Koran Sulindo – Sementara proses denuklirisasi di Semenanjung Korea mulai membeku, gagalnya pendekatan model Presiden Donald Trump makin jelas meyolok setiap hari.
Saat ini atmosfir di Semenanjung Korea kembali seperti di era sebelum Perang Korea dengan Pyongyang kini memiliki rudal balistik antar benua dan diperburuk dengan lebarnya ‘kesenjangan’ antara Seoul dan Washington.
Kondisi ini jelas rentan bagi mereka yang putus asa baik di Pyongyang maupun Gedung Putih dan mulai menghancurkan upaya perdamaian Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan.
Sementara, keputusan Trump memutuskan secara sepihak perjanjian nuklir AS dengan Iran jelas merongrong kredibilitas Washington, bahkan ketika mereka berusaha mencapai kesepakatan baru dengan Pyongyang mengenai masalah serupa.
Di sisi AS, dengan diplomat-diplomatnya tak cukup tuntas mengerjakan ‘pekerjaan rumah’ untuk mempersiapkan KTT Singapura Juni 2018. Akhirnya, ketika para pemimpin AS gagal membuat prioritas dan mereka justru membiarkan perdagangan mendominasi agenda Cina, sementara peretasan dan Suriah mendominasi agenda Rusia.
Akibatnya, baik Beijing maupun Moskow tidak fokus apalagi insentif, untuk membujuk dan merayu Pyongyang membuat keputusan sulit tentang denuklirisasi.
Sebeneranya tak semua benar-benar hilang, atau setidaknya belum. Beberapa kedip kecil harapan baru-baru ini dilaporkan South China Morning Post. Dalam artikel itu, ditunjukkan bahwa perdagangan bilateral antara Pyongyang-Beijing menurun lebih dari 50 persen selama tahun 2018.
Jumlah itu menjadi angka menakjubkan, mengingat penurunan perdagangan pada tahun 2017 hanya menyentuh 10,5 persen.
Tanda-tanda itu jelas mengindikasikan bahwa Beijing tak hanya mematuhi sanksi PBB pada Pyongyang namun secara substansial juga meningkatkan tekanan mereka pada tetangganya itu.
Hebatnya, semua itu bahkan dilakukan Beijing ketika secara bersamaan menjadi tuan rumah dua kali kunjungan Kim Jung- selama 2018. Ini bisa menjadi versi terbaru dari strategi “membuat yang sulit makin sulit dan yang lunak semakin lunak” dalam strategi Cina.
Sebuah studi Cina yang dimuat dalam jurnal Contemporary Korea yang diterbitkan Akademi Ilmu Sosial Tiongkok pertengahan 2018 dan ditulis dua sarjana muda Cina, Wang Xingxing dan Niu Xiao yang memiliki pengalaman luas di Pyongyang.
Pemikir muda seperti mereka inilah yang sanggup membedah rumitnya pemikiran Cina dan Korea baik selatan maupun utara dan menggagas inovasi geopolitik baru.
Mereka inilah yang menyerukan China dalam sebuah kalimat untuk merangkul “perspektif baru, metode baru, pemikiran baru dan kerja sama baru” untuk mengatasi situasi yang berkembang di kawasan.
Dalam uraian itu konteks global dan regional dijelaskan Wang dan Niu di mana kesenjangan kemampuan AS dan Cina makin menyempit. Menurut mereka, terdapat masalah utama yakni “kemampuan dan kemauan AS untuk menyediakan barang-barang publik untuk pembangunan dunia menurun.”
Di sini, tak hanya tak hanya melihat peran Tiongkok dalam urusan globali yang meningkat, tapi mereka juga melihat kecenderungan konsepsi keamanan “geo-ekonomi”. Mereka menjelaskan tren pertumbuhan “bipolarisasi” itu akan berdampak pada situasi di Semenanjung Korea.
Dengan jeli mereka memperhatikan Kim Jong-un telah mengubah pendekatan internasionalnya demi keuntungan Pyongyang ketika berhasil mencapai “terobosan teknologi bom hidrogen dan miniaturisasi senjata nuklir”. Itu termasuk bahwa telah Pyongyang telah “berkali-kali menunjukkan mobilitas kemampuan berbasis darat” untuk arsenalnya.
Sementara masih terdapat beberapa kendala teknis, kedua analis itu menyimpulkan bahwa Pyongyang pada prinsipnya berhasil mencapai “memiliki kemampuan pencegahan tertentu terhadap AS.”
Dalam analisa itu, mereka juga tak menunjukkan sikap optimismnya mengenai ide denuklirisasi. Bagi mereka, “tujuan mendasar Korea Utara memiliki persenjataan nuklir adalah untuk bertahan hidup” sedemikian rupa sehingga “memiliki senjata nuklir berarti mengamankan kehidupan dan denuklirisasi berarti kematian.”
Selain menggunakan ‘nuklir’ untuk bertahan hidup, menurut mereka Pyongyang juga menyeret alasan lain termasuk prestise, politik internal, dan sekaligus fakta bahwa kekuatan ‘militer konvensional ‘ Pyonyang jelas tidak memadahi.
Tak sepenuhnya pesimistis, analis China itu juga memberikan ruang cukup untuk membahas diplomasi inovatif Moon yang menganggap aliansi Washington-Seoul mungkin berbeda dibanding pendahulunya. Lagi pula. “kampanye perdamaian” ala Moon dengan tegas akan “tidak mengizinkan Semenanjung Korea meletus dalam perang.”
Di sisi lain, pandangan China kepada motif AS jelas-jelas cukup skeptis. Menurut mereka “AS tidak dapat membayangkan Semenanjung Korea tanpa masalah nuklir Korea Utara” sekaligus menganggap AS mau tak mau harus menyelesaikan masalah Korea Utara.
Dengan mencatat bahwa Beijing menerapkan sanksi PBB secara ketat pada Pyongyang, tapi tak mendapatkan apapun, sebagai gantinya mereka menganjurkan Washington menerapkan “platform kerja sama baru” dengan Pyongyang.
Menurut mereka, orang Amerika jelas salah karena bersikeras mencoba melakukan negosiasi “menyelesaikan seluruh tugas dengan satu langkah”[TGU]



![Apakah Rasa Takut Israel Membenarkan Perangnya dengan Iran? Pada dini hari tanggal 13 Juni, Israel melancarkan serangan "preemptif" terhadap Iran. Ledakan mengguncang berbagai bagian negara itu. Di antara targetnya adalah situs nuklir di Natanz dan Fordo, pangkalan militer, laboratorium penelitian, dan tempat tinggal militer senior. Pada akhir operasi, Israel telah menewaskan sedikitnya 974 orang sementara serangan rudal Iran sebagai balasan telah menewaskan 28 orang di Israel. Israel menggambarkan tindakannya sebagai pertahanan diri antisipasi, dengan mengklaim Iran hanya tinggal beberapa minggu lagi untuk memproduksi senjata nuklir yang berfungsi. Namun penilaian intelijen, termasuk oleh sekutu Israel, Amerika Serikat, dan laporan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak menunjukkan bukti Teheran sedang mengejar senjata nuklir. Pada saat yang sama, diplomat Iran sedang berunding dengan mitra AS untuk kemungkinan kesepakatan nuklir baru. Namun, di luar analisis militer dan geopolitik, muncul pertanyaan etika serius: apakah secara moral dapat dibenarkan untuk melancarkan serangan yang menghancurkan tersebut bukan berdasarkan apa yang telah dilakukan suatu negara, tetapi berdasarkan apa yang mungkin dilakukannya di masa mendatang? Preseden apa yang ditetapkan oleh hal ini bagi seluruh dunia? Dan siapa yang dapat memutuskan kapan rasa takut cukup untuk membenarkan perang? Pertaruhan Moral yang Berbahaya Hossein Dabbagh, seorang asisten profesor filsafat di Northeastern University London, mengemukakan pandangannya untuk Al Jazeera. Para ahli etika dan pengacara internasional menarik garis kritis antara perang preemptif dan preventif. Preemptif menanggapi ancaman yang akan segera terjadi—serangan langsung. Perang preventif menyerang kemungkinan ancaman di masa mendatang. Hanya yang pertama memenuhi kriteria moral yang berakar pada karya-karya filosofis para pemikir seperti Augustine dan Aquinas, dan ditegaskan kembali oleh para ahli teori modern seperti Michael Walzer—menggemakan apa yang disebut rumus Caroline, yang mengizinkan kekuatan preemptif hanya ketika ancaman itu "seketika, sangat kuat, dan tidak memberikan pilihan, dan tidak ada waktu untuk pertimbangan". Namun, serangan Israel gagal dalam ujian ini. Kemampuan nuklir Iran baru akan rampung dalam beberapa minggu. Diplomasi belum sepenuhnya dilakukan. Dan kehancuran yang mungkin terjadi—termasuk dampak radioaktif dari ruang sentrifus—jauh melampaui kebutuhan militer. Hukum tersebut mencerminkan batasan moral. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekerasan, dengan satu-satunya pengecualian dalam Pasal 51, yang mengizinkan pembelaan diri setelah serangan bersenjata. Seruan Israel untuk pembelaan diri antisipasi bergantung pada kebiasaan hukum yang diperdebatkan, bukan hukum perjanjian yang diterima. Para ahli PBB menyebut serangan Israel sebagai "tindakan agresi terang-terangan" yang melanggar norma jus cogens. Pengecualian yang mahal seperti itu berisiko merusak tatanan hukum internasional. Jika satu negara dapat secara kredibel mengklaim tindakan pencegahan, negara lain juga akan melakukannya—mulai dari China yang bereaksi terhadap patroli di dekat Taiwan, hingga Pakistan yang bereaksi terhadap sikap India—yang mana akan merusak stabilitas global. Para pembela Israel menanggapi bahwa ancaman eksistensial membenarkan tindakan drastis. Para pemimpin Iran memiliki sejarah retorika yang bermusuhan terhadap Israel dan secara konsisten mendukung kelompok-kelompok bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berpendapat bahwa ketika keberadaan suatu negara terancam, hukum internasional kesulitan untuk memberikan jawaban yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Bekas luka historis itu nyata. Namun para filsuf memperingatkan bahwa kata-kata, betapapun penuh kebencian, tidak sama dengan tindakan. Retorika berdiri terpisah dari tindakan. Jika ucapan saja membenarkan perang, negara mana pun dapat melancarkan perang preemptif berdasarkan retorika kebencian. Kita berisiko memasuki "keadaan alamiah" global, di mana setiap momen yang menegangkan menjadi penyebab perang Teknologi Menulis Ulang Aturan Teknologi memperketat tekanan pada kehati-hatian moral. Drone dan pesawat F-35 yang digunakan dalam Rising Lion bekerja sama untuk melumpuhkan pertahanan Iran dalam hitungan menit. Negara-negara dulunya dapat mengandalkan waktu untuk berdebat, membujuk, dan mendokumentasikan. Rudal hipersonik dan drone bertenaga AI telah mengikis jendela itu—menghadirkan pilihan yang sulit: bertindak cepat atau kehilangan kesempatan. Sistem ini tidak hanya mempersingkat waktu pengambilan keputusan—tetapi juga menghilangkan batas tradisional antara masa perang dan masa damai. Ketika pengawasan drone dan sistem otonom tertanam dalam geopolitik sehari-hari, perang berisiko menjadi kondisi default, dan perdamaian menjadi pengecualian. Kita mulai hidup bukan di dunia yang penuh krisis sementara, tetapi dalam apa yang disebut filsuf Giorgio Agamben sebagai keadaan pengecualian permanen—suatu kondisi di mana keadaan darurat membenarkan penangguhan norma, bukan hanya sesekali tetapi terus-menerus. Dalam dunia seperti itu, gagasan bahwa negara harus secara terbuka membenarkan tindakan kekerasan mulai terkikis. Keunggulan taktis, yang disebut sebagai "keunggulan relatif", memanfaatkan kerangka waktu yang terkompresi ini—tetapi memperoleh kemajuan dengan mengorbankannya. Di era di mana intelijen rahasia memicu reaksi yang hampir seketika, pengawasan etika pun surut. Doktrin langkah pertama di masa depan akan lebih mengutamakan kecepatan daripada hukum, dan kejutan daripada proporsi. Jika kita kehilangan perbedaan antara perdamaian dan perang, kita berisiko kehilangan prinsip bahwa kekerasan harus selalu dibenarkan—bukan diasumsikan. Jalan Kembali ke Pengendalian Diri Tanpa perbaikan arah segera, dunia menghadapi risiko norma baru: perang sebelum akal sehat, ketakutan sebelum fakta. Piagam PBB bergantung pada kepercayaan bersama bahwa kekuatan tetaplah pengecualian. Setiap serangan yang disiarkan di televisi mengikis kepercayaan itu, yang mengarah pada perlombaan senjata dan serangan refleksif. Untuk mencegah rentetan konflik yang didorong oleh rasa takut ini, beberapa langkah penting dilakukan. Harus ada verifikasi yang transparan: Klaim tentang "ancaman yang akan segera terjadi" harus dinilai oleh entitas yang tidak memihak—pemantau IAEA, komisi penyelidikan independen—bukan dikubur dalam berkas rahasia. Diplomasi harus diutamakan: Pembicaraan, jalur belakang, sabotase, sanksi—semua harus dibuktikan habis sebelum serangan. Bukan sebagai pilihan, bukan secara retroaktif. Harus ada penilaian publik terhadap risiko sipil: Pakar lingkungan dan kesehatan harus mempertimbangkannya sebelum perencana militer menarik pelatuk. Media, akademisi, dan publik harus bersikeras bahwa ambang batas ini dipenuhi—dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Perang preemptif, dalam kasus yang jarang terjadi, dapat dibenarkan secara moral—misalnya, rudal yang disiapkan di landasan peluncuran, armada yang melintasi garis merah. Namun, standar itu memang dirancang tinggi. Serangan Israel terhadap Iran bukanlah preventif, serangan itu diluncurkan bukan untuk melawan serangan yang sedang berlangsung, tetapi untuk melawan kemungkinan yang ditakutkan. Melembagakan ketakutan itu sebagai dasar perang adalah undangan untuk konflik yang terus-menerus. Jika kita mengabaikan kehati-hatian atas nama rasa takut, kita mengabaikan batasan moral dan hukum bersama yang menyatukan umat manusia. Tradisi perang yang adil menuntut kita untuk tidak pernah memandang mereka yang mungkin menyakiti kita sebagai ancaman belaka—tetapi sebagai manusia, yang masing-masing layak untuk dipertimbangkan dengan saksama. Perang Iran-Israel lebih dari sekadar drama militer. Perang ini adalah ujian: apakah dunia masih akan mempertahankan batasan antara pembelaan diri yang dibenarkan dan agresi yang tak terkendali? Jika jawabannya tidak, maka ketakutan tidak hanya akan membunuh tentara. Ketakutan akan membunuh harapan rapuh bahwa pengendalian diri dapat membuat kita tetap hidup. [BP]](https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2025/07/Asap-mengepul-di-Teheran-180x135.jpeg)
