Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (tengah) didampingi Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto (kanan) bersiap memberikan keterangan pers usai pertemuan membahas isu nasional terkini di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (24/10/2015)/ AtaraNTARA FOTO-Yudhi Mahatma

Koran Sulindo – Ratusan orang kader yang menghadiri rapat kerja nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) di di Denpasar, Bali, akhir Februari lalu itu tak ada menyangka kejutan yang akan menghampiri mereka sebentar lagi.

Dalam jadwal acara yang disusun jauh-jauh hari, siang itu adalah waktu Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, melakukan pidato pembukaan dan membuka Rakernas III PDIP tersebut. Begitu merampungkan pidato, Megawati mengucapkan terima kasih dan menyampaikan ucapan salam. Namun tak ada yang menduga, setelah mengucapkan Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, ia tak langsung turun panggung.

“Dengan ini saya nyatakan calon presiden PDI Perjuangan, Bapak Insinyur Joko Widodo. Metaaaal. Pasti menang totaaal.”

Megawati mengucapkan kalimat itu, lalu mengangkat 3 jari menyimbolkan salam metal. Ruangan langsung bergemuruh dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

Anak Presiden RI kedua Ir Soekarno dengan Fatmawati itu menggunakan hak prerogatifnya dan kembali menunjuk Joko Widodo sebagai calon yang diusung PDIP dalam pemilihan presiden 2019 nanti. Keputusan Kongres PDIP terakhir memang memberikan mandat kepada ketua umum untuk menentukan capres-cawapres yang diusung. Konggres juga memberikan keputusan menentukan momentum tepat untuk mengumumkan ke tangan Megawati.

Tapi keputusan Megawati pada 23 Februari 2018 itu tak semengejutkan pilihannya sebelum pemilihan presiden 2014, 4 tahun yang lalu.

Pada 19 Mei 2014 itu. Megawati mengantarkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla hingga gerbang rumahnya di Jalan Teuku Umar Menteng, Jakarta. Setelah itu ia masuk kembali ke dalam rumahnya. Dalam diam. Tanpa kata-kata.

Hari itu Ketua Umum Partai Pemenang Pemilu itu mengantarkan pasangan itu menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019 yang dipilihkannya untuk Indonesia. Dalam pemilihan umum legislatif pada 9 April 2014, PDIP mencatatkan diri sebagai partai pemenang pemilu dengan suara jumlah suara bahkan lebih besar dari yang diraih Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Pemilu 1955.

Megawati memenangkan PDIP dalam tapi tak mencalonkan dirinya sendiri menjadi sebagai capres. Anak Bung Karno itu, dalam nadinya mengalir darah biru politik tanah air ini, juga tak menawarkan anak-anaknya sebagai wakil Jokowi.

Kader Partai

Secara hipotetis, Megawati sebenarnya sudah menjadi presiden pada 1999. Pada Pemilu pertama yang berlangsung setelah pemerintah orde Jenderal Soeharto tumbang setahun sebelumnya itu PDIP memperoleh 33,7 persen suara secara nasional, dan ditetapkan menjadi partai pemenang Pemilu.

Perolehan suara terbesar PDIP diperoleh di Provinsi Bali sebesar 79 persen dan yang terkecil di Sulawesi Selatan sebanyak 6,6 persen. Meski hanya menang di 11 provinsi, PDIP memenangkan suara secara nasional. Dengan kemenangan telak itu, kader dan para pendukung mendorong Megawati menjadi presiden.

Namun saat itu presiden masih dipilih lewat lembaga legislatif, bukan langsung. Pada Sidang Umum 1999, anggota parlemen justru memilih KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden. Megawati kalah tipis dalam voting pemilihan presiden: 313 suara berbanding 373. Megawati ikhlas dan menerima tawaran Gus Dur menjadi wapres.

Gus Dur tak menjabat sampai 5 tahun. Pada Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001, mencabut mandat padanya sebagai presiden, dan akhirnya Megawati naik menjadi orang nomor satu di republik ini.

Sejak pergantian abad itu hingga kini pelan tapi pasti ia menempatkan dirinya sebagai tulang punggung perpolitikan Indonesia.

Kini tak ada yang bisa memungkiri Megawati adalah Queenmaker politik Indonesia. Di dalam tubuh PDIP, seluruh keputusan penting harus melalui keputusan Megawati. Ia menjadi penentu untuk pemilihan ratusan kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Megawati bukan hanya menentukan siapa capres yang diusung PDIP pada Pilpres 2019 nanti. Ia juga menentukan siapa cawapres yang akan menemani Jokowi dalam pertarungan tahun depan. Di luar internal partai keputusan dan gerak-geriknya mempengaruhi perpolitikan nasional.

Megawati sebenarnya bisa saja menunjuk siapa saja untuk menjadi presiden republik ini. Namun seperti sudah disinggung di depan, ia memutuskan kembali menyorongkan Jokowi pada Pilpres tahun depan. Apakah menurut Megawati partainya tak memiliki kader yang semumpuni Jokowi?

Memang, Megawati sudah membidik Jokowi bahkan sejak yang bersangkutan masih anak baru gede dalam dunia perpolitikan, dan mencalonkannya menjadi Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada Pilkada Juni 2005. Ia lalu menggendong Jokowi ke ibukota dan mengusungnya sebagai calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Juni 2012. Lalu ia membawa Jokowi ke titik ke lebih tinggi dan menjadikannya sebagai petarung PDIP pada Pilpres April 2014. Karier politik Jokowi sangat berbau tangan Megawati, dan bagaimanapun juga Presiden RI ke-7 itu haruslah disebut sebagai kader partai, walau tak sejak awal berkiprah di PDIP.

PDIP tentu saja mempunyai banyak kader lain yang juga mumpuni di dalam tubuhnya. Sejumlah nama bisa disebut, misalnya Puan Maharani, anak kandung Megawati yang kini adalah Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Keamanan.

Nama anak tunggal Megawati dengan Taufiq Kiemas ini pernah mampir dalam bursa kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada 2009 tapi menolak. Aktivitas politik Puan bermula saat Megawati menjadi presiden pada 2001. Ia ikut serta dalam berbagai kunjungan resmi kenegaraan Megawati. Ia juga bergabung dengan Mega Center, salah satu lembaga pemenangan Mega. Kemunculannya dalam berbagai momen PDIP membuat Puan dikenal publik.

Pada 14 Maret 2014, adalah Puan yang membacakan perintah harian yang ditulis tangan ibunya. Megawati, selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010 untuk memilih capres partainya, memilih Jokowi menjadi calon Presiden RI pada Pemilu 2014 itu. Dan Puan membacakannya dengan tenang, seolah tak pernah terpikir tiket PDIP menjadi Presiden RI itu seharusnya diserahkan padanya.

Megawati juga bisa saja menunjuk anaknya Prananda Prabowo, yang kini menjadi Ketua DPP PDIP bidang Ekonomi Kreatif. Anak kedua hasil perkawinan Megawati dengan Lettu Penerbang Surindro Suprijarso tersebut di kalangan elite PDIP dikenal sebagai “man behind the door”, hampir semua pidato politik Megawati ditulis anak keduanya itu. Di kalangan internal, Prananda memiliki watak mirip ibunya soal memegang teguh ajaran Bung Karno. Ia dijuluki ‘Kamus Berjalan Bung Karno.’

Nama lain bisa disebut antara lain Ketua DDP PDIP bidang Keanggotaan dan Organisasi Djarot Syaiful Hidayat; Ketua DPP Bidang Perekonomian Hendrawan Supratikno; hingga Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

Sekolah Partai

Tapi memang pada Pilpres 2019 nanti nama Jokowi masih terlalu kuat yntuk diabaikan. Bahkan mungkin tak ada nama lain untuk Presiden RI 2019-2024 selain namanya. Selain itu, diakui atau tidak, kaderisasi adalah masalah besar tak hanya bagi PDIP tapi juga seluruh partai politik di  tanah air.

Dan Megawati tahu itu sejak awal. Bahkan jauh-jauh hari sejak sekitar 5 tahun lampau sudah memikirkan dan terus mendorong pendirian sekolah partai agar proses kaderisasi berjalan berkesinambungan.

“Agar kelak memiliki kemampuan untuk mengelola pemerintahan dan membentuk kader yang memiliki karakter,” kata Megawati, saat memperingati hari ulang tahun PDIP yang ke-40 di Waduk Djuanda Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, 10 Januari 2013.

Sekolah Partai PDIP ini didukung guru besar dari sejumlah perguruan tinggi kredibel. PDIP juga terus memperbaiki proses rekrutmen kader terutama untuk memperbaiki kualitas internal partai.

Sekolah partai yang diikuti para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bertujuan mempersiapkan pemimpin ideologis serta mewujudkan tradisi politik membangun peradaban.

Sekolah Partai memang harus diakui gagasan yang fenomenal dan orisinal. Masalahnya apa ada contohnya di tanah air? Jelas tidak, karena partai politik yang memikirkan ini baru PDIP.

“Karena itu harus dipersiapkan dengan matang baik kurikulum maupun silabinya, untuk mempertemukan tradisi kepartaian yang memburu kekuasaan dengan tradisi keilmuan yang memburu kebenaran.” Demikian salah satu kesimpulan seminar nasional ‘Sekolah Partai: Antara Tradisi Kepartaian dan Tradisi Keilmuan’, yang digelar Departemen Kaderisasi Bidang Keanggotaan, Kaderisasi dan Rekrutmen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan, di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, pada 4 Februari 2012.

Ketua DPP PDI Perjuangan, Idham Samawi, dalam seminar itu mengatakan Sekolah Partai yang digodog PDIP merupakan gagasan yang tidak lepas dari 3 hal. Pertama, partai politik tidak bisa lepas dari takdirnya, tidak terpisah dari hidup dan kehidupan rakyat. Lalu, parpol harus keluar dari jebakan tata politik yang dibangun dengan fondasi pragmatisme, dan terakhir partai seharusnya memiliki satu sistem kaderisasi yang baik.

Megawati memang sering mengatakan tak pernah merasa sreg jika harus mencomot calon dari luar partai saat helatan pilkada berlangsung.

“Calon pemimpin harus dikader, makanya ada kaderisasi,” kata Megawati ketika membuka Sekolah Partai pertamakalinya.

Dan tak lama lagi tampaknya bukan soal yang sulit lagi bagi PDIP mencari calon untuk perhelatan politik. Mereka bisa diambil dari dalam rumah partai sendiri. [Didit Sidarta]