Koran Sulindo – Presiden Ke-5 Republik Indonesia yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengungkapkan pentingnya diplomasi ekonomi. Hal tersebut disampaikan Megawati dalam orasi ilmiahnya untuk menerima gelar doktor honoris causa dari Senat Guru Besar Universitas Fujian Normal, Fuzhou, Tiongkok, 5 November 2018 lalu.
Dalam pidato yang disampaikan dengan bahasa Inggris itu, Megawati mengungkapkan, ekonomi dapat menjadi alat berdiplomasi, namun tetap harus dilandasi oleh prinsip politik. Megawati pun mengutip pemikiran Bung Karno dan Perdana Menteri Pertama Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Zhou Enlai.
Pemerintah Indonesia kini memang lebih mengedepankan dan memperkuat diplomasi ekonomi atau diplomasi dagang dibanding dengan diplomasi politik dengan negara-negara lain. Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan para duta besar Indonesia di negara-negara sahabat untuk menjadi “sales person”. Tujuannya jelas untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Memang, dalam Arah Kebijakan dan Strategi Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri Tahun 2015-2019 telah disepakati mengenai penguatan diplomasi ekonomi ini. Instansi pemerintah yang juga turut berperan penting untuk menjalankan program itu antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Ujung tombaknya tentulah Kementerian Luar Negeri, yang memiliki tekad “Diplomasi untuk Rakyat, Diplomasi Membumi”. Artinya, upaya diplomasi harus dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh rakyat. Itu sebabnya, kementerian tersebut menekankan setidaknya perlunya empat pilar dalam menjalankan diplomasi ekonomi.
Keempat pilar itu adalah, pertama, melakukan perluasan dan peningkatan akses pasar produk Indonesia, dengan mendorong perubahan mindset para diplomat Indonesia agar lebih aktif melakukan diplomasi ekonomi, bahkan terjun langsung di lapangan. Kedua: penguatan kapasitas dan sumber daya perwakilan Indonesia di pasar non-tradisional.
Ketiga: mendorong investasi asing pada sektor prioritas Indonesia dan melindungi investasi Indonesia di luar negeri. Keempat: pemanfaatan ASEAN Economic Community (AEC).
Namun, kenyataannya, beberapa waktu belakangan ini, Indonesia justru dibanjiri produk impor besar-besaran, karena begitu mudahnya izin impor diberikan. Neraca perdagangan Indonesia pun kerap mengalami defisit.
Pada Oktober 2018 lalu saja, Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit US$ 1,82 miliar atau setara Rp 27,3 triliun, dengan kurs Rp 15.000 per US$ 1. Dari Januari sampai Oktober 2018, defisitnya mencapai US$ 5,51 miliar atau kurang-lebih Rp 82,72 triliun.
Padahal, seperti juga pernah diungkapkan Bung Karno lebih dari setengah abad yang lalu, impor yang terlalu banyak akan menggerus devisa negara, apalagi jika yang diimpor besar-besaran adalah kebutuhan pokok rakyat, seperti beras. Ujung-ujungnya, fundamental ekonomi akan melemah, yang pada gilirannya akan membuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara-negara lain, terutama dolar Amerika Serikat, melorot tajam.
Belum lagi utang luar negeri pemerintah yang semakin menumpuk. Dalam kondisi seperti ini, posisi tawar Indonesia dalam diplomasi ekonomi dengan negara lain akan lebih lemah. Dan, bukan tidak mungkin, kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka juga akan terganggu. [PUR]