancasila. Kenyataannya, mereka memenjarakan teman-teman seperjuangannya sendiri atau membredel media massa.
Keteraturan yang dimaksud misalnya siang berganti malam atau siklus takdir (lahir, tumbuh, dan mati). Raja tak berhak menggugat keteraturan itu, justru bertanggungjawab atas terciptanya “toto” dan “tentrem” di jagat raya itu.
Itulah sebabnya sikap politik raja-raja Mataram umumnya konservatif dan tradisionalistis. Sejarah memperlihatkan cuma Gus Dur dan Jokowi yang mencerminkan kepemimpinan presiden yang demokratis dan merakyat.
Hubungan mikro-kosmos dengan makro-kosmos mesti harmonis. Pertama, konsep harmoni mengisyaratkan setiap orang maupun benda berada di tempatnya masing-masing.
Kedua, tak ada ruang untuk melakukan penyesuaian, baik secara sukarela maupun paksa. Jagat raya merupakan makro-kosmos yang diatur oleh hukum-hukum alam yang keras dan tegas.
Penyimpangan terhadap harmoni ini menyebabkan jagat raya bereaksi melalui bencana-bencana alam. Oleh sebab itu, raja maupun “kawula” (rakyat) dengan mati-matian, dengan rasa taat dan patuh, bekerja bersama-sama menjaga keberlangsungan harmoni yang sempurna.
Harmoni yang sempurna bukan hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat “kelangitan”. Harmoni yang sempurna- dalam istilah Pak Soemarsono- adalah yang berhubungan dengan sphere of life (lingkungan kehidupan) manusia.
Pemerintah belum bekerja jika ia tak mendorong terbangunnya rasa tenteram (tentrem) atau kedamaian hati. Pemerintah dinilai gagal andai belum berhasil membuat tata (toto) kehidupan seperti ketersediaan beras atau penanggulangan bencana.
Mungkin Bung Karno dan Pak Harto mendatangkan ketenteraman dengan cara masing- masing. Bung Karno, misalnya, melalui proklamasi memerdekakan bangsa dan negara Indonesia-bukan lagi Mataram.
Pak Harto mendatangkan ketenteraman lewat pembangunan ekonomi. Namun, toto-tentrem yang dinikmati rakyat hancur lebur menyusul terjadinya Gerakan 30 September 1965.
Mengapa? Sebab sang pemenang menyebut dirinya dengan “Orde Baru”. Orde berasal dari kata dalam bahasa Inggris, “order” yang artinya toto tadi.
Mereka merasa “baru”, yang kalah adalah “Orde Lama” yang layak ditumpas habis. Kebiasaan membusungkan dada karena merasa telah jadi pemenang muncul kembali saat Orde Baru dikalahkan Orde Reformasi.
Sejarah akan berulang karena raja, mahapatih, patih, dan punakawan kesengsem pada “sindrom Mataram” yang menghalalkan tumpahnya darah dalam pergantian orde.
Di lain pihak, presiden-presiden mendambakan peranan raja dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis Empu Prapanca tahun 1365. Kitab ini bercerita tentang kepemimpinan Raja Majapahit yang didampingi Patih Gajah Mada, yang luhur budi pekertinya.
Raja menjalankan konsep mukti, yakni kesediaannya mengulurkan kasih dan materi kepada rakyat yang membalas dengan bhakti. Hayam Wuruk raja yang dekat dan tak segan berbicara dengan rakyat jelata. Capres seperti Hayam Wuruk ini yang kita inginkan agar terpilih tahun 2024.