Koran Sulindo – Jejak kaki dan sidik jari imperialisme Amerika Serikat dengan mudah bisa ditemukan pada seluruh pemberontakan yang diproduksi di Suriah.
Ide pemberontakan itu cocok dengan tujuan akhir AS yakni destabilisasi dan pada akhirnya ‘perubahan rezim’ dengan mengobarkan perang saudara sektarian.
Seperti pernah disampaikan bekas komandan NATO Wesley Clark, Suriah masuk dalam daftar negara yang ‘harus’ digulingkan oleh AS sejak 2001. Itu ditegaskan oleh pidato John Bolton yang kala itu menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS berjudul ‘Over Axis Evil’ yang menyebut Suriah sebagai salah satu sasarannya.
Tahun 2011 ketika sebuah pemberontakan diproduksi di kota Dara’a, Suriah, media-media mainstream barat segera menunjuk warga Suriah yang putus asa bergabung dengan seruan ‘kebebasan’ untuk menuntut perubahan.
Media barat secara luas menggambarkan pemberontakan itu sebagai bagian dari ‘gerakan protes’ populer yang menuntut penggulingan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Narasi umum yang diajukan media arus utama Barat menggambarkan konflik Suriah sebagai pemberontakan rakyat.
Pada kenyataannya mereka yang mengorganisir dan menjadi pemimpin utama ‘gerakan protes’ di belakang hari terbukti sebagai pemberontak yang didukung AS.
Mereka yang terlibat dalam golongan ini juga mencakup militan asing yang dipersenjatai, dilatih dan didanai proksi AS atau NATO dengan satu-satunya tujuan akhir yakni meruntuhkan Suriah melalui perselisihan sektarianisme.
Aset-aset Ikhwanul Muslimin yang didukung CIA telah terbukti menembak polisi dan pengunjuk rasa pada hari pertama demonstrasi pertama. Sejak saat itu, CIA secara rutin mengirim ratusan miliar dolar, serta sejumlah besar senjata yang mengejutkan, kepada jihadis rekrutan yang banyak di antaranya mengalir ke Suriah dari negara-negara tetangga.
Penelitian lebih cermat dan seksama dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di di Dara’a pada Maret 2011 mengungkapkan bukti kuat dan meyakinkan tentang keterlibatan pihak luar baik secara finansial maupun secara militer.
Pada 2012, dalam sebuah wawancara dengan BBC, Anwar Al-Eshki salah seorang Jenderal Arab Saudi mengakui bahwa pemerintahnya membiayai elemen-elemen Ikhwanul Muslimin Salafi sekaligus mengirim senjata ke Masjid Al-Omari. Beberapa di antara senjata-senjata itulah yang kemudian ditemukan dan disita oleh tentara Suriah.
Elemen-elemen Salafi inilah yang kemudian menjadi tulang punggung Free Syrian Army (FSA) yang menyatakan dengan jelas tujuan mereka yakni menggulingkan Assad dari kursi kepresidenan.
Sel Salafi juga yang secara aktif meneror penduduk sipil Suriah.
Di Karak, sebuah desa di dekat Dara’a, penduduk desa dipaksa bergabung dengan protes anti-pemerintah dan membuang foto-foto Assad dari rumah mereka dengan pilihan pembunuhan bagi yang yang menolak.
“Orang-orang ingin keluar dan secara damai mendesak perubahan tertentu, tapi kelompok-kelompok Salafi dengan tujuan mereka sendiri menyelinap bukan untuk membuat perubahan dan perbaikan Suriah tapi sekaligus mengambil alih negara sesuai agenda mereka,” kata seorang pemimpin Kristen Suriah kepada International Christian Concern .
Garis waktu berikut ini menggambarkan ‘gerakan protes’ berubah menjadi ‘perang saudara’ sebagai bagian dari upaya AS dan NATO mengguncang Suriah untuk mencapai tujuan akhir mereka.
2001| Tak lama setelah insiden serangan teror 9/11, kelompok rahasia seperti yang diungkapkan Jenderal Angkatan Darat AS Wesley Clark berencana menyerang dan menghancurkan pemerintah tujuh negara dengan tujuan mengintimidasi teroris: Irak, Suriah, Lebanon, Libya Somalia, Sudan, dan Iran.
2002|Wakil Menteri Luar Negeri AS John Bolton menyatakan Suriah sebagai anggota “poros kejahatan” dan memperingatkan bahwa AS bakal mengambil tindakan terhadap negara-negara di poros itu.
2005 | Endowment Nasional untuk Demokrasi Departemen Luar Negeri AS mengorganisir dan mengimplementasikan ‘Revolusi Cedar’ di Lebanon –sebuah gerakan yang secara langsung ditujukan untuk merusak pengaruh Suriah-Iran di Lebanon dan memberi ruang lebih luas bagi proksi-proksi yang didukung Barat.
Ziad Abdel Nour, seorang partner dalam pembuat kebijakan administrasi Bush dan Komite Presiden Amerika Serikat untuk Lebanon Merdeka, mengakui hal itu saat ditanya tentang masa depan Suriah:
“Baik rezim Suriah dan Lebanon akan diubah apakah itu melalui menjadi kudeta militer atau sesuatu yang lain … dan kami sedang mengusahakannya. Kami sudah tahu persis siapa yang akan menjadi pengganti. Kami sedang mengusahakannya dengan pemerintahan Bush.”
2007 | Seymour Hersh dari New Yorker mengungkapkan bahwa AS, Israel dan Arab Saudi , serta sayap militer Ikhwanul Muslimin akan mengumpulkan, mempersenjatai, melatih dan mendanai ekstremis sektarian, banyak dari mereka memiliki hubungan langsung dengan al-Qaeda.
Tujuan utama dari ide itu adalah mengeksploitasi kesenjangan sektarian antara Sunni dan Syiah. Laporan Hersh mengindikasikan bahwa para ekstrimis akan ditempatkan secara strategis sehingga mereka dapat menyeberang ke Suriah.
2009| Brookings Institution menerbitkan laporan berjudul “Jalan Menuju Persia?” yang merinci “strategi baru Amerika untuk Iran.” Dalam laporan itu juga disebut pentingnya menetralkan pengaruh Suriah sebelum serangan terhadap Iran bisa dilakukan.
2009| Para pejabat tinggi Inggris memberi tahu mantan Menteri Luar Negeri Prancis Roland Dumas bahwa mereka tengah “mempersiapkan sesuatu di Suriah.” Dalam wawancara stasiun TV Prancis LCP, Dumas mengklaim mereka mengorganisir “invasi pemberontak” dan ‘revolusi’ dimulai saat pemberontak bersenjata menyamar sebagai pengunjuk rasa.
17 Januari 2011| Sebelum pemberontakan anti-pemerintah pecah, sebagai tanggapan terhadap tekanan rakyat pemerintah Suriah berjanji akan “meningkatkan tunjangan minyak bagi pekerja publik sebesar 72 persen atau setara dengan US$ 33 per bulan.”
Akhir Januari 2011| sebuah halaman ‘Revolusi Suriah 2011’ dibuat di Facebook dan mengumumkan bahwa protes “Day of Rage” akan diadakan pada 4 dan 5 Februari.
4-5 Februari 2011| Saatnya “Hari Kemarahan” itu tiba, protes sebagian besar berjalan lancar tanpa kekerasan.
9 Februari 2011| Pemerintah mencabut larangannya di Facebook, Youtube, dan Twitter. Larangan telah diberlakukan sejak 2007.
13 Februari 2011 | Pemerintah, melalui Dana Bantuan Sosial Nasional yang baru dibentuk, mulai menawarkan pembayaran transfer untuk membantu 420.000 keluarga termiskin di Suriah.
15 Februari 2011| Pemerintah Suriah “mengurangi bea pada berbagai bahan makanan pokok, termasuk beras, teh, susu bubuk, kopi dan pisang. Ini juga menurunkan pajak minyak nabati, margarin, kopi tanpa gula, dan gula. ”
20 Maret 2011| Sebuah gedung pengadilan dibakar di Dara’a.
Para pengunjuk rasa menerobos masuk melewati rintangan keamanan dan menuju ke markas besar Partai Baath dan simbol-simbol pemerintah lainnya. Selain markas partai, pengunjuk rasa membakar gedung pengadilan utama kota dan cabang perusahaan telepon SyriaTel, yang dimiliki oleh Rami Makhlouf sepupu presiden.
Kantor gubernur dan kantor SyriaTel lainnya juga dibakar:
Sebuah cerita halaman depan di harian Teshreen yang dikelola pemerintah pada hari Selasa, mengutio Sheik Ahmad al-Sayasina, seorang ulama Dara’a mengatakan, “Ada elemen-elemen dari luar Dara’a yang bertekad untuk membakar dan menghancurkan properti publik. Penyerang tak dikenal ini ingin merusak reputasi anak-anak Hauran.”
Ulama itu juga dilaporkan berkata, “Orang-orang Dara’a menegaskan bahwa peristiwa baru-baru ini bukan bagian dari tradisi atau kebiasaan mereka.”
Maret – Mei 2011| “Ada tanda-tanda sejak awal bahwa kelompok-kelompok bersenjata terlibat,” tulis wartawan dan penulis Robert Fisk setelah melihat rekaman “Hari-hari awal Kebangkitan’ yang memperlihatkan orang-orang dengan pistol dan Kalashnikov saat terjadi demonstrasi di Daraa.
Ia juga menceritakan sebuah peristiwa lain pada Mei 2011, ketika “seorang kru Al Jazeera memfilmkan orang-orang bersenjata yang menembak pasukan Suriah beberapa ratus meter dari perbatasan utara dengan Lebanon, tetapi saluran itu menolak untuk menyiarkan rekaman itu.”
“Bahkan para pejabat AS, yang memusuhi pemerintah Suriah dan mungkin diharapkan untuk menantang pandangan Damaskus bahwa mereka terlibat dalam perkelahian dengan pemberontak bersenjata, mengakui bahwa demonstrasi itu tidak damai dan beberapa pemrotes jelas-jelas bersenjata.”
23 Maret 2011| Setelah mengirim delegasi ke Dara’a menyelidiki peristiwa itu, Presiden Suriah Bashar al-Assad memecat gubernur yang tidak populer, Faysal Kalthum, dan memerintahkan pembebasan lima belas remaja yang ditahan karena menulis grafiti yang menampilkan slogan-slogan anti-pemerintah.
Setidaknya dua website pemrotes menyampaikan bahwa pengunjuk rasa memberikan waktu kepada pemerintah Suriah sampai pagi 25 Maret agar mereka memenuhi daftar tuntutan yang disampaikan kepada presiden oleh delegasinya. Tuntutan itu termasuk mencabut hukum darurat dan membebaskan semua tahanan politik. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka mengatakan tanggal 25 Maret bakal menjadi “Jumat para Martir” di seluruh negeri.
Tentara Suriah menyita senjata yang disimpan di masjid Al-Omari di Dara’a.
Anwar Al-Eshki, mantan jenderal Saudi dan presiden Pusat Studi Strategis di Arab Saudi, dalam sebuah wawancara mengungkapkan informasi tentang hari-hari pertama krisis Suriah dan mengkonfirmasi hubungannya dengan ‘pengunjuk rasa.
25 Maret 2011| Dari sebuah surat yang diterbitkan oleh Pastor Frans van der Lugt – di kemudian hari ia dibunuh ekstremis pada April 2014- menulis:
“Sejak awal, gerakan protes tidak murni damai. Sejak awal, saya melihat demonstran bersenjata berbaris dalam protes, mereka mulai menembaki terlebih dahulu pada polisi. Kekerasan pasukan keamanan adalah reaksi terhadap kekerasan brutal pemberontak bersenjata itu.”
Sebuah demonstrasi besar pro-Assad juga digelar di Damaskus pada 25 Maret.
Maret 2011| Wikileaks mengungkapkan fakta bahwa pengunjuk rasa “500 dari mereka akan menerima pembayaran untuk mengangkat senjata.”
Awal April 2011| Demonstrasi besar-besaran diadakan mendukung Assad dan untuk menolak ekstremis.
10 April 2011| Sembilan tentara Suriah disergap di bus dan dibunuh secara brutal. Tentara oposisi mengklaim mereka dieksekusi karena desersi dari tentara Suriah, meskipun rekaman video dari pemakaman mereka membantah klaim tersebut.
15 Juni 2011| Bendera Suriah sepanjang 2,3 km dikibarkan oleh ribuan pendukung Assad di Damaskus.
20 Juni 2011| Assad mengumumkan dialog nasional untuk memulai proses reformasi konstitusi. Salah satu tuntutan utama adalah untuk mengakhiri hak konstitusional yang diberikan kepada partai Ba’ath.
November 2011| Pendukung Assad mengadakan lebih banyak pawai terutama di kota-kota Homs dan Dara’a. Kedua kota tersebut digambarkan oleh beberapa orang sebagai ‘ibu kota’ dan ‘tempat kelahiran’ dari apa yang disebut sebagai ‘revolusi.’
26 Februari 2012| Referendum konstitusi diadakan, menanyakan kepada pemilih apakah mereka akan menyetujui perubahan baru yang diusulkan untuk Konstitusi Suriah. Delapan puluh sembilan persen pemilih memberikan suara mendukung perubahan, yang mencakup reformasi signifikan terhadap proses pemilihan presiden.
Perubahan itu menghilangkan dominasi partai Ba’ath yang dilembagakan dan memungkinkan pemilihan untuk diperebutkan di antara banyak kandidat.
7 Mei 2012| Pemilihan parlemen Suriah digelar sesuai dengan konstitusi baru untuk menentukan komposisi Dewan Rakyat yang berkapasitas 250 kursi. Pemilu melihat tingkat partisipasi 51 persen di antara pemilih.
Front Progresif Nasional, aliansi politik partai-partai Suriah yang mencakup partai Ba’ath, memenangkan 168 kursi. Koalisi oposisi partai-partai politik yang disebut Front Populer untuk Perubahan dan Pembebasan hanya memenangkan lima kursi.
21 Juni 2012| Dilaporkan bahwa CIA diam-diam memberikan senjata kepada pemberontak Suriah melalui perbatasan Turki.
Agustus 2012| Menurut dokumen Departemen Pertahanan yang dirilis oleh Judicial Watch, Barat, negara-negara Teluk dan Turki mendukung oposisi, sementara China, Rusia dan Iran mendukung rezim Assad. Dokumen itu juga menegaskan bahwa Ikhwanul Muslimin dan atau AQI Suriah yang juga dikenal sebagai al-Qaeda bertanggung jawab atas sebagian besar pemberontakan yang berlangsung di Suriah.
4 Juni 2013| Data yang diberikan kepada NATO menunjukkan bahwa 70 persen warga Suriah mendukung pemerintah yang dipimpin Assad.
3 Juni 2014| Pemilihan presiden multi-kandidat pertama di Suriah diadakan diikuti oleh tiga kandidat yakni Presiden Assad yang berkuasa, Hassan Al Nour dan Maher Al Hajjar. Assad menang dengan 88,7 persen suara.[TGU]