Koran Sulindo – Irak tak berniat mengikuti kemauan Amerika dan memilih jalan sendiri terhadap sanksi yang diberlakukan Washington kepada Teheran.
Irak memiliki waktu tambahan 90 hari untuk memberlakukan sanksi dagang kepada Iran sejak pemberlakuannya 20 Desember lalu.
Menteri Luar Negeri Irak Mohammed Ali al-Hakim kepada wartawan mengatakan Baghdad akan mengusahakan kebijakan mereka sendiri mengenai Iran jika waktu tambahan tak diperpanjang.
“Sanksi-sanksi ini, pengepungan, atau apa yang disebut embargo dikenakan oleh AS adalah unilateral, bukan internasional, dan Irak tidak wajib mengikuti mereka,” kata al-Hakim.
Jika benar yang dikatakan al-Hakim, sikap itu bakal menjadi langkah besar bagi Baghdad menghadapi tekanan Washington agar mereka memiliki ‘energi mandiri’ dengan bantuan perusahaan AS mengeksploitasi sumber daya minyak dan gas.
Sebaliknya, seperti yang dikatakan al-Hakim, Irak lebih suka memilih opsi energi mereka sendiri, termasuk melanjutkan perdagangan tahunan US$12 miliar antara Irak dan Iran yang memicu keberatan AS.
Mengabaikan keberatan itu, di sisi lain di Baghdad berkembang diskusi mengenai upaya meningkatan perdagangan antara Baghdad dan Teheran.
Presiden Irak Barham Salih dan Presiden Irannya Hassan Rouhani dalam pertemuan baru-baru ini justru berniat menggandakan nilai perdagangan itu dari US$ 12 miliar setahun menjadi US$ 20 miliar.
Hakim juga meyakinkan Irak sudah memikirkan ‘solusi’ untuk mentralkan ancaman AS terhadap peningkatan perdagangan dengan Iran. Ia menyebut beberapa opsi terbuka bagi Irak termasuk, “termasuk penggunaan dinar Irak dalam perdagangan bilateral sebagai alternatif dari dolar AS.”
Penentangan Irak pada sanksi AS tersebut adalah tanda lain dari kemerdekaan Baghdad terhadap Washington.
Tanda lain bahwa AS kehilangan cengkeramannya di Baghdad juga nampak jelas pekan lalu ketika, setelah Tump melakukan kunjungan mendadak ke pasukan AS di Irak yang memicu kemarahan politisi domestik.
Banyak di antara pemimpin Irak itu menyebut kunjungan kejutan Trump ke negara mereka sebagai pelanggaran kedaulatan sekaligus mengarah pada reaksi yang lebih luas dengan menuntut diakhirinya kehadiran militer AS di Irak.
Bahkan, sekutu AS dan faksi utama pendukung pendudukan NATO, mantan Perdana Menteri Haider al-Abadi menolak ‘metode’ kunjungan Trump itu dengan mengatakan “itu tidak sesuai dengan kebiasaan diplomatik dan hubungan dengan negara-negara berdaulat.”
Penghinaan terhadap Irak itu juga memicu gelombang protes anggota parlemen Irak yang menuntut lebih dari sekadar permintaan maaf dan mengatakan pemerintah Irak akan membuat “keputusan parlemen untuk mengusir pasukan AS.”
Seperti diketahui pada Malam Natal, 25 Desember, Trump dan istrinya Melania meninggalkan kenyamanan Gedung Putih, naik Air Force One dan dalam semalam terbang 6.000 kilometer ke Irak.
Mengenakan jaket bomber, Trump tampaknya cocok gaya-gaya militerisme saat berada di Irak. “Kami menang melawan teroris, kan,” katanya kepada pasukan.
Media AS menggambarkan perjalanan itu sebagai kejutan atau diselimuti kerahasiaan. Terlalu rahasianya, bahkan pemerintah Irak tak diberitahu sebelum kedatangan Trump.
Pertemuan terburu-buru diusulkan dengan Perdana Menteri Irak Adel Abdul-Mahdi batal terwujud karena Irak diberi pemberitahuan hanya beberapa jam sebelum presiden AS mendarat.
Total, Trump dan seluruh delegasinya itu menghabiskan waktu hanya 3jam 15 menit di Irak. Ia dilaporkan berbicara dengan pasukan AS di Pangkalan Udara Al-Asad, yang terletak dekat ibukota Baghdad.
Trump segera terbang kembali ke Washington, berhenti sebentar mengisi bahan bakar di Jerman.
Rumor yang beredar kunjungan Trump adalah peristiwa ad hoc yang tergesa dan dilakukan secara mendadak, sebagai reaksi atas siklus berita selama seminggu terakhir.
Harian New York Times menulis, “Perjalanan, terselubung dalam kerahasiaan, datang kurang dari seminggu setelah Trump mengganggu status quo militer dan membuat marah beberapa sekutu politiknya ketika mengumumkan rencana menarik semua pasukan dari Suriah dan sekitar setengah dari Afghanistan. Keputusan presiden di Suriah menyebabkan pengunduran diri Menteri Pertahanan Jim Mattis.”
Pengunduran diri Mattis yang diikuti pejabat senior Pentagon lainnya, Brett McGurk sekaligus menunjukkan bahwa ada tekanan balik serius dari militer pada perintah Trump menarik tentara AS dari Suriah dan Afghanistan.[TGU]