Daoed Joesoef sewaktu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Koran Sulindo – “Pendidikan adalah sebuah pendakian dari informasi melalui pengetahuan kearifan dan membumi dalam penerapan,” demikian diungkapkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef di sebuah media pada 2014 lalu.

Daoed Joesoef memang tokoh yang sangat peduli pendidikan. Banyak ulasannya soal dunia pendidikan dan dimuat di media massa beberapa tahun lampau.

Namun, ia mengaku tak tahu apa alasan Presiden Soeharto memanggil dirinya dan meminta dia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. “Itu sebuah misteri. Mungkin beliau tahu melalui Mohammad Hatta [mantan wakil presiden]. Sebelum dipanggil Pak Harto, saya memang sempat menyampaikan konsep-konsep saya kepada Hatta. Entahlah,” tutur Daoed Joesoef, sebagaimana ditulis Kompas pada 8 Agustus 2016.

Yang membuat dia kaget, ketika dia di rumah Presiden Soeharto dan memaparkan konsep pendidikan yang dia siapkan ternyata Soeharto telah mengetahui konsep itu, yakni pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, yang membangun masa depan melalui pendidikan generasi muda.

Bagi dia, generasi muda adalah harapan sekaligus manusia masa depan. “Melalui pendidikan, kita menyiapkan masa depan. Ada nilai investasi di sana dengan memberi generasi muda cukup ilmu,” tuturnya.

Ketika menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, dia juga berani mengambil risiko untuk tidak populer demi memajukan pendidikan bangsa Indonesia. Misalnya, dia memperpanjang masa pendidikan sebanyak satu semester agar waktu pendidikan di Indonesia sama dengan di Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki empat musim. Dia juga mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan, lewat Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan.

Dengan adanya dua aturan itu, kampus dilarang dijadikan arena aktivitas politik. Jika ada yang mencoca-coba atau nekat, sanksi pemecatan akan dijatuhkan. Karena itu pula, senat mahasiswa dan dewan mahasiswa di setiap perguruan tinggi dibubarkan karena dianggap menjadi perpanjangan partai politik.

Ia pun dituding sedang melakukan pembungkaman terhadap kebebasan bersuara dan menyampaikan pendapat mahasiswa. Juga dianggap sebagai penghambat kebebasan akademis, karena programnya itu dinilai sangat intimidatif. Apalagi, pada masa rezim Presiden Soeharto itu, pembungkaman dan pemenjaraan secara semena-mena merupakan hal yang sudah biasa dilakukan.

Namun, Daoed Joesoef pada awalnya adalah seorang seniman. Ia pelukis dan sastrawan, sejak masa mudanya. Karena itu, ia sangat senang ketika Kementerian Pendidikan Nasional kembali dijadikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2011 lampau. Sebelum itu dilakukan, Daoed Joesoef memang mengkritik keras kebijakan yang memisahkan dunia pendidikan dan kebudayaan. Juga mengkritik urusan kebudayaan dijadikan satu dengan pariwisata, di bawah Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan.

Dalam pandangannya, sudah seharusnya urusan kebudayaan disandingkan dengan pendidikan. Kebijakan yang menempatkan kebudayaan di bawah Kementerian Pariwisata merupakan suatu keputusan yang kurang tepat dan mereduksi makna yang luas dan mendalam dari kebudayaan itu sendiri, seolah-olah kebudayaan hanya dianggap komoditas produk berupa seni dan benda cagar budaya yang bisa menjadi daya tarik wisata.

Dalam memoarnya, Daoed Joesoef juga menuliskan bagaimana para perupa ikut menyokong perjuangan lewat kemampuannya melukis pada kanvas atau membuat poster pada kertas-kertas yang kemudian disebar untuk mengobarkan semangat juang para gerilyawan. Ia juga menceritakan soal Presiden Soekarno yang kerap mengundang seniman untuk memamerkan karyanya dalam menyambut tamu-tamu asing.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pula Daoed Joesoef malah pernah ditawari untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI), tapi ia tolak. Padahal, ia memang sarjana ekonomi moneter lulusan Universitas Indonesia—kemudian malah menjadi Kepala Departemen Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. “Saya menolak karena, jika saya masuk BI, saya tidak lagi bebas menulis dan berpikir. Segala tulisan harus dikonsultasikan dengan atasan,” tuturnya, seperti ditulis Kompas.

Kini, Daoed Joesoef telah berpulang menghadap Sang Mahapencipta. Ia mengembuskan napas terakhirnya Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, pada Selasa malam (23/1) pukul 23.55 WIB. Jenazahnya telah dimakamkan Rabu pagi tadi (24/1) di Pemakaman Giri Tama, Bogor, Jawa Barat.

Daoed Joesoef dilahirkan di Medan Kota, Sumatera Utara, pada 8 Agustus 1926. Ia menempuh pendidikan dasar dan MULO di Medan, lalu melanjutkan pendidikan SMA-nya di Yogyakarta. Di Yogya itulah bakat seninya terasah dan ia banyak bergaul dengan kalangan seniman lintas bidang. Sebagai pelukis, ia pernah beberapa kali ikut pameran. Memoarnya bertajuk Emak dinilai banyak kalangan sebagai memoar dengan cara penulisan yang layak dipuji dan dapat ditempatkan sebagai karya sastra bernilai tinggi.

Selamat jalan, Bung Daoed! [PUR]