Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Ketua DPR Setya Novanto, tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP-Elektronik (e-KTP), menyerahkan diri.
“Secara persuasif kami himbau SN dapat menyerahkan diri,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (16/11), seperti dikutip antaranews.com.
Penyidik KPK mendatangi rumah Setnov di Jalan Wijaya XIII Melawai Kebayoran Baru Rabu (15/11) malam untuk menjemput paksa, namun Setya tak ada di rumah itu. KPK menunggu hingga Kamis dinihari tadi.
Para penyidik KPK hanya mengambil rekaman kamera pemantau (CCTV) dari pos penjagaan di kediaman Setya.
“Hanya mengambil CCTV, itu decoder kecil saja, tidak ada mengambil yang lain,” kata kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunadi, di depan kediaman Novanto, Kamis dini hari.
Penyidik KPK datang ke kediaman Novanto Rabu (15/11) malam dengan menunjukkan surat perintah penangkapan Novanto serta surat tugas penggeledahan kediaman kliennya.
Fredrich yang mengaku datang ke rumah Setya, Rabu sore pukul pukul 18.40 WIB, mendapatkan informasi dari petugas keamanan rumah itu bahwa Setya baru saja pergi keluar dijemput seorang tamu. Satpam menyampaikan pesan Setya, Fredrich diminta menunggu sebentar.
Rombongan penyidik KPK datang Rabu malam pukul 21.40 WIB.
Penyidik KPK menggeledah rumah Novanto. Pada Kamis pukul 02.11 WIB para penyidik KPK yang memakai rompi krem beruliskan KPK, tampak keluar pintu rumah Novanto dan beranjak ke ruang bawah tanah atau ” basement” serta memasuki pos penjagaan rumah Ketua Umum Golkar itu. Setelah itu mereka masuk ke dalam rumah Novanto.
Mereka beranjak pergi pada Kamis dini hari pukul 02.50 WIB.
Latar Belakang
KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) kedua untuk Setnov dalam kasus KTP-E pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka Setya Novanto. Penerbitan sprindik itu setelah mempelajari dengan seksama putusan praperadilan yang diputus pada 29 September 2017 yang membatalkan sprindik untuk Setnov pada 17 Juli 2017 lalu.
Sebelumnya, pada 5 Oktober 2017 melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara KTP-E dan telah meminta keterangan sejumlah pihak serta mengumpulkan bukti-bukti yang relevan. Setelah proses penyelidikan terdapat bukti permulaan yang cukup kemudian pimpinan KPK bersama tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada akhir Oktober 2017.
KPK lalu memanggil Setya sebagai tersangka pada Rabu (15/11) lalu, namun pengacara Setnov, Fredrich Yunadi mengatakan ketua umum Partai Golkar itu tidak akan hadir memenuhi panggilan KPK dengan alasan putusan MK tentang pasal 245 ayat 1 UU MD3 yaitu harus ada izin Presiden dan pasal 20A UUD 1945 yaitu anggota Dewan memiliki hak imunitas, adanya permohonan uji materi tentang wewenang KPK memanggil Setnov selaku Ketua DPR serta adanya tugas untuk memimpin dan membuka sidang Paripurna DPR pada 15 November 2017.
Setya selaku anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjono, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga melakukan korupsi. Mereka dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atas perekonomian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam pengadaan paket penerapan e-KTP 2011-2012 Kemendagri.
Setnov disangkakan pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. [DAS]