Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 18, 3-16 September 2018

Koran Sulindo – Konstitusi kita menyatakan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Secara prosedural, adanya pemilihan umum yang langsung, bebas, dan rahasia adalah proyeksi dari rakyat yang berdaulat. Juga adanya lembaga-lembaga untuk menjalankan kedaulatan itu.

Tak dapat dinafikan betapa pentingnya prosedur tersebut. Namun, dari prosedur itu tak sepenuhnya dapat diketahui, apa sebenarnya yang dibutuhkan dan diinginkan rakyat yang berdaulat, pemegang kekuasaan tertinggi. Untuk mengetahuinya, jelaslah, hak rakyat untuk bersuara harus dilindungi. Juga hak-hak dasar lainnya, termasuk hak-hak sipil dan politik lainnya, hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak untuk dapat hidup sejahtera.

Kita patut bersyukur, negara kita sudah relatif banyak memiliki peraturan dan perundangan yang berupaya melindungi hak-hak tersebut. Bahkan, dalam visi, misi, dan program aksi Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla dinyatakan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asas manusia (HAM) pada masa lalu dan menghapus semua bentuk impunitas.

”Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.” Juga dinyatakan, “Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi Undang-Undang Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.”

Namun, harus diakui pula, dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, upaya perlindungan hak-hak itu masih memiliki kelemahan di sana-sini. Kita pun masih melihat ada saja pelanggaran terhadap hak asasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk oleh negara.

Pada September 2017 lalu, misalnya, kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta diserang massa dan diskusi yang sedang berjalan di kantor itu dibubarkan. Kita juga dapat membaca berita tentang masih banyaknya kasus pencegahan dan pelarangan penyampaian pendapat di muka umum dan sejenisnya, termasuk kasus penggusuran paksa.

Tak ada gading yang tak retak, memang. Kelemahan-kelemahan itu harus segera diatasi. Kasus-kasus pelanggaran hak asasi harus dituntaskan. Dengan demikian akan semakin nyatalah kedaulatan, kekuasaan tertinggi di negara, benar-benar ada di tangan rakyat, yang dilindungi oleh hukum yang juga berdaulat.

Rakyat bukanlah abstraksi-abstraksi. Rakyat riil ada. Nyata. Rakyat, kata penyair Hartojo Andangdjaja dalam puisinya, adalah “jutaan tangan yang mengayun dalam kerja”, “jutaan tangan mengayun bersama membuka hutan lalang jadi ladangladang berbunga”, dan sebagainya.

Karena itu, seperti kata Bung Karno, pikirkanlah nasib rakyat. Jadilah penyambung lidah rakyat. Tunaikanlah Amanat Penderitaan Rakyat. Jangan jadikan rakyat sebagai sekadar penonton atas akrobatik politik yang dilakukan orang-orang yang diberi amanah untuk menjalankan kedaulatannya. [PUR]