Koran Sulindo – Agama dan Pancasila merupakan dua hal yang sama sekali tidak bertentangan karena nilai-nilai agama diejawantahkan dalam sisa-sila Pancasila. Hal inilah yang mengemuka dalam  Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) pada sesi yang mengambil  tema “Budaya Berkemajuan: Revitalisasi Karakter: Aktualisasi Agama dan Pancasila dalam Identitas Keindonesiaan” yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa kemarin (24/5). Tampil sebagai pembicara adalah Frans Magnis Suseno, Prof Dr Amin Abdullah, Prof Dr Chamamah Soeratno, dan Prof Dr Syafiq Mughni.

“Agama dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dan nilai agama diejawantahkan dalam Pancasila, di mana sila-sila yang ada itu sebetulnya nilai agama yang mendasari. Muhammadiyah komitmen terhadap kedua hal itu,” kata Syafiq Mughni.

Hal senada juga dilontarkan Amin Abdullah. Dalam pandangannya, pemikiran politik keislaman di Indonesia penting untuk terus dikembangkan agar agama dan Pancasila dapat berjalan berbarengan untuk menangkal pergolakan seperti fenomena Arab Spring yang melanda negara-negara Timur Tengah. Di samping itu, lanjutnya, Islam di Indonesia memiliki korelasi kultural dengan Pancasila yang membuat pemikiran politik keislaman di Indonesia lebih mudah diterapkan.

“Pemikiran politik keislaman sangat sulit dikembangkan di negara Timur Tengah. Indonesia dengan Pancasila dapat mengembangkan pemikiran tersebut lebih mudah melihat kultur di Indonesia. Pemikiran tersebut penting untuk menangkal Arab Spring masuk ke Indonesia. Tantangannya sekarang adalah kompleksitas antara agama dan pluralitas di Indonesia,” tutur Amin Abdullah.

Sementara itu, Romo Magnis menyatakan, Islam tidak bisa lepas dari kebangkitan nasional. Hal yang digarisbawahi dari kebangkitan Islam itu pula, menurut Romo Magnis, merupakan sumbangan yang luar biasa ketika para tokoh Islam tidak mengkhususkan posisi Islam dalam konstitusi dan dasar negara. Karena itu, kebangkitan Islam adalah bagian dari kebangkitan nasional dengan adanya Budi Oetomo, Syarikat Islam, dan Muhammadiyah. “Hebatnya, mereka tidak mengkhususkan posisi Islam dalam ideologi dan dasar negara. Itu merupakan sumbangan yang luar biasa,” ungkap Romo Magnis.

Romo Magnis lantas membandingkan antara Indonesia tahun 1998 dan Mesir tahun 2010 yang sama-sama mengalami  democratic spring. Dikatakan, Mesir gagal menjalankan demokrasi, sementara Indonesia berhasil menjalankan demokrasi beringingan dengan Islam lewat tokoh-tokoh Islam seperti BJ Habibie, Amien Rais, dan Gus Dur.

Sementara itu, secara terpisah, KH Hasyim Muzadi mengajak Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk bekerja sama mewujudkan cita-cita pendiri bangsa. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, katanya, perlu  bersinergi untuk membendung komunisme dengan menguatkan pagar politik, agama, dan membantu meningkatkan serta menyetarakan kesejahteraan bangsa. “Problemnya adalah, pergerakan komunisme menyusup dengan memanfaatkan keadaan negara yang tidak stabil. Seperti pecahnya kabinet, itu merupakan bukti bahwa mereka masih punya kekuatan,” kata Hasyim.

Hasyim melihat, ketidakstabilan perpolitikan Indonesia menjadi salah satu celah kembalinya ideologi komunis. Kondisi yang dialami Indonesia saat ini adalah politik digunakan sebagai manuver yang sengaja diciptakan untuk menarik perhatian dan sekedar demi kepentingan. Indonesia kehilangan pemimpin dan yang ada hanya pejabat. “Untuk menjadi pejabat butuh kendaraan partai politik, untuk menang dalam kontes politik butuh menggunakan manuver agar mendapat perhatian publik,” tuturnya. Karena itu, menurut Hasyim, untuk membendung ajaran atheisme, Muhammadiyah dan Nahdaltul Ulama sebagai organisasi masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam perlu memberikan pendidikan agama lebih mendalam. [YUK]