Koran Sulindo – Malam baru saja turun menyelimuti Kulon Progo, Yogyakarta. Sekelompok orang dengan derap sepatu tak beraturan tampak mengunjungi rumah warga di Kecamatan Temon. Warga agak trauma mendengar suara derap sepatu demikian, terutama derap sepatu lars. Sepatu yang kerap diidentikkan dengan aparat keamanan.
Aparat keamanan gabungan itu pula pada awal Desember lalu mengusir dan menggusur warga Kulon Progo atas nama pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Penggusuran yang disertai kekerasan termasuk menangkap 15 mahasiswa yang bersama warga memprotes penggusuran tersebut.
Tindakan aparat keamanan itu lalu dilaporkan ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam rangka itulah sekelompok orang dari Komnas HAM mendatangi Kecamatan Temon. Untuk mengecek secara langsung tentang dugaan pelanggaran HAM dalam proses pembebasan lahan calon lokasi pembangunan NYIA.
Komisioner Komnas HAM M. Choirul Anam mengatakan, pihaknya akan mengumpulkan informasi dan mewawancarai secara langsung warga yang menjadi korban dari proyek NYIA. Apa yang dilakukannya bersama timnya disebut menjadi tugas dari Komnas HAM.
“Ada dua fungsi yang menjadi kewenangan kami. Menerjunkan tim pemantau untuk menelusuri dugaan adanya ancaman, intimidasi atau bentuk kekerasan yang dialami warga oleh aparat maupun unsur pemerintah. Selanjutnya, memfasilitasi mediasi antara warga dengan pemerintah serta PT Angkasa Pura I Yogyakarta,” tutur Choirul Anam pada pertengahan bulan lalu.
Persoalan yang menimpa warga Kulon Progo hanya salah satu contoh dari sekian banyak sengketa agraria sepanjang 2017. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat setidaknya terjadi 659 konflik agraria di berbagai wilayah yang meliputi sekitar 520 ribu hektar. Konflik ini melibatkan setidaknya sekitar 653 ribu keluarga. Dibandingkan 2016, konflik pada 2017 mengalami kenaikan sekitar 50%. Dengan kata lain, rata-rata konflik agraria bisa terjadi dua kali dalam sehari. Demikian KPA.
Seperti KPA, Komnas HAM dalam lima tahun terakhir menyebutkan sekitar 80% pengaduan ke lembaga tersebut berkaitan dengan konflik agraria. Sepanjang 2012 hingga 2017 Komnas HAM menerima pengaduan sekitar 1.653 kasus. Dari data tersebut boleh disebut persoalan agraria menjadi masalah serius di Indonesia. Dan yang paling banyak diadukan adalah aparat kepolisian.
Konflik agraria tersebut juga menjadi perhatian organisasi pegiat HAM ketika memeringati Hari HAM Internasional pada Desember tahun lalu. Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Peringatan Hari HAM (Koper HAM) menilai pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla dalam membangun tampaknya mengabaikan HAM seperti yang pernah dilakukan rezim Orde Baru di bawah jenderal fasis Soeharto.
Pemerintahan Jokowi karena itu seakan menghidupkan kembali paham “pembangunanisme” ala Orde Baru. Karena itu, ketika rakyat mempertahankan HAM-nya dalam memperjuangkan hak atas tanah, hak atas upah, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dianggap melawan pembangunan dan bisa dipidanakan. Persis seperti yang dialami warga Kulon Progo ketika menolak penggusuran atas nama pembangunan NYIA itu.
3 Tahun Jokowi
Lembaga tersebut karenanya menilai banyak HAM rakyat terampas karena program pembangunan Jokowi selama ini. Celakanya, rakyat dibuat tidak punya hak sama sekali untuk kembali memperleh hak asasinya. Justru mereka diancam dengan hukum pidana jika “melawan” program pembangunan pemerintah. Umpamanya kasus warga Kulon Progo itu. Sedangkan contoh lain adalah petani Majalengka yang mengalami penggusuran secara paksa atas nama pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.
Tidak hanya di Jawa, kasus serupa juga dialami rakyat Papua. Koalisi organisasi HAM itu menyebut saat ini telah ada sekitar 155 perusahaan yang telah mempetak-petakkan sekitar 25,5 juta hektar lahan gambut di Papua. Koalisi karena itu menyimpulkan, program pembangunan Jokowi bersifat eksploitatif, merusak ekosistem dan menimbulkan benturan dengan masyarakat adat.
Pendapat serupa disampaikan Sekjen KPA Dewi Kartika dalam catatan akhir tahun yang digelar pada Desember lalu. Ia menuturkan, dari seluruh sektor konflik agraria yang diawasi, sektor perkebunan masih menempati posisi pertama yang mencapai sekitar 208 konflik atau sekitar 32% dari total konflik. Selanjutnya sektor properti 199 konflik; infrastruktur 94 konflik; pertanian 78 konflik; kehutanan 30 konflik; pesisir/kelautan 28 konflik; pertambangan 22 konflik.
Dari fakta itu, kata Dewi, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi – Kalla telah terjadi sekitar 1.361 konflik agraria. Pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur dan ekspansi perkebunan sawit bergerak cepat dan “brutal” dalam mengalihkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. Dan ini pula yang menjadi pangkal terjaidinya konflik agraria dan kriminalisasi. Berbanding terbalik dengan program reforma agraria yang diusung Jokowi.
Sepertinya konflik agraria ini belum akan berakhir. Pasalnya, pembangunan dalam skala besar yang termasuk ketegori Proyek Strategis Nasional masih akan menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Proyek Strategis Nasional itu meliputi pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, kawasan industri hingga kawasan pangan. Semua proyek ini tentu saja akan membutuhkan lahan.
Legalisasi perampasan lahan juga telah diwujudkan dalam Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan aturan ini, Jokowi telah pula menegaskan pembangunan infrastruktur adalah untuk kepentingan umum. Jaminan yang serupa diberikan pemerinah kepada swasta melalui skema yang disebut sebagai Kerja Sama Pemerintah – Swasta (KPS).
Melihat fakta ini, Koalisi organisasi HAM mengecam bentuk pembangunan demikian. Selain karena tidak memberikan keadilan, bentuk pembangunan Jokowi ala Orde Baru itu hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, pembangunan demikian hanya dinikmati segelintir orang. Sementara masyarakat dipaksa menerima kehilangan ruang hidup dan kehidupannya. Sebuah praktik pembangunan yang bertentangan dengan asas keadilan.
Ciri “pembangunanisme” itu semakin menguat ketika aparat keamanan sipil, militer dan birokrasi digerakkan untuk memaksakan kehendak pembangunan oleh pemerintah dan swasta. Jika sudah demikian, masihkah ada bedanya antara rezim Jokowi dengan Orde Baru di bawah jenderal fasis Soeharto? [Kristian Ginting]